Pada tanggal 11 Februari Satuan
Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas)
akhirnya menetapkan pemenang lelang rekayasa, pengadaan, konstruksi dan
instalasi (EPCI- engineering, procurement, construction, installation) untuk
mengembangkan dua lapangan migas laut dalam, Jangkrik dan Jangkrik North East.
Menurut data perusahaan, letak natural gas reservoir berada di kedalaman 2,449
meter di bawah dasar laut, dengan kedalaman air laut sekitar 425 meter.
Perusahaan menggolongkan
kedua lapangan tersebut sebagai laut dalam karena sudah mendekati kedalaman air
laut 500 meter di bawah permukaan. Apalagi gas reservoir masih harus dibor lagi
di bawah dasar laut dengan kedalaman dua kilometer. Bisa dibayangkan proyek
pengembangan blok ini termasuk kompleks.
Oleh
karena itu, seluruh proses dan tahapan yang dilakukan pasti akan melalui proses
yang sangat njelimet, hati-hati dan menuntut desain, perencanaan, pengadaan dan
pengerjaan proyek yang sangat matang. Jadi, tidak heran bila SKK Migas tidak
main-main dan menetapkan pemenang EPCI sebagai perusahaan-perusahaan kelas
dunia yang sudah berpengalaman dengan proyek-proyek laut dalam.
Proyek
EPCI-1 diberikan kepada Konsorsium PT Saipem Indonesia, PT Tripatra Engineers
and Constructors, PT Chiyoda International Indonesia, dan Hyundai Heavy
Industries Co. Ltd. Proyek EPCI-2
yang meliputi pembangunan fasilitas penerimaan di darat, jaringan pipa, dan
peralatan pendukung lainnya, dimenangkan oleh Konsorsium PT. Technip
Indonesia-Technip Geoproduction (M) Sdn. Bhd.
Sedangkan proyek
Engineering Procurement-3 untuk membangun sistem produksi bawah laut,
sistem pengendalian, dan peralatan pendukung, diberikan kepada PT FMC Santana
Petroleum Equipment Indonesia.
Nama-nama
seperti Saipem dan Technip adalah dua perusahaan raksasa dunia yang merajai
pengembangan proyek-proyek lepas pantai dan laut dalam di seluruh dunia.
Beruntung banyak pekerja-pekerja, insinyur dan tenaga ahli Indonesia bekerja di
perusahaan-perusahaan EPC kelas dunia tersebut, tidak hanya di Indonesia tapi
juga di Afrika, Eropa, Timur Tengah, dan Amerika Selatan.
Proyek
Muara Bakau PSC merupakan salah satu dari beberapa proyek migas besar yang
sedang dikembangkan Indonesia. Proyek laut dalam lain yang sedang dikembangkan
adalah proyek Indonesia Deepwater Development (IDD) yang terletak di Selat
Makassar. Proyek IDD ini dikembangkan oleh Chevron, perusahaan raksasa migas
asal Amerika Serikat.
Saat ini,
operator masih menunggu keputusan final investasi (FID), suatu tahapan penting
sebelum proyek direalisasikan. FID akan menentukan berapa investasi yang akan
dibenamkan dan detail proyek tersebut sudah diputuskan. Proyek IDD menghubungkan
beberapa blok sekaligus, yakni Blok Ganal, Blok Makassar Strait, Blok
Muara Bakau, dan Blok Rapak. Dalam keempat blok tersebut, ada lima lapangan utama
yang akan dikembangkan yaitu Lapangan Bangka, Gehem, Gendalo, Maha, dan
Gandang.
Disamping
kedua proyek, ada beberapa proyek raksasa lain yang akan dikembangkan, yaitu lapangan
Abadi, di Blok Masela, yang dikembangkan oleh Inpex Corp (operator) dan Shell.
Mitra lokal PT Energi Mega Persada yang memiliki 10 persen participating
interest di blok tersebut telah menjual kepemilikannya. Pengembangan lapangan Abadi,
termasuk floating LNG (FLNG) diperkirakan akan menelan investasi US$5,5 miliar
atau sekitar Rp55 triliun lebih.
Indonesia
diuntungkan dengan masuknya pemain-pemain raksasa untuk mengembangkan blok-blok
migas yang tergolong rumit di Indonesia, yang menuntut teknologi tinggi dan
biaya investasi yang besar.
Disamping
itu, ada beberapa lapangan migas besar juga yang telah berproduksi tapi akan
dikembangkan lebih lanjut, yaitu Blok Mahakam dan Blok Tangguh di Papua Barat.
Blok Mahakam, yang merupakan kontributor gas bumi (LNG) terbesar Indonesia telah
berproduksi selama kurang lebih 40 tahun dan memberi sumbangan yang besar tidak
hanya ke pendapatan negara tapi juga lapangan kerja dan efek berantai dari
kehadiran blok tersebut di Kalimantan Timur. Puluhan ribu pekerja yang
menggantungkan hidupnya di Blok Mahakam. Ratusan mitra kerja, kontraktor dan
suplier yang mendapatkan manfaat dari pengembangan blok tersebut.
Sejauh ini
sudah 80% potensi Blok Mahakam telah dikembangkan, dan diperkirakan masih ada
sisa 20% cadangan yang masih dikembangkan lebih lanjut. Kontrak Total E&P Indonesie
(operator) dan mitranya Inpex Corp dalam mengembangkan proyek tersebut akan
berakhir tahun 2017.
