Saat
sebagian besar masyarakat Indonesia menikmati akhir pekan kemarin, para
politisi Demokrat terlibat debat panas. Salah satu topik yang diangkat dalam
perdebatan itu adalah soal Blok Mahakam, salah satu blok migas tua yang berada
di Kalimantan Timur. Gita Wirjawan, yang telah mengundurkan diri sebagai
Menteri Perdagangan setuju blok tersebut dikelola oleh bangsa sendiri. Membaca
pernyataan tersebut di media-media online, saya geleng-geleng kepala. Bukan soal
isunya, tapi soal siapa yang membahas soal topik tersebut. Kemudian muncul
pertanyaan di kepala, yang juga boleh jadi menjadi pertanyaan banyak orang.
Mengapa para politisi Partai Demokrat ‘menjual’ isu yang hangat dan
juga menjadi persoalan utama bangsa ini saat ini, yakni KORUPSI?
Mantan
menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengatakan bahwa dia tidak ada keraguan dalam
bahwa Blok Mahakam mutlak dimiliki dan dikelola oleh bangsa sendiri. Gita
tampaknya terbawa oleh isu nasionalisme yang ditiupkan oleh sekelompok
masyarakat dan mendikotomikan antara ‘bangsa sendiri’ dan bukan bangsa sendiri
atau asing.
Masalah
utama dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) di Indonesia, termasuk minyak
dan gas bumi, bukan masalah asing atau bangsa sendiri. Tidak ada jaminan sumber daya alam (SDA)
yang dikelola bangsa sendiri, akan menyejahterakan rakyat Indonesia. Demikian
juga sebaliknya, tidak ada jaminan SDA dikelola asing akan menyejahterakan
rakyat. Bisa jadi perusahaan lokal dapat lebih menyejahterakan rakyat
Indonesia. Demikian juga, perusahaan asing atau kehadiran perusahaan atau
investor asing dapat lebih menyejaherakan rakyat Indonesia.
Persoalan
utama dalam pengelolaan SDA di Indonesia, termasuk minyak dan gas bumi, adalah
pengelolaan yang tidak benar dan tidak bertanggung jawab. Bahkan, pendapatan
dari industri SDA yang masuk ke rekening pemerintah (APBN), lebih banyak
bocornya daripada yang disalurkan ke masyarakat atau rakyat melalui belanja
negara setiap tahun. Puluhan dan bahkan ratusan triliun uang menguap setiap
tahun dari SDA Indonesia yang begitu kaya.
Penyalahgunaan
SDA ini bahkan sudah terjadi sejak tahun 1970-an, dan masih terjadi hingga saat
ini. Saat industri migas berada di bawah kendali BUMN Migas (Pertamina),
Indonesia memiliki kemampuan terbatas untuk mengembangkan industri migas, maka
pemerintah pun mengundang investor asing. Para pejabat elit pemerintah selama
10 tahun, termasuk BUMN Migas, dimanjakan oleh kehadiran investor/perusahaan
migas asing. Eksplorasi dan produksi migas lebih banyak diserahkan ke
investor/perusahaan migas global, dan pemerintah serta BUMN Migas Indonesia
hanya terima bersih. Kondisi ini yang membuat Pertamina terlambat bangun dan
berkembang.
Saat
era reformasi, Pertamina ditantang untuk menjadi korporasi. Banyak kemajuan
yang telah dicatat Pertamina selama 10 tahun terakhir, namun, perlu upaya lebih
keras lagi untuk menyamai Petronas. Sayangnya,
pengelolaan SDA Indonesia bukan membaik malah memburuk. Korupsi merajalela dari
pusat hingga ke daerah. Buktinya? Banyak pejabat-pejabat daerah kaya raya,
terutama di daerah-daerah penghasil sumber daya alam, seperti di Kalimantan.
Banyak pejabat yang berkongkalikong dengan pengusaha, menilep hasil uang pengelolaan SDA, untuk kepentingan pribadi. Lihat saja, sudah puluhan bahkan ratusan orang sudah masuk tahanan atau sedang dalam proses pengadilan akibat korupsi, yang sebagian besar terkait penyalahgunaan anggaran, korupsi tender, dan lainnya.
Banyak pejabat yang berkongkalikong dengan pengusaha, menilep hasil uang pengelolaan SDA, untuk kepentingan pribadi. Lihat saja, sudah puluhan bahkan ratusan orang sudah masuk tahanan atau sedang dalam proses pengadilan akibat korupsi, yang sebagian besar terkait penyalahgunaan anggaran, korupsi tender, dan lainnya.
Karena
itu, tidaklah tepat ketika para politisi Demokrat atau Calon Presiden Partai
Demokrat berbicara spesifik terkait satu blok minyak dan gas, dalam hal ini
Blok Mahakam. Justru, pernyataan para politisi Demokrat memancing tanya dan
keraguan di masyarakat. Ada apa? Mengapa para calon presiden PD tiba-tiba
berbicara Blok Mahakam? Apakah ada pesanan dari pihak-pihak tertentu. Bukankah
ada isu-isu lebih penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak? Mengapa
para politisi demokrat tidak menjadikan isu korupsi sebagai isu atau jualan
utama?
