Isu kontrak blok minyak dan gas bumi
yang kontraknya akan berakhir kembali menghangat. Diantaranya adalah Blok
Mahakam. Kontrak Blok Mahakam yang kini dioperasikan oleh Total E& P
Indonesia dan yang bermitra dengan Inpex akan berakhir Maret 2017. Disamping
itu, masih ada beberapa blok migas lagi yang kontraknya akan berakhir dalam 5
tahun kedepan. Saat ini, perusahaan-perusahaan migas tersebut atau operator
blok-blok migas tersebut sedang menanti keputusan pemerintah mengenai
kelanjutan hak pengelolaan. Yang jelas, blok-blok migas tersebut berperan
penting dalam menyumbang lifting migas nasional serta pendapatan negara. Tingkat
produksi blok-blok tersebut berpengaruh pada tingkat produksi migas nasional,
karena itu pemerintah perlu menyikapi situasi ini dan mempertimbangkan secara
matang sebelum mengambil keputusan.
Keputusan hak pengelolaan penting
dilakukan untuk memberi kepastian kepada operator. Menurut peraturan yang ada,
operator blok migas dapat mengajukan perpanjangan paling cepat 10 tahun sebelum
kontrak berakhir. Idealnya, keputusan perpanjangan (atau tidak perpanjangan) operatorship
sebuah blok dilakukan 5 tahun sebelum kontrak berakhir.
Blok-blok
yang kontraknya berakhir tersebut menyumbung produksi migas nasional secara
signifikan. Sekitar 30
persen produksi nasional saat ini atau
635.000 boepd
berasal dari 20 perusahaan migas dengan Kontrak
Bagi Hasil (Production Sharing Contract/PSC) yang akan habis dalam lima
tahun. Selain itu, sekitar 61 persen dari produksi nasional saat ini (1,2 juta
boepd) berasal dari perusahaan-perusahaan dengan PSC yang akan habis dalam
sepuluh tahun.
Karena
itu, keputusan yang akan dilakukan pemerintah akan berdampak besar pada lifting
migas nasional. Saat ini, pemerintah sedang membuat peraturan yang akan
dijadikan panduan dalam membuat keputusan apakah kontrak sebuah blok migas
diperpanjang atau tidak.
Apapun
itu, sangatlah
penting untuk membuat regulasi yang jelas dan transparan mengenai perpanjangan
kontrak). Kita berharap regulasi
tersebut dapat diselesaikan sehingga pemerintah dapat segera membuat
keputusan yang terbaik bagi bangsa negara, keputusan yang mentuntungkan bangsa,
bukan menguntungkan satu perusahaan (BUMN) saja. Seperti yang kita ketahui,
industri migas menyumbang 30 persen pendapatan ke APBN setiap tahun, karena itu
pemerintah perlu memberi perhatian pada industri migas.
Salah
satu blok yang kontraknya berakhir adalah Blok Mahakam. Blok ini, walaupun
sudah uzur, masih tetap diandalkan pemerintah karena menyumbang 80 persen
kebutuhan gas fasilitas produksi gas di Bontang. Sebagian produksi dari blok
ini juga telah dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, termasuk PLN
melalui FSRU West Java, yang kemudian disalurkan ke PLN.
Pertanyaannya
apakah kontrak Blok Mahakam diperpanjang? Tidak diperpanjang? Atau pemerintah
akan membuat skema baru, skema semacam joint-operation yang melibatkan operator
lama dan pemain baru? Saat ini pemerintah belum membuat keputusan. Tampaknya
pemerintah SBY belum akan membuat keputusan karena khawatir dituduh memiliki
kepentingan tersendiri dan mengambil manfaat dari sempitnya waktu jelang masa
jabatannya berakhir. Karena itu, tampaknya pemerintah baru nanti yang akan
membuat keputusan.
Itu
berarti keputusan akan berada di tangan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla atau
Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Sayangnya, kedua pasangan itu belum menunjukkan
arah yang jelas. Namun, apapun keputusannya, yang paling penting keputusan
tersebut mengutamakan dan mengedepankan kepentingan nasional, bukan kepentingan
individu, perusahaan atau hanya sekadar mengikuti desakan sekelompok LSM yang mencoba
mengambil untung dari isu ini.
Baik Joko Widodo maupun Prabowo
tampaknya belum punya sikap yang tegas
terkait masa depan Blok Mahakam. Namun, indikasi positif keluar dari salah satu
pasangan Capres (Jokowi) bahwa pemerintah Indonesia menghargai sebuah kontrak.
Ini penting, bahwa semuanya harus diatur berdasarkan kontrak. Disisi lain,
konstitusi mengatur kekayaan alam mesti digunakan sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat. Ini harus diinterpretasi bahwa kekayaan negara, termasuk
blok migas harus dioperasikan dan dikembangkan untuk kemaslahatan bangsa,
kemaslahtan masyarakat, bukan untuk memenuhi kepentingan sebuah perusahaan
semata. Itu berarti kepentingan bangsa dan negara harus diutamakan.
Konsekuensinya, kita tidak persoalkan siapa yang mengelola Blok Mahakam kelak.
Yang paling utama adalah operator
tersebut dapat mengoptimalkan produksi blok Mahakam sehingga memberi manfaat
dan kontribusi sebesar-besarnya bagi negara. Kalau Pertamina bisa menjamin
bahwa perusahaan tersebut dapat mengoptimalkan produksi Blok Mahakam, maka
pemerintah bisa saja memilih Pertamina sebagai operator. Namun, bila pemerintah
menilai Total E&P Indonesie dapat menjamin produksi Blok Mahakam dapat
dioptimalkan, ada alasan kuat bagi pemerintah untuk tetap memilih Total E&P
sebagai operator. Nah, dalam situasi ini, bisa saja Pertamina masuk sebagai
pemegang saham (participating interest). Suatu saat, bisa saja operator beralih
ke Pertamina setelah melalui masa
transisi. Kita berharap pemerintah akan membuat keputusan yang bijak dan
terbaik bagi negara. (*)