Sebuah anjungan migas lepas pantai |
Beberapa waktu lalu, pemerintah DKI Jakarta membuat
pernyataan dan usulan yang mengejutkan. Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama
atau yang lebih dikenal Ahok mengumumkan rencana pemerintah DKI untuk menghapus
bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi untuk wilayah DKI Jakarta. Pernyataan
tersebut memancing tanggapan yang bervariasi dari publik. Ada yang menyetujui
dan mendukung rencana Pemda DKI tersebut, tapi ada juga yang menolak dengan
alasan tidak efektif.
Yang jelas, bila subsidi BBM di Jakarta dihapus, bakal
mengurangi beban biaya subsidi BBM yang nilainya triliunan rupiah setiap tahun.
Bila dana tersebut dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan dan
kesehatan, dampaknya bakal dirasakan oleh masyarakat. Pertanyaannya, mengapa
perusahaan minyak dan gas bumi nasional PT Pertamina, justru yang paling getol
menolak rencana Pemda DKI tersebut? Bukankah rencana tersebut akan
menguntungkan pemerintah dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan?
Juru bicara Pertamina Ali Mundakir mengungkapkan pengahpusan
BBM subsidi hanya untuk DKI Jakarta tidak akan efektif karena konsumsi BBM
subsidi di Jakarta akan berpindah ke daerah lain seperti Depok, Tangerang,
Bekasi dan kawasan di sekitar Jakarta. Bila
melihat alasan Jubir Pertamina tersebut, justru bagus kan? Kendaraan-kendaraan
yang mau isi BBM subsidi di kota Jakarta bayar harga non-subsidi, dan yang mau
beli BBM subsidi, silahkan beli di luar DKI.
Dampaknya akan sangat positif. Dari sisi pemerintah pusat,
biaya subsidi triliunan rupiah setiap tahun dapat digunakan untuk keperluan
lain. Kedua, seperti yang diucapkan oleh wakil gubernur DKI, Basuki Purnama,
akan berdampak pada pengurangan kendaraan di Jakarta. Orang akan berhemat, dan
kemungkinan akan beralih ke kendaraan umum. Bila tetap mau beli BBM subsidi,
mereka akan keluar Jakarta, sehingga mengurangi jumlah kendaraan yang beredar
di Jakarta.
Namun, pengurangan konsumsi BBM subsidi akan berdampak
negatif pada pendapatan Pertamina. Sekitar 60-70 persen BBM subsidi tersedot di
Ibu Kota. Pertamina mendapat fee sejumlah tertentu dari menjual BBM bersubsidi.
Penghapusan suplai BBM subsidi di Ibu Kota, akan mengurangi pendapatan
perusahaan migas nasional tersebut.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta rupanya tidak main-main dan
serius menghapus BBM subsidi di Jakarta. Pemerintah Provinsi DKI akan
berkoordinasi langsung dengan Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan
Pengendalian Pembangunan (UKP4). Rencana penghapusan BBM subsidi di Jakarta
tersebut patut didukung oleh publik.
Lihat saja komentar masyarakat di berbagai media online
maupun cetak. Ada yang mengatakan salut terhadap rencana pemerintah provinsi DKI Jakarta tersebut. Menteri ESDM
Jero Wacik pun, pada awalnya mengacungkan jempol dan mengatakan rencana
tersebut termasuk langkah berani. Menteri Jero Wacik kemudian secara halus
meralat dukungan kepada rencana pemerintah provinsi DKI Jakarta, dengan
mengatakan rencana tersebut masih perlu dikaji lebih serius. Boleh jadi,
Menteri ESDM tersebut sudah memperoleh bisikan dari Pertamina, bahwa
pengurangan subsidi di DKI Jakarta akan mengurangi pendapatan Pertamina.
Pertamina seharusnya mendukung rencana pemerintah provinsi
DKI. Bisa saja Pertamina mengusulkan dana subsidi BBM tersebut dialokasikan
untuk biaya eksplorasi minyak dan gas bumi Pertamina. Karena selama ini,
Pertamina tidak begitu aktif melakukan eksplorasi minyak dan gas bumi. Justru oil majors atau perusahaan-perusahaan
migas dunia yang mau mengambil risiko berinvestasi untuk eksplorasi.
Sejauh ini, distribusi BBM atau industri migas sektor hilir
memang dikuasai Pertamina. Sektor hilir memang risikonya kecil, dibanding
dengan sektor hulu. Investasi untuk eksplorasi, mencari minyak dan gas bumi
membutuhkan biaya besar (capital intensive) dan teknologi, terutama untuk
eksplorasi di lepas pantai dan laut dalam.
Pemerintah seharusnya fokus pada upaya mendorong perusahaan migas
berinvestasi untuk eksplorasi, bukan sibuk dan habiskan waktu dan energi untuk
mengatasi isu-isu distribusi BBM bersubsidi.
Tugas pemerintah seharusnya fokus pada isu-isu penting seperti menciptakan iklim usaha yang kondusif agar semakin banyak investor migas berinvestasi di Indonesia, agar suplai minyak dan gas terjamin. Tidak kalah penting adalah menghilangkan faktor-faktor ketidakpastian, termasuk ketidakpastian blok-blok migas yang akan segera berakhir. Cukup banyak perusahaan migas yang sekarang khawatir dan nasibnya 'digantung' oleh pemerintah karena belum membuat keputusan terkait blok-blok yang kontraknya segera berakhir. Salah satunya, kontrak blok Mahakam yang akan berakhir tahun 2017. Seharusnya pemerintah segera membuat keputusan, karena bila ditunda terus akan berpengaruh pada rencana invetasi operator blok tersebut, yakni Total E&P Indonesie. (*)
(*)
No comments:
Post a Comment