Wednesday 11 December 2013

Hess, Kufpec Jual Aset Migas, Indikasi Indonesia Kian Ditinggalkan Investor?



Anjungan migas lepas pantai Blok Pangkah (foto Kompas)
Anjungan minyak dan gas lepas pantai berwarna kuning cerah itu terlihat mengkilap diterpa sinar mentari sore. Beberapa pekerja dengan pakaian warna hijau muda, warna korporasi operator blok tersebut, Hess, terlihat melakukan pengecekan dan pemantauan. Di sudut lain, sebuah jack-up rig terus memompa gas dari perut bumi. Itulah rutinitas yang terlihat pada anjungan lepas pantai yang dikelola oleh Hess, sebuah perusahaan migas independen asal Amerika Serikat. Gas dari blok tersebut dialirkan melalui pipa gas ke konsumen di Jawa Timur, termasuk perusahaan listrik negara PT PLN

Hess berpartner dengan sebuah perusahaan migas asal Timur Tengah Kufpec. Namun, kemungkinan pakaian para pekerja migas lepas pantai tersebut akan berubah menyusul pergantian kepemilikan aset tersebut. Kufpec, yang memiliki hak kepesertaan 25% Juni tahun ini telah menjual kepemilikannya kepada PT Perusahaan Gas Negara (PGN). Beberapa hari ini, sudah muncul pemberitahuan resmi dari kantor pusat Hess, bahwa perusahaan tersebut telah menjual hak kepesertaannya sebesar 75% di Blok Pangkah dan Blok Natuna A ke Pertamina dan PTTEP, perusahaan migas asal Thailand.

Bukan Cuma Hess dan Kufpec yang menjual aset-aset minyak dan gas bumi mereka di Indonesia. Sebelumnya, pada Desember 2012, Anadarko menjual tiga anak perusahaannya di Indoensia ke Pertamina. Pada Mei 2013, PT Pertamina membeli participating interest (PI) Talisman Energy di blok Offshore North West Java (ONWJ).

Tidak hanya itu, Marathon Oil Corporation telah kembalikan beberapa Working Areas (WK) yang dimilikinya ke pemerintah Indonesia, setelah gagal menemukan cadangan yang dinilai komersil. Perusahaan tersebut tidak menemukan apa-apa untuk dikembangkan (dryhole), padahal perusahaan tersebut telah membelanjakan ratusan juta dolar untuk bereksplorasi, mencari cadangan minyak dan gas.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah tidak adanya kemajuan berarti eksplorasi migas yang dilakukan oleh Niko Resources, perusahaan asal Kanada. Padahal, Niko Resources saat ini, memiliki Wilayah Kerja (WK) lepas pantai dan laut dalam terbanyak di Indonesia. Memang, belum semua WK Niko Resources telah dieksplorasi. Masih ada beberapa WK yang masih dalam tahap eksplorasi. Bila ditemukan cadangan gas bumi atau minyak, maka perusahaan tersebut akan masuk ke tahap produksi. Namun, sejauh ini, belum  ada penemuan berarti. Beberapa WK juga belum dikembangkan karena alasan teknis internal perusahahaan serta kendala di lapangan atau kurangnya dukungan insentif dari pemerintah.

Padahal sebelumnya pemerintah menjanjikan akan memberikan insentif khusus kepada perusahaan migas yang melakukan eksplorasi di lepas pantai, laut dalam atau daerah frontier. Tapi janji pemerintah belum terjadi. Malah, pemerintah mengenakan pajak bumi dan bangunan (PBB) pada WK yang masih dalam tahap eksplorasi. Potensi cadangan minyak dan gas belum diketahui, dan belum tentu ditemukan, pemerintah sudah mengenakan pajak. Situasi seperti ini yang membuat beberapa perusahaan mengurungkan niatnya melakukan eksplorasi. Beberapa perusahaan bahkan sudah hengkang dari Indonesia.

Belum lagi, belasan kontrak minyak dan gas akan berakhir dalam beberapa tahun kedepan. Kemungkinannya, perusahaan-perusahaan migas itu lebih memilih tinggalkan Indonesia atau tetap beroperasi di Indonesia, namun, mengurangi eksposur mereka, hingga situasi kondusif untuk melakukan investasi lagi. Bila kontrak tidak diperpanjang, maka pilihan logis pemerintah adalah melelang kembali blok-blok migas yang telah ditinggalkan perusahaan-perusahaan migas tersebut atau diserahkan ke Pertamina. Situasi ini akan memberikan beban berat kepada Pertamina untuk melakukan investasi dan bertanggungjawab penuh pada produksi minyak dan gas di Tanah Air.

Pemerintah tentu tak ingin menyerahkan seluruh tanggung jawab pengelolaan minyak dan gas bumi di Tanah Air. Banyangkan saja, setiap tahun investasi migas di Indonesia mencapai US$35 miliar setiap tahun atau Rp350 triliun. Tentu itu, tidak mungkin dilakukan sendiri oleh Pertamina, karena perusahaan tersebut baru berfungsi sebagai full corporation dalam 10 tahun terakhir. Perjalanan perusahaan migas nasional tersebut masih jauh tertinggal, bahkan dengan perusahaan migas negara tetangga Petronas.

Maka, skenario yang tampaknya dipilih pemerintah adalah mengembangkan perusahaan migas nasional PT Pertamina, BUMN migas milik pemerintah, serta perusahaan migas nasional lainnya seperti Medco Energi, Energi Mega Persada, Star Energi, dan lain-lainnya. Pada saat yang sama, pemerintah mendorong perusahaan migas global (international oil companies/IOCs) untuk terus berinvestasi di Indonesia. Perusahaan-perusahaan IOCs diundang untuk bereksplorasi dan meningkatkan produski mereka di Indonesia.

Blok-blok migas yang kontraknya segera berakhir, dapat dilanjutkan/diperbaharui kontraknya, atau membuat skema baru yang melibatkan operator lama dan baru. Opsi ini, tampaknya bakal dan sebaiknya diambil pemerintah untuk blok-blok yang besar, tua tapi masih strategis. Opsi ini memberi manfaat lebih besar kepada negara karena produksi migas tidak akan terganggu, produksi dapat dioptimalkan, operasional tidak terganggu dan risiko dapat ditekan seminimal mungkin. Skenario ini dapat diterapkan untuk Blok Mahakam, yang kontraknya akan habis pada Maret 2017, dan beberapa blok lainnya.

Skenario ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan investasi migas di Tanah Air dalam tahun-tahun mendatang. Total E&P Indonesie misalnya berencana untuk berinvestasi US$7,3 miliar dalam 5 tahun kedepan untuk pengembangan Blok Mahakam selanjutnya. Shell, seperti yang diutarakan oleh CEO perusahaan Belanda tersebut usai bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Surabaya baru-baru ini, akan berinvestasi US$5 miliar di Indonesia dalam beberapa tahun ke depan, dan dapat meningkat hingga US$25 miliar. BP, asal Inggris, berencana untuk berinvestasi miliaran dolar untuk mengembangkan Train 3 di proyek Tangguh, di Bintuni, Papua Barat. 

Tapi semua skenario ini, tentu tergantung pada pemeritnah dan rakyat Indonesia untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif. Di atas semua itu, Indonesia kedepan masih akan butuh investasi besar untuk mengembangkan industri migas dan energi baru dan terbarukan untuk mencapai ketahanan energi. Ketahanan energi hanya bisa tercapai bila sumber energi dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan industri dan konsumen rumah tangga dalam negeri. Kini bola ada di tangan pemerintah. (*)

No comments:

Post a Comment