Tuesday 23 July 2013

Ecogreen Oleochemical dan Masalah Pasokan Gas

Rachmat Dharmawan*

Masalah pasokan gas kini kembali menjadi sorotan. Dalam beberapa hari terakhir pelaku industri kembali dikejutkan oleh kondisi sebuah perusahaan di kawasan Batam, Riau Island, PT Ecogreen Oleochemical, yang terpaksa menutup sementara operasional pabrik akibat ketiadaan pasokan gas. Kasus ini membuat kita prihatin.

Masyarakat tentu bertanya, apa yang terjadi? Apakah pasokan gas alam tidak cukup? Ataukah pasokan gas yang sudah dijanjikan tidak terealisasi? Bagaimana agar kasus-kasus seperti ini tidak terulang? Kalaupun ada, apakah dampaknya dapat diminimalisir? Apa solusi jangka-menengah panjang untuk mengatasi keterbatasan pasokan gas dalam negeri ini?

Mari kita lihat kasus  PT Ecogreen Eloechemical ini. Seperti yang diberitakan media-media nasional kemarin, baik cetak, electronic maupun online, PT Ecogreen Oleochemical terpaksa berhenti operasi bulan lalu akibat berhentinya pasokan gas.

Perusahaan tersebut membutuhkan pasokan gas 1 million standard cubic feet (mmscfd) setiap hari. Perusahaan tersebut mengharapkan pasokan gas dari Sumur Benggala, Langkat, Sumatera Utara, yang awalnya diperkirakan memproduksi gas alam 4-6 mmscf per hari. Namun, produksi dari sumur tersebut berhenti dengan alasan tidak ekonomis bagi operatornya.

PT Ecogreen Oleochemicals merupakan perusahaan oleokimia penghasil alkohol berbahan dasar minyak nabati yang diklaim pemilik “ramah dengan lingkungan”. Alkohol yang dihasilkan digunakan sebagai bahan baku pembuatan shampo, deterjen, kosmetik, cat dan bahan pelapis, pelumas, serta tinta cetak. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan SDM untuk ekspansi pabrik di Batam.

Sama seperti untuk industri pupuk, gas alam sangat vital bagi keberlangsungan perusahaan tersebut. Gas tidak dipakai untuk bahan bakar, tapi sebagai bahan baku produksi. Nah, kalau salah satu bahan baku produksi tidak tersedia, otomatis produksi tidak bisa dilakukan. Bila gas dipakai untuk bahan bakar, perusahaan tentu dapat mencari alternatif seperti biomas, batubara atau sumber energi yang lain.

Kasus ini tentu saja menjadi pukulan telak, tidak hanya bagi perusahaan, karyawan tapi juga bagi pemerintah. Perusahaan dirugikan secara materil dan non-materil, kehilangan pendapatan dan bukan tidak mungkin kehilangan potensi pembeli. Bagi karyawan, kondisi yang tidak menentu akan membuat mereka resah.

Pemerintah juga dirugikan karena akan membuat investor untuk berpikir ulang berinvestasi di Indonesia, disamping kehilangan pendapatan dari pajak, dsb-nya. Uniknya, PT Ecogreen Oleochemical merupakan satu-satunya perusahaan oleochemical yang tidak terkena anti dumping yang diterapkan Eropa baru-baru ini.

Apa yang dialami perusahaan di atas bukan kasus yang terisolasi. Masih banyak perusahaan saat ini yang juga mengalami tersendatnya pasokan gas. Menurut data Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB), masih ada 326 pabrik dan 22 sektor industri yang masih menderita kekurangan gas. Sayangnya, saat ini para pelaku industri belum mendapatkan kepastian pasokan gas untuk produksi maupun untuk meningkatkan produksi.

Gas alam memang unik.  Produk ini tidak mudah didapatkan di spot market seperti minyak. Karakter produk juga unik. Karena bentuknya gas, maka dengan mudah menguap. Karena itu mentransportasikan gas dari mulut sumur ke destinasi tidak mudah.  Saat ini, cara umum yang dilakukan adalah melalui pipa gas serta mengubah formasi gas ke bentuk liquid, liquefied natural gas (LNG).

