Tuesday 28 January 2014

Skandal Suap Mantan Kepala SKK Migas Bakal Menyeret Menteri ESDM, Dirut Pertamina, Anggota DPR?

Kasus suap-menyuap (gratifikasi) yang melibatkan mantan kepala SKK Migas Rudi Rubiandini sebagai tokoh utama kasus ini dan pihak-pihak lainnya merupakan pukulan telak dan memalukan bagi industri migas nasional. Bila benar ada permintaan dari DPR untuk diberikan bonus hari raya (THR) dan bahwa benar ada kesepakatan segitiga antara Menteri ESDM, SKK Migas dan Dirut Pertamina untuk setuju menyerahkan sejumlah uang ke anggota DPR, maka ini merupakan skandal gratifikasi besar yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan hukum dan 240 juta rakyat Indonesia.

* * *
Saat kondisi industri minyak dan gas bumi (Migas) terpuruk, seperti yang tercermin pada menurunnya produksi minyak dan rendahnya investasi, sebuah skandal korupsi/gratifikasi muncul ke permukaan. Terkuak dugaan adanya kesepakatan segitiga antara Mantan kepala SKK Migas, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Dirut Pertamina untuk menyerahkan sejumlah uang ke anggota Komisi VII DPR, yang membidangi sektor energi dan pertambangan, sebagai upaya memuluskan persetujuan anggaran Kementerian ESDM oleh DPR. Beberapa pihak yang disebut-sebut namanya dalam kasus ini, membantah, namun tetap saja publik mulai curiga.

Skandal ini memiliki magnitude yang besar karena beberapa pejabat penting di Republik ini dan beberapa anggota DPR diduga ikut berperan, termasuk Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik, beberapa anggota DPR seperti Soetan Bhatugana dan Tri Yulianto, serta Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan. Bisa jadi masih ada nama-nama lagi yang bakal muncul setelah KPK mengembangi kasus gratifikasi mantan kepala SKK Migas Rudi Rubiandini ini. Menarik untuk mengikuti kemana ending kasus ini, apakah masih ada lagi yang statusnya 'dipromosikan' menjadi tersangka, dari hanya sekadar saksi.

Skandal suap atau gratifikasi yang melibatkan mantan Kepala SKK Migas menunjukkan perkembangan yang menarik beberapa hari terakhir. Beberapa anggota DPR Komisi VII, Direktur Utama Pertamina dan beberapa saksi lain dipanggil oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk dimintai keterangan terkait Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Rudi. 
Karen Agustiawan (foto: Kompas)

Setelah ditanyai beberapa jam oleh KPK, Dirut Pertamina Karen Agustiawan membantah telah menyerahkan uang ke Komisi VII, DPR. Lewat pengacaranya, Karen mengatakan ia pernah diancam untuk memberikan dana ke DPR, tapi ia menolak. 


Soetan Bhatugana, anggota Komisi VII dari partai Demokrat, membantah meminta dana THR ke SKK Migas, Kementerian ESDM atau Pertamina. 

Benar tidaknya bantahan mereka, akan dibuktikan di pengadilan nanti.

Dalam BAP Rudi Rubiandini yang beredar di kalangan wartawan terkuak kesepakatan antara mantan Kepala SKK Migas dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik untuk memberikan sejumlah dana sebagai Tunjangan Hari Raya (THR) atau bonus hari raya kepada anggota Komisi VII DPR. 


Publik pun dibuat terhenyak. 

Pada masa lalu, para awak media dan publik memang sayup-sayup mendengar praktek-praktek memberi upeti kepada anggota DPR, entah saat atau sebelum rapat dengar pendapatan atau pembahasan agenda-agenda penting. Padahal anggota DPR sendiri telah mendapatkan uang dari negara setiap diadakan rapat atau sidang, di luar gaji dan tunjangan dari negara. 

Menteri BUMN Dahlan Iskan pun pernah mengancam anggota DPR untuk membongkar modus permintaan dana dari anggota DPR, saat Dahlan merasa dipojokkan oleh anggota DPR. Jadi aliran dana dari kementerian, lembaga pemerintah atau BUMN memang bukan modus baru, tapi mungkin intensitasnya saja yang lebih dahsyat saat ini.