Disaat
Indonesia membutuhkan banyak gas bumi, maka pemerintah perlu memastikan bahwa
proyek-proyek migas yang sedang berjalan dapat dipertahankan dan bahkan
dioptimalkan, sementara proyek-proyek baru dipercepat. Seperti yang kita
ketahui, peran gas bumi kian penting di Indonesia. Publik dan pelaku industri
tentu ingin produksi blok-blok migas yang ada, termasuk Blok Mahakam, dapat
terus berlanjut dan dioptimalkan. Karena itu, tetap perlu dikelola oleh operator-operator
kelas dunia yang mumpuni.
Blok
Mahakam masih strategis walaupun sudah tua. Karena itu, pemerintah perlu
mempelajari segala aspek, termasuk aspek teknis dan non-teknis, risiko,
optimalisasi produksi (pendapatan negara) dalam memutuskan operator Blok
Mahakam pasca 2017. Operator (Total E&P) dan Inpex telah mengajukan perpanjangan, namun hingga saat
ini pemerintah belum membuat keputusan. Mudah-mudahan pemerintah segera membuat
keputusan karena ini terkait dengan rencana investasi dan optimalisasi produksi
dari blok tersebut.
Melihat
berbagai proyek migas besar yang rumit tersebut di atas, baik yang terletak di
laut dalam, maupun yang terletak di rawa-rawa (Blok Mahakam) menunjukkan bahwa
Indonesia saat ini dan kedepan masih membutuhkan investor-investor besar
industri migas untuk mengembangkan potensi sumber daya migas yang ada. Karena
itu, penting bagi pemerintah untuk menjaga iklim investasi agar tetap kondusif.
(*)
Blok Mahakam sudah lama (40 tahun) dikembangkan oleh Total E&P Indonesie (Perancis) dan Inpex (Jepang). Bukanlah lebih baik bila Blok Mahakam kedepannya dikelola oleh perusahaan nasional?
ReplyDeletePada era globalisasi saat ini, tidak tepat lagi bila kita mempertentangkan antara nasional dan bukan nasional/asing. Yang dilihat adalah seberapa besar kontribusi suatu perusahaan bagi negara. Dalam konteks Blok Mahakam, pertanyaan yg perlu dan harus dijawab pemerintah dlm menentukan operator baru pasca 2017 adalah seberapa jauh calon operator memberi manfaat lebih bagi pemerintah. Seberapa jauh operator dapat menjamin produksi tidak terganggu, tapi berkesinambungan. Apa langkah operator dlm mencegah penurunan alamiah. Berapa komitmen investasi? Opsi mana yang paling minim resiko -- diperpanjang, tidak diperpanjang atau joint-operating? Apakah operator mampu mengoptimalkan produksi atau tidak mengingat Indonesia saat ini membutuhkan banyak gas.
ReplyDeleteSaya pikir bangsa kita sudah mampu kok mengelola Blok Mahakam....perusahaan nasional perlu diberi kesempatan.
ReplyDeleteKita harus akui industri migas dan perusahaan migas nasional kita sdh jauh berkembang. Kemampuan para insinyur kita juga sdh berkembang. Tentu aspek kemampuan ini juga jadi perhatian pemerintah. Perusahaan migas nasional kita sdh bisa kelola blok di lepas pantai. Tapi itu harus dilihat case per case. Blok Mahakam merupakan salah satu blok paling kompleks, bukan hanya di Indonesia tp juga di dunia, krn letaknya berada di rawa-rawa. Karakter lapisan bumi dan reservoir kecil2 dan tersebar membuat blok ini sulit dan kompleks. Risiko juga tinggi, karena itu aspek risiko dan safety harus menjadi perhatian pemerintah kedepan. Krn itu, Blok Mahakam harus dikelola oleh perusahaan2 yg berpengalaman, punya kemampuan yg mumpuni, mengetahui karakter blok. Kita berharap pemerintah betul2 mempelajari semua aspek - teknis dan non-teknis dlm menentukan operator blok ini nanti. Dan, tentu kita berharap keputusan dpt dilakukan segera, tidak ditunda2 lagi.
ReplyDeleteMenurut saya, sangat berisiko bila blok raksasa sekelas Blok Mahakam langsung diserahkan ke operator yang baru sama sekali. Blok Mahakam sdh tergolong tua, produksi kini terus menurun. Dibutuhkan teknologi terbaru/canggih dan komitmen investasi besar setiap tahun dlm 5-10 thn mendatang untuk mengoptimalkan produksi blok tsb. Mudah2an pemerintah tidak akan berjudi tp membuat keputusan berdasarkan pertimbangan2 yg rasional. Pemerintah sdh punya 3 opsi -- diperpanjang, tidak diperpanjang dan skema baru kolaborasi operator lama dan pemain baru. Opsi yg paling kecil risikonya adalah diperpanjang. Tapi opsi yg ideal dgn mempertimbangkan aspek transfer teknologi, maka skema baru melibatkan operator lama dan pemain baru (Pertamina) merupakan opsi yg ideal. Operator bisa saja tetap untuk bbrp tahun, kemudian operator dialihkan ke operator nasional, setelah melalui proses transisi yg matang.
ReplyDeleteKalau soal mampu tidak mampu, kita harus jujur bahwa Indonesia masih ketinggalan dalam teknologi minyak dan gas bumi, termasuk untuk mengelola blok-blok lepas pantai, laut dalam dan rawa-rawa, atau blok2 kompleks. Karena itu kita/Indonesia masih membutuhkan investor asing/perusahaan migas skala dunia untuk mengembangkan blok tersebut. Indonesia dpt meningkatkan kemampuannya dgn melakukan transfer teknologi.
ReplyDelete