Turbin gas untuk pembangkit listrik |
Beberapa kali dalam kampanye pemilu
presiden ini isu “krisis energi” sempat diangkat sebagai salah
satu tantangan bagi yang akan menjadi presiden Indonesia berikutnya. Byar-pet makin
sering padahal harga listrik makin meningkat terus!
Selain itu, rencana para capres dan
wacapres untuk mengurangi dampak subsidi listrik terhadap APBN juga sempat
dipertanyakan.
Masalah krisis listrik dan subsidi listrik
tidak bisa dilepas dari isu sumber energi primer yang dipakai di pembangkit
listrik. Supaya meraih kedaulatan energi ke depan, khususnya dalam hal pasokan
listrik, Indonesia haruslah berpindah dari sumber energi fosil, menuju sumber
energi terbarukan. Tetapi seperti bisa diliat di negara-negara Eropa, penerapan
teknologi baru terkait sumber energi surya, angin, kekuatan pasang-surut air,
kekuatan ombak, dan tentunya panas bumi memerlukan sebuah revolusi dalam
keterampilan tenaga kerja nasional. Perubahan ini adalah proses yang memakan
waktu tidak singkat.
Karena itu, Indonesia memerlukan sumber
energi primer yang bersifat transisional – yaitu tetap sumber energi fosil
tetapi yang rendah dampaknya terhadap lingkungan hidup. Batu bara, yang
sekarang menjadi pilihan utama di Indonesia, adalah sumber energi primer yang
paling kotor dari segi pencemaran lingkungan – tanah, udara maupun air.
Sedangkan gas bumi adalah pilihan yang cocok untuk menjadi energi transisional,
karena sesudah dibakar, tidak ada sisa abu yang seperti logam berat yang
beracun [seperti halnya batu bara], dan juga rendah emisi karbon per unit
energi yang dihasilkan.
Di manakah Indonesia bisa mendapatkan gas
bumi? Satu sumber terbesar adalah di Papua, tepatnya di kepala burung, di mana
BP (pemilik modal 37%) punya proyek Tangguh. Tangguh diperkiraan penyimpan
cadangan gas sekitar 14,4 triliun kaki kubik – salah satu terbesar di Asia
Tenggara. Tetapi yang lebih besar lagi adalah di blok Mahakam, di mana Kutei
Basin mempunyai cadangan yang dua kali lipat besarnya: 30 triliun kaki kubik
gas bumi. Sebagian dari cadangan gas ini adalah di dalam blok Mahakam, yang
diolah oleh Total E&P Indonesia dan Inpex (Jepang).
Agak susah diprediksi besarnya cadangan gas
yang masih sisa di blok Mahakam sesudah 40 tahun lebih beroperasi, tetapi ada
perkiraan saat ini masih sisa sekitar antara 6 sampai 12 triliun kaki kubik.
Dari produksi sekitar 1.5 triliun kaki kubik gas per tahun, operator blok
Mahakam menjual 30 persen ke pasar dalam negeri. Inilah yang bisa dipakai untuk
industri lokal termasuk pembangkit listrik.
Karena usianya sudah setengah baya,
produksi gas bumi di blok Mahakam makin susah, dan memerlukan teknologi tinggi
seperti yang dikuasai Total sebagai perusahaan berpengalaman tingkat
internasional. Memang ada dalam kalangan
para penghuni Senayan yang ingin Pertamina ambil alih di blok Makaham sesudah
kontrak Total berakhir pada tahun 2017. Mungkinkah lebih aman jika masih ada
peran untuk para ahli yang sekarang sudah bekerja di Mahakam selama
berdekade-dekade?
Jalan Indonesia menuju energi terbarukan
amatlah penting bagi anak-anak kita. Agar Indonesia tetap mempunyai akses
terhadap sumber energi transisional yang diperlukan untuk proses ini, kita
tidak bisa mengambil risiko dengan menyerahkan nasib persediaan gas terbesar
ini mutlak kepada Pertamina, yang memang belum siap dan tidak bisa memastikan
keberlanjutan alirnya gas ini kepada pembangkit listrik yang memerlukan.
Betul juga ya. Kalau diberikan ke Pertamina jangan-jangan bisa bubar tuh Blok Mahakam
ReplyDelete