 
Di dalam ruang-ruang rapat DPR dan kompleks Senayan sendiri, sudah sering selentingan yang muncul bahwa ada Komisi 'Basah' (baca: banyak sumber uang), Komisi kering. Komisi 'basah' termasuk Komisi VII karena menangani sektor energi yang 'gemuk, menyumbang 30 persen pendapatan ke negara. Mitra Komisi ini adalah Kementerian ESDM, termasuk SKK Migas, yang membawa ratusan perusahaan migas, termasuk perusahaan migas negara Pertamina.
Soean Bhatugana (foto: Kompas)

Dalam arena politik, Kementerian ESDM dalam dua pemerintahan terakhir selalu dipegang oleh politisi partai yang berkuasa atau orang kepercayaan partai yang berkuasa. Boleh jadi, Kementerian ESDM dipandang strategis dan juga 'basah'.

Seiring dengan perjalanan reformasi, kekuasaan DPR semakin besar termasuk dalam penentuan anggaran belanja dan pendapatan negara (APBN), yang sebelumnya berada di bawah Kementerian Keuangan dan Bappenas, setelah menerima masukan dari menteri-menteri. Setelah reformasi, DPR pun bahkan menentukan detail proyek-proyek (daftar isian proyek). Efek negatifnya, kekuasaan menentukan anggaran (hak budget) DPR itu di salahgunakan. DPR merasa berkuasa untuk menodong kementerian, seperti dalam kasus gratifikasi SKK Migas ini, untuk menyerahkan upeti.

Dari BAP Rudi Rubiandini terungkap bahwa mantan kepala SKK Migas Rudi Rubiandini telah sepakat dengan Menteri ESDM (Jero Wacik) untuk memberikan upeti THR kepada DPR sejumlah US$300.000. Menurut keterangan Rudi Rubiandini, SKK Migas setuju menyetor US$150.000 dan Pertamina menyetor sisanya US$150.000 ke Komisi VII. 

BAP ini rupanya menjadi dasar bagi KPK untuk melakukan cross-check dengan anggota DPR dan Dirut Pertamina Karen Agustiawan. Beberapa hari lalu Soetan Bhatugana telah dipanggil KPK sebagai saksi. KPK tampaknya melakukan cross-check terkait dugaan yang tercantum dalam BAP Rudi Rubiandini. Dari pemberitaan beberapa media, pengacara Karen Agustiawan mengatakan bahwa Dirut Pertamina diancam dilaporkan ke seorang menteri (dapat diduga menteri tersebut adalah Menteri ESDM Jero Wacik) agar menyerahkan sejumlah uang anggota Komisi VII, DPR. Benar-tidaknya ancaman tersebut bakal ketahuan dalam pemeriksaan lanjutan dan di pengadilan nanti.

Seotan Bhatugana, yang sering muncul di TV dengan gaya khasnya dan terkenal dengan kata-kata yang diucapkannya 'ngeri-ngeri sedap', mengatakan dia tidak tahu dan membantah ada ancaman terhadap Dirut Pertamina. Apakah benar tidak ancaman?
Hari-hari ini kita masih melihat dan mendengar bantahan-bantan yang keluar dari mulut atau pihak-pihak yang dimintai keterangan oleh KPK sebagai saksi. Menarik untuk mengikuti perkembangan lanjutan kasus ini.

Yang jelas, kasus ini merupakan pukulan telak dan memalukan bagi industri migas nasional. Bila benar ada permintaan dari DPR untuk diberikan bonus hari raya (THR) dan bahwa benar ada kesepakatan segitiga antara Menteri ESDM, SKK Migas dan Dirut Pertamina, maka ini merupakan skandal gratifikasi besar yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan hukum dan 240 juta rakyat Indonesia. Kita berharap KPK terus mendalami kasus gratifikasi ini hingga tuntas dan tidak terpengaruh oleh tekanan-tekanan eksternal. (*)

Tuesday 21 January 2014

Banjir dan Subsidi BBM, Akar Masalah ada di Hulu!


