Anjungan migas lepas pantai Blok Pangkah (foto Kompas) |
Hess berpartner dengan sebuah perusahaan migas asal Timur Tengah Kufpec. Namun,
kemungkinan pakaian para pekerja migas lepas pantai tersebut akan berubah
menyusul pergantian kepemilikan aset tersebut. Kufpec, yang memiliki hak
kepesertaan 25% Juni tahun ini telah menjual kepemilikannya kepada PT
Perusahaan Gas Negara (PGN). Beberapa hari ini, sudah muncul pemberitahuan
resmi dari kantor pusat Hess, bahwa perusahaan tersebut telah menjual hak
kepesertaannya sebesar 75% di Blok Pangkah dan Blok Natuna A ke Pertamina dan PTTEP, perusahaan
migas asal Thailand.
Bukan Cuma Hess dan Kufpec yang menjual aset-aset
minyak dan gas bumi mereka di Indonesia. Sebelumnya, pada Desember 2012,
Anadarko menjual tiga anak perusahaannya di Indoensia ke Pertamina. Pada Mei
2013, PT Pertamina membeli participating interest (PI) Talisman Energy di blok
Offshore North West Java (ONWJ).
Tidak hanya itu, Marathon Oil Corporation telah
kembalikan beberapa Working Areas (WK) yang dimilikinya ke pemerintah
Indonesia, setelah gagal menemukan cadangan yang dinilai komersil. Perusahaan
tersebut tidak menemukan apa-apa untuk dikembangkan (dryhole), padahal
perusahaan tersebut telah membelanjakan ratusan juta dolar untuk bereksplorasi,
mencari cadangan minyak dan gas.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah tidak adanya
kemajuan berarti eksplorasi migas yang dilakukan oleh Niko Resources,
perusahaan asal Kanada. Padahal, Niko Resources saat ini, memiliki Wilayah
Kerja (WK) lepas pantai dan laut dalam terbanyak di Indonesia. Memang, belum
semua WK Niko Resources telah dieksplorasi. Masih ada beberapa WK yang masih
dalam tahap eksplorasi. Bila ditemukan cadangan gas bumi atau minyak, maka
perusahaan tersebut akan masuk ke tahap produksi. Namun, sejauh ini, belum ada penemuan berarti. Beberapa WK juga belum
dikembangkan karena alasan teknis internal perusahahaan serta kendala di
lapangan atau kurangnya dukungan insentif dari pemerintah.
Padahal sebelumnya pemerintah menjanjikan akan
memberikan insentif khusus kepada perusahaan migas yang melakukan eksplorasi di
lepas pantai, laut dalam atau daerah frontier.
Tapi janji pemerintah belum terjadi. Malah, pemerintah mengenakan pajak bumi
dan bangunan (PBB) pada WK yang masih dalam tahap eksplorasi. Potensi cadangan
minyak dan gas belum diketahui, dan belum tentu ditemukan, pemerintah sudah
mengenakan pajak. Situasi seperti ini yang membuat beberapa perusahaan
mengurungkan niatnya melakukan eksplorasi. Beberapa perusahaan bahkan sudah
hengkang dari Indonesia.
Belum lagi, belasan kontrak minyak dan gas akan
berakhir dalam beberapa tahun kedepan. Kemungkinannya, perusahaan-perusahaan
migas itu lebih memilih tinggalkan Indonesia atau tetap beroperasi di
Indonesia, namun, mengurangi eksposur mereka, hingga situasi kondusif untuk
melakukan investasi lagi. Bila kontrak tidak diperpanjang, maka pilihan logis
pemerintah adalah melelang kembali blok-blok migas yang telah ditinggalkan
perusahaan-perusahaan migas tersebut atau diserahkan ke Pertamina. Situasi ini
akan memberikan beban berat kepada Pertamina untuk melakukan investasi dan
bertanggungjawab penuh pada produksi minyak dan gas di Tanah Air.
Pemerintah tentu tak ingin menyerahkan seluruh
tanggung jawab pengelolaan minyak dan gas bumi di Tanah Air. Banyangkan saja,
setiap tahun investasi migas di Indonesia mencapai US$35 miliar setiap tahun
atau Rp350 triliun. Tentu itu, tidak mungkin dilakukan sendiri oleh Pertamina,
karena perusahaan tersebut baru berfungsi sebagai full corporation dalam 10
tahun terakhir. Perjalanan perusahaan migas nasional tersebut masih jauh
tertinggal, bahkan dengan perusahaan migas negara tetangga Petronas.
Maka, skenario yang tampaknya dipilih pemerintah
adalah mengembangkan perusahaan migas nasional PT Pertamina, BUMN migas milik
pemerintah, serta perusahaan migas nasional lainnya seperti Medco Energi,
Energi Mega Persada, Star Energi, dan lain-lainnya. Pada saat yang sama,
pemerintah mendorong perusahaan migas global (international oil companies/IOCs)
untuk terus berinvestasi di Indonesia. Perusahaan-perusahaan IOCs diundang
untuk bereksplorasi dan meningkatkan produski mereka di Indonesia.
Blok-blok migas yang kontraknya segera berakhir,
dapat dilanjutkan/diperbaharui kontraknya, atau membuat skema baru yang
melibatkan operator lama dan baru. Opsi ini, tampaknya bakal dan sebaiknya
diambil pemerintah untuk blok-blok yang besar, tua tapi masih strategis. Opsi ini
memberi manfaat lebih besar kepada negara karena produksi migas tidak akan
terganggu, produksi dapat dioptimalkan, operasional tidak terganggu dan risiko
dapat ditekan seminimal mungkin. Skenario ini dapat diterapkan untuk Blok
Mahakam, yang kontraknya akan habis pada Maret 2017, dan beberapa blok lainnya.
Skenario ini merupakan salah satu upaya pemerintah
untuk meningkatkan investasi migas di Tanah Air dalam tahun-tahun mendatang.
Total E&P Indonesie misalnya berencana untuk berinvestasi US$7,3 miliar
dalam 5 tahun kedepan untuk pengembangan Blok Mahakam selanjutnya. Shell,
seperti yang diutarakan oleh CEO perusahaan Belanda tersebut usai bertemu
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Surabaya baru-baru ini, akan berinvestasi
US$5 miliar di Indonesia dalam beberapa tahun ke depan, dan dapat meningkat
hingga US$25 miliar. BP, asal Inggris, berencana untuk berinvestasi miliaran
dolar untuk mengembangkan Train 3 di proyek Tangguh, di Bintuni, Papua Barat.
Tapi
semua skenario ini, tentu tergantung pada pemeritnah dan rakyat Indonesia untuk
menciptakan iklim investasi yang kondusif. Di atas semua itu, Indonesia kedepan
masih akan butuh investasi besar untuk mengembangkan industri migas dan energi
baru dan terbarukan untuk mencapai ketahanan energi. Ketahanan energi hanya
bisa tercapai bila sumber energi dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan industri
dan konsumen rumah tangga dalam negeri. Kini bola ada di tangan pemerintah. (*)
No comments:
Post a Comment