Salah satu contoh, gas alam yang diambil dari Blok Mahakam yang dikirim ke Jawa, berbentuk liquid karena ketiadaan pipa gas yang membentang dari Kalimantan Timur ke Jawa. Satu-satunya cara, ya, mengubah formasi gas ke liquid dan dikirim ke FSRU (floating storage regasification unit) yang mengapung di lepas pantai utara Jawa. Gas yang sudah berbentuk liquid tadi kemudian diubah kembali menjadi gas melalui proses regasification di FSRU untuk kemudian dialirkan ke pembangkit PLN.

Sebagai kontraktor yang mendapat mandat/kontrak dari pemerintah melalui SKK Migas (sebelumnya BPMIGAS), perusahaan kontraktor (KKKS) tidak sembarangan menjual gas. Penjualan gas harus mendapat persetujuan dari SKK Migas. Dan biasanya, kontrak pasokan gas dilakukan bahkan jauh sebelum pengembangan sebuah lapangan migas dilakukan. Perusahaan migas biasanya hanya mau mengembangkan lapangan migas kalau sudah mendapatkan kepastian pembeli.  

Sebagai perusahaan, PT Ecogreen tentu sudah mengkalkulasi darimana perusahaan itu akan mendapatkan gas. Boleh jadi, perusahaan ini sudah diyakinkan oleh pemerintah maupun operator lapangan migas untuk mendapatkan suplai gas. Dan itu tidak terealisasi. Tampaknya, perusahaan juga berharap akan mendapatkan pasokan dari tempat lain, tapi juga tidak/belum terealisasi.

Dari kasus ini kita dapat melihat fakta bahwa saat ini kebutuhan gas dalam negeri lebih besar dari pasokan. Kedua, terdapat masalah transportasi dari sumber gas ke konsumen gas. Ketiga, kebuntuan komunikasi antara produsen gas dan pembeli, sementara pemerintah sebagai regulator dan pengatur jual-beli gas belum cekatan dalam mengatasi soal keterbatasan pasokan gas.

Pada satu sisi, produsen gas terikat dengan kontrak dengan pembeli gas. Pembeli LNG dari BP Tangguh atau dari Blok Mahakam sudah jauh-jauh ari mengikat kontrak jual-beli gas. Bahkan, pembeli gas sudah mengikat kontrak dengan operator sebelum pengembangan lapangan gas alam dikembangkan.

Jelas, Indonesia saat ini membutuhkan produksi gas alam lebih banyak. Untuk itu, solusi jangka menengah panjang adalah mendorong eksplorasi pengembangan blok Migas yang baru untuk menjamin ketersedian minyak dan gas di masa datang.

Kita tentu berharap banyak pada Pertamina sebagai perusahaan migas terbesar nasional. Kita juga tentu berharap pemerintah mendorong perusahaan migas asing meningkatkan eksplorasi dan produksi gas alam.

Pertamina, misalnya, dapat mengalokasikan dana investasi mengembangkan blok-blok migas yang dimilikinya untuk dikembangkan. Saat ini, seperti yang diutarakan oleh petinggi-petinggi SKK Migas, Pertamina menguasai 47% blok Migas di Tanah Air, tapi sebagian besar belum dikembangkan. Alangkah bermanfaatnya bagi bangsa bila lapangan yang masih idle tersebut dapat berproduksi menghasilkan minyak dan gas.

Tidak realistis bila upaya memproduksi minyak dan gas di Tanah Air semuanya diserahkan ke Pertamina. Pasti perusahaan ini kelabakan. Solusi yang tepat adalah, Pertamina, yang baru saja masuk daftar Fortune 500, dapat meningkatkan kapasitasnya, kapabilitas dan kompetensinya, dan pada suatu sisi bergandengan tangan dengan perusahaan migas dunia, seperti BP, Total, ExxonMobil, Inpex (Jepang), Shell, dsbnya. Tidak bisa disangkal perusahaan-perusahaan dunia ini yang menjadi refensi bagi pengembangan industri minyak dan gas dunia. Pertamina dapat mengejar ketertinggalannya dari sisi teknologi maupun, capital maupun sisi governance.