Banjir dan air tergenang melanda Jakarta
Ada dua isu utama yang seringkali muncul di ranah publik belakangan ini. Pertama tentu saja banjir yang melanda berbagai wilayah di Tanah Air, termasuk ibukota Republik ini, Jakarta. Banjir telah mengganggu aktivitas warga Jakarta, merendam sawah di sentra produksi padi Karawang, Jawa Barat dan merusak berbagai infrastruktur publik. Di Jakarta, kegiatan belajar-mengajar di ratusan sekolah terganggu. Distribusi barang dan jasa juga terganggu sehingga dapat berdampak pada terbatasnya pasokan barang. Banjir membuat sebagian besar warga Jakarta mengurungkan niatnya untuk bepergian, kecuali memang terpaksa. Berbagai upaya dilakukan, yang penting sampai di tempat tujuan.

Banjir bandang di Manado
Urusan banjir di Jakarta memang kompleks. Banjir yang terjadi di awal tahun ini memang bukan terjadi kali ini saja. Tahun lalu, banjir juga terjadi di hampir separuh dari wilayah Jakarta dan bahkan jauh lebih buruk. Banjir besar, juga terjadi beberapa tahun sebelumnya. 

Banjir tidak hanya terjadi di Jakarta tapi juga di kota-kota lain di Indonesia, misalnya Manado, Sulawesi Utara. Di Manado, banjir terjadi tiba-tiba dengan skala yang masif, atau lebih tepatnya banjir bandang. Beberapa tahun lalu, kota Padang di Sumatera Barat juga sempat luluh-lantak akibat banjir bandang, menyapu rumah-rumah dan fasilitas umum.

Penyebab utama banjir di Jakarta dan kota-kota lain di Nusantara sebenarnya ada di hulu. Banjir di Jakarta misalnya, beberapa pengamat mengatakan 40% disebabkan oleh volume air sungai Ciliwung dan Cisadane yang meluncur deras dari kawasan Puncak Bogor. Penyebab lain adalah kurangnya daerah resapan karena sebagian besar kawasan resapan air di Jakarta telah beralih fungsi menjadi gedung-gedung dan mall atau rumah hunian. Disamping itu, ada faktor tambahan lainnya, seperti ulah warga yang membuang sampah di sungai-sungai sehingga mempercepat proses sedimentasi. Sungai menjadi dangkal, sehingga akibatnya air meluber, menenggelamkan wilayah sisi kiri dan kanan sungai.

Maka, tepat bila Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) hari Senin kemarin (21 Januari) bertemu dengan Walikota Bogor dan Gubernur Jawa Barat bertemu di Katulampa Bogor untuk membahas dan mencari solusi untuk mengurangi banjir di Jakarta dan sekitarnya. Salah satu solusi dari hasil pertemuan itu adalah membuat Situ atau danau buatan di daerah Ciawi untuk menampung luapan air sungai. Sehingga, kiriman luapan air yang besar dari Puncak dan Bogor dapat berkurang.

Yang jelas curah hujan yang besar tidak bisa dicegah manusia. Yang bisa dilakukan adalah mengurangi dampak dari curah hujan yang besar tersebut.

Tentu langkah membuat danau atau situ di Ciawi dan Bogor, harus dikombinasi dengan upaya-upaya lain seperti memindahkan warga dari bantaran sungai, membuat waduk-waduk buatan, membuat sumur resapan. Upaya tersebut tentu tidak akan menghilangkan terjadinya banjir di Jakarta karena kota ini terletak di daerah rawa-rawa (delta) yang telah berubah menjadi kota metropolitan. Sebagian wilayah Jakarta seperti Kelapa Gading bahkan sebagiannya berada di bawah permukaan laut. Sehingga, air sungai atau air hujan sulit mengalir ke laut, bila pada saat yang sama terjadi rob atau air pasang. 

Maka last resort adalah menghadapi kenyataan yang ada, membuat kanal-kanal sehingga saat terjadi banjir, kanal-kanal tersebut dapat diaktifkan menjadi jalur transportasi. Warga dapat bepergian dengan menggunakan speedboat atau perahu. 

Jokowi juga mengungkapkan bahwa pembuatan waduk di Ciawi, Bogor dan Depok dapat mengurangi banjir di Jakarta sebesar 40%. Artinya, akar persoalan banjir di Jakarta ada di hulu. Karena itu, upaya mengatasi banjir di Jakarta, tidak cukup hanya membuat situ-situ, merevitalisasi sungai-sungai yang melintasi ibu kota, dan membersihkan drainase, tidak membuat sampah sembarangan, tapi juga mengontrol dan membendung air yang meluap dari Puncak dan Bogor. 