Ini penting karena masalah utama yang membuat Indonesia terpuruk dan tidak maju-maju ialah KORUPSI dan derivatifnya – penyalahgunaan kekuasaan, gratifikasi, dan lain-lain.
Ini penting karena masalah utama yang membuat Indonesia terpuruk dan tidak maju-maju ialah KORUPSI dan derivatifnya – penyalahgunaan kekuasaan, gratifikasi, dan lain-lain.
Tidak
hanya Gita, Dino Pati Djalal dan beberapa Capres Partai Demokrat juga berbicara
hal yang sama. Seperti sudah disetting oleh pihak tertentu. Dan memang benar,
pernyataan Gita maupun Dino Pati Djalal yang juga mantan Dubes Indonesia untuk
Amerika Serikat, justru mendapat kritikan, sinisme dan komentar-komentar miring
dari masyarakat.
Publik
mempertanyakan para politisi PD ini, yang tiba-tiba menjadi ahli semua hal,
termasuk pengelolaan blok minyak dan gas bumi. Mereka tiba-tiba berbicara bak
malekat. Sumber Daya Alam Indonesia, khususnya Blok Mahakam dikelola oleh
bangsa sendiri untuk kesejahteraan rakyat dan anak cucu.
Saya
heran, mengapa korupsi bukan menjadi topik utama yang diperdebatkan? Puluhan
tahun pemasukan dari SDA Indonesia telah dikorupsi dan menguap setiap tahun.
Kemanakah uang SDA itu. Puluhan dan ratusan triliun perusahaan-perusahaan yang
bergerak di pengembangan SDA, ngemplang alias tidak mau bayar pajak. Akibatnya,
rakyat dirugikan. Seharusnya, isu memberantas Korupsi menjadi topik utama. Apa yang bisa dilakukan oleh PD untuk memberangus
praktik-praktik korupsi di Tanah Air?
Soal
Blok Mahakam, biarlah yang berkompeten yang berbicara, dalam hal ini
Kementerian ESDM. Mengelola blok-blok migas bukan soal apa dan siapa, tapi
siapa dapat mengoptimalkan pengelolaan sebuah blok migas. Biarkan pemerintah
melakukan evaluasi yang menyeluruh dan mendalam, siapa yang akan mengelola Blok
Mahakam kedepan. Seharusnya isu pengelolaan sebuah blok tidak dipolitisasi.
Siapapun operator blok Mahakam kelak, pemerintah harus bisa menjamin produksi Blok Mahakam tetap berlanjut, tidak terganggu, dan bahkan justru dapat memberi kontribusi lebih kepada negara. Sepanjang operator dapat menjamin produksi berlanjut dan lebih optimal lagi dan ada komitmen investasi besar setiap tahun, operator tersebut yang dipilih.Operator blok Mahakam kelak bisa jadi operator yang sekarang, Total E&P Indonesia (dan Inpex), atau bisa juga joint-operating antara operator lama dan pemain baru. Yang terpenting produksi Blok Mahakam dapat dioptimalkan.
Siapapun operator blok Mahakam kelak, pemerintah harus bisa menjamin produksi Blok Mahakam tetap berlanjut, tidak terganggu, dan bahkan justru dapat memberi kontribusi lebih kepada negara. Sepanjang operator dapat menjamin produksi berlanjut dan lebih optimal lagi dan ada komitmen investasi besar setiap tahun, operator tersebut yang dipilih.Operator blok Mahakam kelak bisa jadi operator yang sekarang, Total E&P Indonesia (dan Inpex), atau bisa juga joint-operating antara operator lama dan pemain baru. Yang terpenting produksi Blok Mahakam dapat dioptimalkan.
Pengelolaan
sebuah blok migas adalah soal kompetensi, soal pengalaman, soal penerapan
teknologi, soal bagaimana mengurangi risiko. Bukan soal bangsa sendiri dan
asing. Rakyat sudah muak dikibulin terus oleh para politisi, yang cuma ingat
rakyat sebelum pemilu. Semua menjual isu ‘menyejahterakan rakyat’ saat
kampanye, tapi setelah terpilih, rakyat sudah tidak diperhatikan lagi. Rakyat
hanya dipakai sebagai obyek penerita, bukan subyek yang harus diutamakan.
Sudah
tidak pada tempatnya lagi untuk mempertentangkan kehadiran perusahaan asing
atau investor asing di Indonesia. Mengapa? Karena terkadang, perusahaan
nasional dan bangsa sendiri justru membawa malapetaka bagi bangsanya sendiri.
Contoh lumpur lapindo. Akibat salah ngebor, Sidoarjo terkubur, puluhan ribu
warga mengungsi, kampung-kampung tenggelam, fasilitas-fasilitas publik rusak. Parahnya
lagi, akibat kelalaian perusahaan migas, pemerintah melalui APBN justru
membail-out dengan membayar sebagian ganti rugi ke warga. Pemerintah
berkongkalikong dengan pemilik dan perusahaan Lapindo untuk membayar ganti rugi
ke masyarakat. (*)