Wednesday 2 July 2014

Energi Transisional di Indonesia

Turbin gas untuk pembangkit listrik
Beberapa kali dalam kampanye pemilu presiden ini isu “krisis energi” sempat diangkat sebagai salah satu tantangan bagi yang akan menjadi presiden Indonesia berikutnya. Byar-pet makin sering padahal harga listrik makin meningkat terus!

Selain itu, rencana para capres dan wacapres untuk mengurangi dampak subsidi listrik terhadap APBN juga sempat dipertanyakan.

Masalah krisis listrik dan subsidi listrik tidak bisa dilepas dari isu sumber energi primer yang dipakai di pembangkit listrik. Supaya meraih kedaulatan energi ke depan, khususnya dalam hal pasokan listrik, Indonesia haruslah berpindah dari sumber energi fosil, menuju sumber energi terbarukan. Tetapi seperti bisa diliat di negara-negara Eropa, penerapan teknologi baru terkait sumber energi surya, angin, kekuatan pasang-surut air, kekuatan ombak, dan tentunya panas bumi memerlukan sebuah revolusi dalam keterampilan tenaga kerja nasional. Perubahan ini adalah proses yang memakan waktu tidak singkat.

Karena itu, Indonesia memerlukan sumber energi primer yang bersifat transisional – yaitu tetap sumber energi fosil tetapi yang rendah dampaknya terhadap lingkungan hidup. Batu bara, yang sekarang menjadi pilihan utama di Indonesia, adalah sumber energi primer yang paling kotor dari segi pencemaran lingkungan – tanah, udara maupun air. Sedangkan gas bumi adalah pilihan yang cocok untuk menjadi energi transisional, karena sesudah dibakar, tidak ada sisa abu yang seperti logam berat yang beracun [seperti halnya batu bara], dan juga rendah emisi karbon per unit energi yang dihasilkan.

Di manakah Indonesia bisa mendapatkan gas bumi? Satu sumber terbesar adalah di Papua, tepatnya di kepala burung, di mana BP (pemilik modal 37%) punya proyek Tangguh. Tangguh diperkiraan penyimpan cadangan gas sekitar 14,4 triliun kaki kubik – salah satu terbesar di Asia Tenggara. Tetapi yang lebih besar lagi adalah di blok Mahakam, di mana Kutei Basin mempunyai cadangan yang dua kali lipat besarnya: 30 triliun kaki kubik gas bumi. Sebagian dari cadangan gas ini adalah di dalam blok Mahakam, yang diolah oleh Total E&P Indonesia dan Inpex (Jepang).

Agak susah diprediksi besarnya cadangan gas yang masih sisa di blok Mahakam sesudah 40 tahun lebih beroperasi, tetapi ada perkiraan saat ini masih sisa sekitar antara 6 sampai 12 triliun kaki kubik. Dari produksi sekitar 1.5 triliun kaki kubik gas per tahun, operator blok Mahakam menjual 30 persen ke pasar dalam negeri. Inilah yang bisa dipakai untuk industri lokal termasuk pembangkit listrik.

Karena usianya sudah setengah baya, produksi gas bumi di blok Mahakam makin susah, dan memerlukan teknologi tinggi seperti yang dikuasai Total sebagai perusahaan berpengalaman tingkat internasional.  Memang ada dalam kalangan para penghuni Senayan yang ingin Pertamina ambil alih di blok Makaham sesudah kontrak Total berakhir pada tahun 2017. Mungkinkah lebih aman jika masih ada peran untuk para ahli yang sekarang sudah bekerja di Mahakam selama berdekade-dekade?


Jalan Indonesia menuju energi terbarukan amatlah penting bagi anak-anak kita. Agar Indonesia tetap mempunyai akses terhadap sumber energi transisional yang diperlukan untuk proses ini, kita tidak bisa mengambil risiko dengan menyerahkan nasib persediaan gas terbesar ini mutlak kepada Pertamina, yang memang belum siap dan tidak bisa memastikan keberlanjutan alirnya gas ini kepada pembangkit listrik yang memerlukan. 

1 comment:

  1. Betul juga ya. Kalau diberikan ke Pertamina jangan-jangan bisa bubar tuh Blok Mahakam

    ReplyDelete