Subsidi BBM & Eksplorasi

Seperti akar dari masalah banjir ada di hulu, demikian juga masalah subsidi BBM yang tinggi. Seperti kita ketahui Indonesia menghabiskan dana ratusan triliun rupiah setiap tahun hanya untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM). Bisa dibayangkan bila dana subsidi tersebut dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur serta fasilitas dan prasarana publik seperti rumah sakit, puskesmas, sekolah, membuat waduk atau danau, dan sarana dan prasarana umum lainnya.

Tahun 2013 saja, pemerintah menggelontorkan dana subsidi BBM sebesar Rp250 triliun, Rp40 triliun lebih besar dari perkiraan awal yakni Rp210 triliun. Dari jumlah itu, Rp40 triliun dialokasikan untuk subsidi LPG. Bayangkan bila dana Rp240 triliun tersebut digunakan untuk membangun infrastruktur dan fasilitas publik, masyarakat Indonesia akan menikmati hasilnya. Pemberian subsidi bersifat konsumtif, sementara pembangunan infrastruktur dan fasilitas publik bersifat jangka panjang. 

Seperti banjir, akar perseoalannya ada di hulu, yakni produksi minyak bumi Indonesia yang terus menurun. Indonesia mengkonsumsi BBM 1,5 juta barel per hari, sementara produksi nasional hanya sekitar 830,000 barel per hari. Ada gap yang besar. Karena itu, langkah utama untuk mengatasi subsidi BBM adalah meningkatkan produksi minyak di industri hulu migas, serta melakukan diversifikasi energi. 

Kita tak persoalkan apakah yang memproduksi minyak dan gas adalah perusahaan nasional atau internasional. Yang terpenting adalah memproduksi minyak dan gas bumi di dalam negeri, sehingga ketergantungan pada impor dapat berkurang. Untuk itu, pemerintah perlu lebih giat lagi mendorong investor migas untuk meningkatkan produksi migas serta meningkatkan aktivitas eksplorasi!!!. Melihat kenyataan, eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi kian sulit, maka kehadiran investor atau perusahaan migas dunia (oil majors) masih akan tetap dibutuhkan Indonesia. 

Sebagian blok migas yang ada saat ini ada di wilayah timur Indonesia, daerah frontier, lepas pantai dan laut dalam. Pengembangan blok-blok migas kedepan menuntut penerapan teknologi tinggi serta investasi besar. Mengandalkan Pertamina dan perusahaan migas swasta nasional tentu tidak cukup. Kolaborasi perusahaan migas nasional dan IOC merupakan solusi yang tepat. 

Kolaborasi tersebut dapat dilakukan terutama untuk mengembangkan blok-blok migas yang rumit, seperti East Natuna, Blok Masela dan pengambangan lanjutan Blok Mahakam. Kolaborasi atau joint-operating dapat mengoptimalkan tingkat produksi sebuah blok migas serta mengurangi risiko (sharing risk). Dalam konteks ini, pengelolaan Blok Mahakam pasca 2017, misalnya, dapat dilakukan melola joint-operating scheme -- melibatkan operator lama (Total E&P Indonesia dan mitranya Inpex) serta perusahaan migas nasional Pertamina. (*)

Wednesday 15 January 2014

Industri Migas Indonesia Dorong Pertumbuhan Industri Barang & Jasa Migas



Proses Instalasi Platform Migas
Setiap industri memiliki efek berantai [multiplier effect] yang berbeda-beda. Ada industri yang memiliki dampak multiplier effect lebih besar dibanding industri lain, tapi ada juga industri yang memiliki dampak efek berantai kecil dan tidak signifikan. Salah satu industri yang memiliki efek berantai cukup besar adalah industri minyak dan gas bumi. Bila industri ini maju dan berkembang, maka otomatis akan memberi manfaat besar bagi perekonomian bangsa, baik ekonomi nasional maupun daerah.

Multiplier effect tercermin dari majunya industri pendukung industri utama, dalam hal ini industri minyak dan gas bumi. Dampak sebaliknya dapat terjadi, bila industri minyak dan gas bumi tidak berkembang atau bahkan meredup, otomatis industri pendukung juga secara perlahan akan meredup dan akhirnya gulung tikar.