Untuk pengembangan minyak, kemampuan Pertamina sudah teruji, tapi untuk pengembangan blok gas raksasa, harus diakui belum teruji. Buktinya? Pengembangan blok Masela di laut Arafura maupun Blok Tangguh dikembangkan oleh perusahaan-perusahaan migas ternama dunia.

Saat ini kesempatan bagi Pertamina untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya dengan menerapkan transfer teknologi.  Caranya, dapat dengan berinvestasi mengembangkan blok migas sendiri atau bermitra dengan operator MNC.

Perlu dilihat juga apakah langkah tersebut efisien atau tidak. Sebagai contoh, rencana Pertamina untuk terlibat dalam pengembangan Blok Mahakam yang sudah beroperasi 40 tahun lebih. Pertanyaannya, apakah efisien bagi Pertamina menganggarkan dana investasi triliun pada blok yang sudah uzur (ageing). Sekitar 80% cadangan gas dari blok Mahakam sudah diproduksi dan kini tinggal 20%. Bukankah efisien bila Pertamina membelanjakan investasi tersebut untuk pengembangan blok lain?

Saat ini pemerintah sedang mempertimbangkan opsi apakah operator Blok Mahakam diperpanjang. Bila diperpanjang, pemerintah tidak kehilangan potensi investasi US$7.5 miliar dalam 5-10 tahun mendatang yang akan dibelanjakan oleh Total EP Indonesie dan Inpex. Dana investasi Pertamina dapat dialokasikan ke pengembangan blok migas yang lain. Dan bila tidak diperpanjang dan operatorship diberikan ke Pertamina, potensi investasi tersebut hilang dan digantikan oleh investasi Pertamina.

Dari kaca mata pemerintah, Opsi Pertama, adalah win-win solution, dan opsi kedua adalah win-lose solution. 

Apakah ada opsi lain? Kita membaca di media-media bahwa salah satu opsi yang sedang dipertimbangkan pemerintah adalah melibatkan Pertamina dalam pengembangan Blok Mahakam – Kepemilikan Total dan Inpex berkurang menjadi 35% dan 35% dari 50%, 50%, dan 30% akan menjadi memilik Pertamina. Pada saat yang sama akan ada masa transisi 5 tahun.Opsi ketiga ini dapat juga menjadi opsi win-win solution.

Kita berharap pemerintah akan melakukan pertimbangan matang sebelum mengambil keputusan dengan mempertimbangkan segala risiko dari setiap keputusan tersebut. Sebagai anggota masyarakat kita berharap keputusan yang terbaik bagi bangsa yang dipilih pemerintah. Apapun keputusan pemerintah, tentu akan berdampak pada ketersedian pasokan gas nasional di masa mendatang.

Kembali ke perosalan pasokan gas tadi, solusi jangka panjang adalah meningkatkan investasi migas, baik explorasi maupun produksi. (*)

Thursday 11 July 2013

Meniti karir di industri migas, siapa takut?



Saya merasa beruntung baru-baru ini terlibat dalam sebuah proyek pembuatan video profile sebuah perusahaan minyak dan gas international ternama. Sebagai bagian dari tim saya dan beberapa crew mengunjungi beberapa proyek minyak dan gas baik yang di darat (onshore) maupun di lepas pantai. Sebuah tantangan yang berat sekaligus menyenangkan apalagi saya sendiri belum pernah mengunjungi platform atau rig di lepas pantai.

Sebagai penulis lepas dan penulis skrip tugas saya tentu lebih banyak berinteraksi dengan pekerja senyap industri minyak dan gas baik dari level paling bawah maupun hingga manajemen puncak. Tentu menyenangkan sekali sarapan pagi bersama seorang proyek manager di sebuah lapangan migas dan menit berikutnya berbincang dengan karyawan yang baru beberapa bulan bergabung atau supervisor.

