Tidak
bisa dipungkiri, sektor minyak dan gas bumi merupakan salah satu industri
strategis bagi perekonomian Indonesia. Sektor ini merupakan salah satu penopang
utama penerimaan negara yang masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN), menyumbang sekitar 30 persen pendapatan negara setiap tahun. Kontribusi
sektor migas tidak hanya pendapatan negara, tapi juga mendorong pertumbuhan industri
pendukung migas, ekonomi daerah serta menciptakan jutaan lapangan kerja.
Lalu
bagaimana kinerja sektor energi, khususnya minyak dan gas bumi tahun 2013 dan
bagaimana pula outlook industri ini di tahun politik 2014?
Data Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan realisasi penerimaan negara
dari sektor ESDM, termasuk migas, mencapai Rp398,4 triliun pada 2014. Penerimaan
tersebut datang dari Migas sebesar Rp 252,4 triliun, Pertambangan Umum sebesar
Rp 145,1 triliun dan Panas Bumi Rp 0,87 triliun.
Pada
sisi produksi, masih ada catatan yang harus diperbaiki tahun 2014, terlihat dari
produksi migas tahun 2013 lalu. Selama 2013, realisasi produksi minyak bumi
sebesar 826.000 boepd, atau di bawah target yang ditetapkan APBN 830.000
sementara realisasi lifting gas bumi sebesar 1.204 ribu boepd.
Realisasi
volume konsumsi BBM bersubsidi 2013 mencapai 46,51 juta kiloliter, ada
penghematan 1,49 juta kiloliter dibanding kuota 48 juta kl. Namun, tidak
dijelaskan berapa nilai realisasi biaya subsidi mengingat rupiah telah melemah
hingga 12,000 per dolar AS saat ini. Boleh jadi, nilai subsidinya lebih besar
dari yang telah ditetapkan dalam APBN.
Kementerian ESDM mencatat telah
menandatangani 13 Wilayah Kerja (WK) migas konvensional dan 1 WK
non-konvensional atau shale gas. Namun, Kementerian ESDM tidak merinci lebih
jauh hasil kegiatan eksplorasi selama 2013. Padahal kegiatan eksplorasi banyak
disoroti oleh media dan pelaku industri akibat menurunnya aktivitas eksplorasi
migas dalam beberapa tahun terakhir.
Hasil eksplorasi juga tidak menggembirakan
karena banyak perusahaan migas yang tidak menemukan cadangan migas (dryhole). Beberapa perusahaan eksplorasi
mencatat kerugian seperti Marathon Oil dan Niko Resources dan memutuskan untuk
menyerahkan kembali WK eksplorasi tersebut ke pemerintah.
Namun, ada perkembangan yang cukup menarik
yakni meningkatnya alokasi gas bumi ke pasar domestik, yakni sebesar 52 persen,
sementara angka eksplor LNG tinggal sebesar 48 persen. Situasi ini menjawab
kritikan berbagai pihak bahwa gas bumi dalam negeri lebih banyak diekspor
ketimbang memenuhi permintaan dan kebutuhan dalam negeri.
Kondisi ini menggambarkan produksi gas dalam
negeri kian berperan penting dalam menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Saat
ini, perusahaan asal Perancis Total E&P Indonesie masih menjadi produsen
gas bumi terbesar Indonesia, yang sebagian besar datang dari Blok Mahakam. Gas
bumi dari Blok Mahakam disuplai ke fasilitas LNG di Bontang untuk kemudian di
kirim ke konsumen dalam negeri (Jawa) dan diekspor.
Dalam 1 tahun terakhir, LNG dari Mahakam
sudah berhasil dikirim ke konsumen di Jawab setelah tersedianya FSRU (Floating
Storage Regasification Unit) milik PT Regas (joint venture antara Pertamina dan
PT PGN). FSRU tersebut berada di lepas pantai Jakarta. Gas dari Blok Mahakam
dikirim ke FSRU Jawa Barat tersebut dalam bentuk cair. Sesampai di FSRU, gas
dalam bentuk cair tersebut diproses lagi sehingga kembali berbentuk gas bumi
dan selanjutnya dikirim ke PLN dan industri di Jawa Barat melalui pipa gas.
Press
Release
akhir tahun
Kementerian ESDM tidak memberi informasi cukup terkait industri migas dalam
setahun terakhir. Namun, bila kita menengok ke belakang, tampaknya ada cukup
banyak Pekerjaan Rumah yang perlu dilakukan pemerintah pada 2014. Pertama, investasi
untuk eksplorasi migas. Kegiatan ini penting karena hanya dengan eksplorasi,
akan ada penambahan cadangan minyak dan gas bumi. Tanpa eksplorasi cadangan
yang tersedia saat ini, sebesar 3,7 miliar barel minyak bakal habis dalam 12
tahun mendatang. Demikian juga gas bumi, dalam dua dekade mendatang, cadangan
gas bumi juga bakal habis bila tidak ada penambahan cadangan gas bumi. Untuk
itu, pemerintah perlu mendorong investor migas, terutama oil majors –perusahaan
minyak dunia – untuk berinvestasi di Indonesia.
Sementara, perusahaan migas yang telah
beroperasi di Indonesia didorong untuk mempercepat invesasi mereka. Beberapa
telah menyatakan komitmen investasi, misalnya Total E&P Indonesie berencana
berinvestasi US$7,3 miliar untuk pengembangan lanjutan Blok Mahakam. Tentu
realisasi investasi tersebut tergantung pada keputusan pemerintah mengenai
kelanjutan kontrak blok tersebut setelah kontrak yang sekarang berakhir 2017.
Inpex, BP dan Shell juga baru-baru ini telah menyatakan rencana mereka untuk
berinvestasi di Indonesia.
Pekerjaan Rumah Kedua adalah Iklim Investasi.
Pemerintah perlu terus menjaga iklim investasi agar lebih kondusif agar
perusahaan migas mau berinvestasi di Indonesia. Tanpa iklim investasi yang
kondusif, investor akan beralih ke negara-negara tetangga yang memiliki iklim
yang lebih kondusif. Iklim investasi yang positif tercipta bila adanya
kepastian hukum serta adanya kepastian usaha, termasuk kepastian
kontrak-kontrak Blok Migas yang kontraknya segera berakhir. (*)