Dampak susulan dari industri migas terlihat jelas pada proyek-proyek minyak dan gas bumi. Kita ambil contoh anjungan minyak dan gas bumi lepas pantai. Efek berantainya terjadi mulai tahap awal yaitu survei geologi, eksplorasi, masuk ke tahap pengembangan hingga masa produksi atau komersialiasi. Pada fase eksplorasi, industri pendukung migas dibutuhkan, mulai dari penyuplai logistik, alat pengeboran, supply vessel, dan lain-lain. Bila perusahaan melakukan pengeboran di lepas pantai dengan membuat anjungan minyak dan gas bumi, maka akan mendorong perkembangan industri-industri pendukung, diantaranya pembuat anjungan migas (oil and gas platform), peusahaan baja, industri pipa migas, industri cat.

Bila kita kembali menelusuri proses pembuatan sebuah platform migas, kita akan melihat betapa panjang proses yang dilalui, mulai dari design engineering anjungan, fase fabrikasi,  transportasi, atau delivery, instalasi hingga platform tersebut beroperasi. Multiplier-effect terbesar terjadi saat fase fabrikasi, terutama untuk platform berukuran besar. Tenaga kerja yang dibutuhkan dapat mencapai ratusan hingga ribuan orang. Material yang dipakai bermacam-macam, mulai dari produk plat baja, pipa berukuran besar untuk jacket dan kaki/tiang anjungan, cat, dan lain-lain. Produk cat saja tidak bisa sembarangan, tapi cat yang tahan terhadap garam laut, hujan dan cuaca panas sehingga pipa-pipa anjungan tidak cepat rusak akibat korosi.

Saat ini di Indonesia sudah ada beberapa perusahaan pembuat anjungan lepas pantai. Untuk skala internasional misalnya McDermott, yang memiliki lokasi fabrikasi di Batam dan untuk pemain lokal adalah PT Gunanusa Fabricators. Saat ini muncul pemain-pemain baru atau berencana masuk ke industri pembuat anjungan migas, yaitu PT PAL dan salah satu anak usaha Bakrie Group. Gunanusa, misalnya, telah membuat belasan anjungan minyak dan gas lepas pantai yang dipakai oleh berbagai perusahaan migas yang berada di luar negeri seperti di India, Thailand dan Vietnam, serta dalam negeri. Beberapa perusahaan migas kelas dunia telah menggunakan jasa perusahaan ini untuk membuat platform, misalnya, BP untuk anjungan migas di proyek Tangguh, Papua Barat serta Total E&P Indonesie untuk anjungan lepas pantai di Kalimantan Timur.

Tidak hanya anjungan, industri lain yang berkembang menyusul berkembangnya industri minyak dan gas bumi adalah produsen pipa dan baja. Beberapa perusahaan dalam negeri yang telah turut merasakan majunya industri migas adalah PT KHI, perusahaan pembuat pipa migas yang berlokasi di Cilegon. KHI adalah anak usaha PT Krakatau Steel, sebuah badan usaha milik negara [BUMN].

Industri pendukung migas, tidak hanya berupa barang, peralatan dan produk material lainnya, tapi juga jasa. Dewasa ini banyak perusahaan jasa dan konsultan migas yang bertebaran dimana. Perusahaan-perusahaan jasa ini memberikan berbagai jasa yang dibutuhkan industri migas, misalnya well-service, maintenance, jasa engineering desain, dan sebagainya. 

Saat ini industri pendukung migas berkembang cukup pesat, terutama setelah pemerintah, melalui Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan SKK Migas (sebelumnya BPMigas), mengeluarkan peraturan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). Berdasarkan peraturan tersebut, perusahaan-perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia dituntut untuk memenuhi target TKDN tertentu. Peraturan local content tersebut telah turut mendongkrak pemanfaatan produk nasional di industri migas hingga di atas 50 persen. Padahal sebelumnya, katakanlah 10 tahun lalu tingkat kandungan lokal proyek-proyek migas sangat kecil. Hal ini bisa dipahami karena industri migas menuntut standar spesifikasi produk yang cukup tinggi, yang saat itu belum dapat dipenuhi ole produsen-produsen lokal. 