Sebelum terjun ke lapangan, saya harus melakukan riset industri minyak dan gas, regulasi, lokasi-lokasi lapangan minyak dan gas yang akan saya kunjungi bersama crew, sejarah perusahaan, misi dan visi perusahaan. Setelah melakukan riset awal, banyak pengetahuan baru yang saya pelajari.

Salah satu aspek menarik perhatian saya adalah aspek sumber daya manusia (human resources). Satu kesan yang saya tangkap adalah bahwa industri migas sebenarnya terbuka bagi hampir semua disiplin ilmu.

Pekerjaan seperti apakah yang tersedia? Job tersedia di bagian eksplorasi dan produksi, refining, marketing & distribution, research & development, komunikasi dan hubungan masyarakat dan sebagainya.

Di sektor eksplorasi dan produksi, pekerjaan yang tersedia cukup banyak, mulai dari tenaga untuk seismik dan survei serta analisis, drilling spesialis, teknik sipil, ahli geofisik, system analyst, dsbnya.

Dan yang unik dan mengubah mindset saya adalah bahwa industri minyak dan gas tidak lagi identik dengan pekerja laki-laki. Cukup banyak kaum hawa yang terjun ke industri ini. Contohnya, ketika saya mengunjungi sebuah lapangan minyak onshore di daerah Riau, saya sempat berbincang dengan seorang karyawan putri yang masih energik, perkiraan saya umurnya baru menginjak angka 30. Tapi, posisinya sudah cukup bagus, supervisor.

Dari perbincangan yang singkat saya mendapat kesan dia sangat menyenangi pekerjaannya. Dia lulusan sebuah perguruan swasta terkenal di Jakarta, dengan bidang studi petroleum engineer. Dia masuk ke industri migas karena beberapa anggota keluarganya, termasuk ayahnya dulu berkecimpung di industri ini.

Ada kesan di luar bahwa mereka yang kerja di industri migas dapat banyak duit. Memang benar adanya. Namun, di satu sisi risikonya juga besar. Para pekerja di industri ini sangat bervariasi. Ada yang kerja di daratan, bagian administrasi. Tapi ada juga yang terjun ke tengah laut, tinggal di platform minyak lepas pantai. Biasanya, mereka yang kebagian kerja di lepas pantai, biasanya diberi kesempatan kerja 2 minggu dan cuti atau kembali ke darat selama 2 minggu.

Ini diakui pekerja migas di sebuah platform migas lepas pantai Jawa Timur, dekat Madura yang saya kunjungi. Di atas platform minyak dan gas tersebut, rasanya seperti berada di atas sebuah hotel. Restoran, fitnes, tempat karaoke, TV semuanya ada. Jadi, selepas kerja mereka bisa melepas kepenatan dengan berolah raga di fitnes center atau bermain ping pong. Uniknya, semua itu dilakukan di atas platform yang luasnya 3 kali lapangan bola voli. Selama dua minggu, hanya berputar-putar di situ. Boleh dibilang, uang tidak berlaku disitu.

Nah, bagi kawula muda, industri migas di Indonesia dan bahkan dunia saat ini memberikan peluang emas untuk meniti karir. Bagaimana memulainya? Salah satu caranya adalah mengikuti/menghadiri berbagai career expo khusus untuk industri minyak dan gas seperti yang rutin dilakukan oleh berbagagai kampus, seperti yang dilakukan Trisakti, atau UI, ITS atau ITB. Perusahaan-perusahaan migas ternama biasanya memburu calon-calon karyawan terbaik.

Ikuti management trainee bila terbuka. Buka jaringan sebanyak-banyaknya dengan organisasi kelompok-kelompok yang bersentuhan dengan industri migas. Dan tentu saja kemauan tinggi (determinasi) untuk mempelajari hal-hal baru. Ini penting karena apa yang dipelajari di buku-buku bisa berbeda ketika terjun langsung di lapangan. Industri migas menanti dan membutuhkan Anda!!