Friday 27 December 2013

Kinerja Sektor Migas Indonesia 2013 dan Outlook 2014, Ada PR Besar di Depan Mata!



Tidak bisa dipungkiri, sektor minyak dan gas bumi merupakan salah satu industri strategis bagi perekonomian Indonesia. Sektor ini merupakan salah satu penopang utama penerimaan negara yang masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), menyumbang sekitar 30 persen pendapatan negara setiap tahun. Kontribusi sektor migas tidak hanya pendapatan negara, tapi juga mendorong pertumbuhan industri pendukung migas, ekonomi daerah serta menciptakan jutaan lapangan kerja. 
Lalu bagaimana kinerja sektor energi, khususnya minyak dan gas bumi tahun 2013 dan bagaimana pula outlook industri ini di tahun politik 2014?
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan realisasi penerimaan negara dari sektor ESDM, termasuk migas, mencapai Rp398,4 triliun pada 2014. Penerimaan tersebut datang dari Migas sebesar Rp 252,4 triliun, Pertambangan Umum sebesar Rp 145,1 triliun dan Panas Bumi Rp 0,87 triliun.
Pada sisi produksi, masih ada catatan yang harus diperbaiki tahun 2014, terlihat dari produksi migas tahun 2013 lalu. Selama 2013, realisasi produksi minyak bumi sebesar 826.000 boepd, atau di bawah target yang ditetapkan APBN 830.000 sementara realisasi lifting gas bumi sebesar 1.204 ribu boepd.
Realisasi volume konsumsi BBM bersubsidi 2013 mencapai 46,51 juta kiloliter, ada penghematan 1,49 juta kiloliter dibanding kuota 48 juta kl. Namun, tidak dijelaskan berapa nilai realisasi biaya subsidi mengingat rupiah telah melemah hingga 12,000 per dolar AS saat ini. Boleh jadi, nilai subsidinya lebih besar dari yang telah ditetapkan dalam APBN.
Kementerian ESDM mencatat telah menandatangani 13 Wilayah Kerja (WK) migas konvensional dan 1 WK non-konvensional atau shale gas. Namun, Kementerian ESDM tidak merinci lebih jauh hasil kegiatan eksplorasi selama 2013. Padahal kegiatan eksplorasi banyak disoroti oleh media dan pelaku industri akibat menurunnya aktivitas eksplorasi migas dalam beberapa tahun terakhir.

Hasil eksplorasi juga tidak menggembirakan karena banyak perusahaan migas yang tidak menemukan cadangan migas (dryhole). Beberapa perusahaan eksplorasi mencatat kerugian seperti Marathon Oil dan Niko Resources dan memutuskan untuk menyerahkan kembali WK eksplorasi tersebut ke pemerintah. 

Namun, ada perkembangan yang cukup menarik yakni meningkatnya alokasi gas bumi ke pasar domestik, yakni sebesar 52 persen, sementara angka eksplor LNG tinggal sebesar 48 persen. Situasi ini menjawab kritikan berbagai pihak bahwa gas bumi dalam negeri lebih banyak diekspor ketimbang memenuhi permintaan dan kebutuhan dalam negeri.

Kondisi ini menggambarkan produksi gas dalam negeri kian berperan penting dalam menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Saat ini, perusahaan asal Perancis Total E&P Indonesie masih menjadi produsen gas bumi terbesar Indonesia, yang sebagian besar datang dari Blok Mahakam. Gas bumi dari Blok Mahakam disuplai ke fasilitas LNG di Bontang untuk kemudian di kirim ke konsumen dalam negeri (Jawa) dan diekspor. 

Dalam 1 tahun terakhir, LNG dari Mahakam sudah berhasil dikirim ke konsumen di Jawab setelah tersedianya FSRU (Floating Storage Regasification Unit) milik PT Regas (joint venture antara Pertamina dan PT PGN). FSRU tersebut berada di lepas pantai Jakarta. Gas dari Blok Mahakam dikirim ke FSRU Jawa Barat tersebut dalam bentuk cair. Sesampai di FSRU, gas dalam bentuk cair tersebut diproses lagi sehingga kembali berbentuk gas bumi dan selanjutnya dikirim ke PLN dan industri di Jawa Barat melalui pipa gas.

Press Release akhir tahun Kementerian ESDM tidak memberi informasi cukup terkait industri migas dalam setahun terakhir. Namun, bila kita menengok ke belakang, tampaknya ada cukup banyak Pekerjaan Rumah yang perlu dilakukan pemerintah pada 2014. Pertama, investasi untuk eksplorasi migas. Kegiatan ini penting karena hanya dengan eksplorasi, akan ada penambahan cadangan minyak dan gas bumi. Tanpa eksplorasi cadangan yang tersedia saat ini, sebesar 3,7 miliar barel minyak bakal habis dalam 12 tahun mendatang. Demikian juga gas bumi, dalam dua dekade mendatang, cadangan gas bumi juga bakal habis bila tidak ada penambahan cadangan gas bumi. Untuk itu, pemerintah perlu mendorong investor migas, terutama oil majors –perusahaan minyak dunia – untuk berinvestasi di Indonesia.

Sementara, perusahaan migas yang telah beroperasi di Indonesia didorong untuk mempercepat invesasi mereka. Beberapa telah menyatakan komitmen investasi, misalnya Total E&P Indonesie berencana berinvestasi US$7,3 miliar untuk pengembangan lanjutan Blok Mahakam. Tentu realisasi investasi tersebut tergantung pada keputusan pemerintah mengenai kelanjutan kontrak blok tersebut setelah kontrak yang sekarang berakhir 2017. Inpex, BP dan Shell juga baru-baru ini telah menyatakan rencana mereka untuk berinvestasi di Indonesia.

Pekerjaan Rumah Kedua adalah Iklim Investasi. Pemerintah perlu terus menjaga iklim investasi agar lebih kondusif agar perusahaan migas mau berinvestasi di Indonesia. Tanpa iklim investasi yang kondusif, investor akan beralih ke negara-negara tetangga yang memiliki iklim yang lebih kondusif. Iklim investasi yang positif tercipta bila adanya kepastian hukum serta adanya kepastian usaha, termasuk kepastian kontrak-kontrak Blok Migas yang kontraknya segera berakhir. (*)

No comments:

Post a Comment