Namun, sejak peraturan TKDN dikeluarkan pemerintah beberapa tahun lalu, industri pendukung migas pun berkembang cukup pesat. Ini terlihat dari data yang dikeluarkan oleh SKK Migas awal bulan ini. Data yang dirilis SKK Migas menyebutkan bahwa nilai pengadaan barang dan jasa di sektor hulu migas periode Januari=November 2013 sebesar US$11.78 miliar. Nilai tingkat kandungan dalam negeri mencapai 56,42 persen atau senilai US$5,321 miliar (cost basis).

Penggunaan komponen dalam negeri untuk pengadaan jasa mencapai US$4,33 miliar, sedangkan untuk pengadaan barang mencapai US$986 juta. Nilai kontrak pengadaan barang dan jasa yang diambil perusahaan BUMN non-perbankan mencapai US$3,18 miliar pada periode 2010-November 2013. Tahun ini saja beberapa perusahaan BUMN mendapat kontrak pengadaan barang dan jasa senilai US$662 juta atau sekitar Rp6 triliun. Diantaranya, PT Pertamina, PT Rekayasa Industri, PT PAL (shipbuilder), Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo) dan lainnya. 

Jelas bahwa semakin berkembang industri migas, semakin postif dampak yang terjadi bagi perekonomian nasional. Perkembangan positif tidak hanya terjadi pada industri pendukung migas, tapi juga perkembangan teknologi migas. Beroperasinya perusahaan-perusahaan migas berskala internasional di Indonesia seperti Inpex, Shell, BP, Total E&P Indonesia, CPI, ExxonMobil, ENI dan lainnya membawa dampak positif bagi kemajuan teknologi migas di Indonesia. 

Pengembangan proyek-proyek raksasa dan rumit seperti Blok Masela (Inpex), Blok Mahakam (oleh Total E&P Indonesia), Tangguh (BP) di Papua dan East Natuna nantinya oleh Pertamina dan mitranya (Exxon Mobil, PTTEP, Total) berdampak  positif bagi kemajuan teknologi migas. Proyek pengembangan lanjutan Blok Mahakam yang berlokasi di rawa-rawa (swamp area) dan lepas pantai juga membawa dampak positif bagi kemajuan industri migas di Indonesia. 

Cukup banyak pekerja dan tenaga ahli migas Indonesia yang telah bekerja di proyek-proyek yang kompleks dan rumit tersebut sehingga mereka dapat meningkatkan keahlian mereka dan memberi peluang terjadi transfer teknologi.  Mengingat industri migas adalah padat modal dan padat teknologi, maka Indonesia dapat menarik manfaat positif dari beroperasinya perusahaan migas berskala global di Indonesia. (*)

Monday 6 January 2014

Indonesia Harus Tingkatkan Eksplorasi Migas Agar Tidak 'Dijajah' BBM



Peserta konvensi calon Presiden (Capres) Partai Demokrat yang juga Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan mengatakan Indonesia saat ini sedang dijajah oleh Bahan Bakar Minyak (BBM), yang diimpor dari negara lain. Pernyataan Dahlan Iskan seolah menegaskan kembali betapa Indonesia saat ini memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap minyak impor. Banyak dampak buruk dari ketergantungan tersebut, antara lain tingginya subsidi BBM, terganggunya neraca perdagangan dan pelemahan rupiah, dan dampak negatif lainnya. Ada yang mendapat untung, yakni para mafia minyak impor. Namun, pertanyaan yang paling penting yang perlu Indonesia jawab – pemerintah, pelaku usaha dan publik – adalah bagaimana agar Indonesia mengurangi ketergantungan yang tinggi pada impor?

Akar dari ketergantungan impor BBM yang tinggi adalah merosotnya produksi minyak dalam negeri, sementara konsumsi BBM naik luar biasa drastis. Situasi akan tambah rumit bila tidak ada langkah drastis dari pemerintah untuk mengatasi jurang antara suplai dan permintaan terhadap BBM ini. Persoalan lain, dalam 10 tahun terakhir belum ada lagi penemuan cadangan minyak besar setelah penemuan cadangan minyak besar di Blok Cepu. Sayang memang, produksi puncak Cepu sebesar 165.000 barel per hari hingga saat ini belum terealisasi. Produksi puncak yang awalnya ditargetkan pada 2012, kemudian molor ke 2013, kini molor ke akhir 2014. 

Dahlan Iskan menyorot kembali kondisi ketahanan energi Indonesia dalam presentasinya di depan panelis Konvensi Capres Partai Demokrat kemarin (6 Jan). Dahlan tampaknya mendapat bisikan yang tepat soal kondisi ketahanan energi Indonesia yang rapuh. Namun, Dahlan Iskan gagal menawarkan soluisi komprehensif terkait rapuhnya ketahanan energi Indonesia. Dahlan Iskan menawarkan solusi pembangunan kilang minyak dengan perkiraan investasi serta mendorong pembangunan infrastruktur gas sehingga gas dari lapangan migas di luar pulau Jawa dapat dialirkan atau dikirim ke pusat-pusat kota dan industri, yang kebetulan kebanyakan berada di Pulau Jawa.

Namun, membangun kilang minyak bukan perkara mudah. Sudah lama Pertamina berniat membangun kilang minyak baru, tapi hingga saat ini belum terealisasi. Pertamina juga berupaya menggandeng perushaaan migas Timur Tengah seperti Aramco dan perusahaan migas raksasa lain, tapi hingga saat ini belum ada tanda-tanda proyek pembangunan kilang minyak baru akan terealisasi. Salah satu faktor penghambat adalah kurangnya insentif yang ditawarkan pemerintah.

Kalaupun Indonesia membangun kilang, yang sejauh ini hanya berupa wacana, masalah belum selesai. Pembangunan kilang minyak hanya menyelesaikan sebagian masalah, karena toh Indonesia tetap harus mengimpor minyak mentah. Minyak mentah kemudian disuling (refined) untuk menghasilkan BBM dan produk-produk derivatif lainnya. 

Seharusnya Dahlan Iskan fokus pada upaya mendorong dilakukannya eksplorasi minyak dan gas bumi di tanah air, termasuk di lepas pantai dan laut dalam. Indonesia bakal tetap mengeluarkan dana besar untuk mengimpor minyak dari luar negeri. Langkah prioritas sebetulnya, mendorong perusahaan migas, baik lokal/nasional maupun internasional (international oil companies/IOCs). 

Industri migas adalah industri yang bersifat high-capital dan high technology. Tuntutan dana besar tidak hanya saat memasuki fase produksi, tapi juga saat melakukan eksplorasi. Apalagi, hampir 70% potensi minyak dan gas bumi di Indonesia saat ini berada di lepas pantai dan laut dalam. Sebagian besar berada di kawasan frontier atau terisolasi dengan infrastruktur yang hampir tidak ada. 

Fokus Indonesia kedepan seharusnya mendorong dan meningkatkan eksplorasi migas. Pada sisi yang sama mempertahankan produksi pada blok-blok migas yang sudah atau berproduksi seperti Blok Mahakam, dan mempercepat proyek-proyek migas yang sedang berjalan seperti Blok Masela, Donggi-Senoro dan train-3 di BP Tangguh.

Dahlan Iskan mengatakan langkah utama mengatasi krisis energi adalah dengan membangun infrastruktur gas. Namun, lagi-lagi, ini hanya mengatasi 50 persen dari persoalan. Bila tidak ada penambahan cadangan gas bumi, maka produksi gas bumi kedepan juga akan menurun seperti minyak. Jadi, target utama Indonesia seharusnya meningkatkan cadangan migas dengan meningkatkan kegiatan eksplorasi migas. 

Sambil mendorong investasi migas, pemerintah perlu memastikan blok-blog migas yang telah berproduksi dipertahankan dan bila perlu ditingkatkan. Proyek-proyek migas yang sedang berjalan perlu dipercepat dan didukung pemerintah. Untuk meningkatkan investasi eksplorasi, pemerintah perlu mendukung dengan menciptakan iklim investasi yang kondusif. 

Menciptakan iklim yang kondusif berarti menghilangkan segala ketidakpastian di dunia migas, termasuk ketidakpastian kontrak blok-blok migas yang akan berakhir dalam 5 tahun mendatang. Salah satunya adalah Blok Mahakam, yang kontraknya akan berakhir semester I 2017. Ketidakpastian kontrak akan berakibat pada tertahannya rencana investasi dan ujungnya berdampak pada pengurangan produksi. Publik berharap pemerintah segera membuat keputusan yang bijak terkait kontrak migas yang segara berakhir. (*)