Friday 27 December 2013

Kinerja Sektor Migas Indonesia 2013 dan Outlook 2014, Ada PR Besar di Depan Mata!



Tidak bisa dipungkiri, sektor minyak dan gas bumi merupakan salah satu industri strategis bagi perekonomian Indonesia. Sektor ini merupakan salah satu penopang utama penerimaan negara yang masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), menyumbang sekitar 30 persen pendapatan negara setiap tahun. Kontribusi sektor migas tidak hanya pendapatan negara, tapi juga mendorong pertumbuhan industri pendukung migas, ekonomi daerah serta menciptakan jutaan lapangan kerja. 
Lalu bagaimana kinerja sektor energi, khususnya minyak dan gas bumi tahun 2013 dan bagaimana pula outlook industri ini di tahun politik 2014?
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan realisasi penerimaan negara dari sektor ESDM, termasuk migas, mencapai Rp398,4 triliun pada 2014. Penerimaan tersebut datang dari Migas sebesar Rp 252,4 triliun, Pertambangan Umum sebesar Rp 145,1 triliun dan Panas Bumi Rp 0,87 triliun.
Pada sisi produksi, masih ada catatan yang harus diperbaiki tahun 2014, terlihat dari produksi migas tahun 2013 lalu. Selama 2013, realisasi produksi minyak bumi sebesar 826.000 boepd, atau di bawah target yang ditetapkan APBN 830.000 sementara realisasi lifting gas bumi sebesar 1.204 ribu boepd.
Realisasi volume konsumsi BBM bersubsidi 2013 mencapai 46,51 juta kiloliter, ada penghematan 1,49 juta kiloliter dibanding kuota 48 juta kl. Namun, tidak dijelaskan berapa nilai realisasi biaya subsidi mengingat rupiah telah melemah hingga 12,000 per dolar AS saat ini. Boleh jadi, nilai subsidinya lebih besar dari yang telah ditetapkan dalam APBN.
Kementerian ESDM mencatat telah menandatangani 13 Wilayah Kerja (WK) migas konvensional dan 1 WK non-konvensional atau shale gas. Namun, Kementerian ESDM tidak merinci lebih jauh hasil kegiatan eksplorasi selama 2013. Padahal kegiatan eksplorasi banyak disoroti oleh media dan pelaku industri akibat menurunnya aktivitas eksplorasi migas dalam beberapa tahun terakhir.

Hasil eksplorasi juga tidak menggembirakan karena banyak perusahaan migas yang tidak menemukan cadangan migas (dryhole). Beberapa perusahaan eksplorasi mencatat kerugian seperti Marathon Oil dan Niko Resources dan memutuskan untuk menyerahkan kembali WK eksplorasi tersebut ke pemerintah. 

Namun, ada perkembangan yang cukup menarik yakni meningkatnya alokasi gas bumi ke pasar domestik, yakni sebesar 52 persen, sementara angka eksplor LNG tinggal sebesar 48 persen. Situasi ini menjawab kritikan berbagai pihak bahwa gas bumi dalam negeri lebih banyak diekspor ketimbang memenuhi permintaan dan kebutuhan dalam negeri.

Kondisi ini menggambarkan produksi gas dalam negeri kian berperan penting dalam menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Saat ini, perusahaan asal Perancis Total E&P Indonesie masih menjadi produsen gas bumi terbesar Indonesia, yang sebagian besar datang dari Blok Mahakam. Gas bumi dari Blok Mahakam disuplai ke fasilitas LNG di Bontang untuk kemudian di kirim ke konsumen dalam negeri (Jawa) dan diekspor. 

Dalam 1 tahun terakhir, LNG dari Mahakam sudah berhasil dikirim ke konsumen di Jawab setelah tersedianya FSRU (Floating Storage Regasification Unit) milik PT Regas (joint venture antara Pertamina dan PT PGN). FSRU tersebut berada di lepas pantai Jakarta. Gas dari Blok Mahakam dikirim ke FSRU Jawa Barat tersebut dalam bentuk cair. Sesampai di FSRU, gas dalam bentuk cair tersebut diproses lagi sehingga kembali berbentuk gas bumi dan selanjutnya dikirim ke PLN dan industri di Jawa Barat melalui pipa gas.

Press Release akhir tahun Kementerian ESDM tidak memberi informasi cukup terkait industri migas dalam setahun terakhir. Namun, bila kita menengok ke belakang, tampaknya ada cukup banyak Pekerjaan Rumah yang perlu dilakukan pemerintah pada 2014. Pertama, investasi untuk eksplorasi migas. Kegiatan ini penting karena hanya dengan eksplorasi, akan ada penambahan cadangan minyak dan gas bumi. Tanpa eksplorasi cadangan yang tersedia saat ini, sebesar 3,7 miliar barel minyak bakal habis dalam 12 tahun mendatang. Demikian juga gas bumi, dalam dua dekade mendatang, cadangan gas bumi juga bakal habis bila tidak ada penambahan cadangan gas bumi. Untuk itu, pemerintah perlu mendorong investor migas, terutama oil majors –perusahaan minyak dunia – untuk berinvestasi di Indonesia.

Sementara, perusahaan migas yang telah beroperasi di Indonesia didorong untuk mempercepat invesasi mereka. Beberapa telah menyatakan komitmen investasi, misalnya Total E&P Indonesie berencana berinvestasi US$7,3 miliar untuk pengembangan lanjutan Blok Mahakam. Tentu realisasi investasi tersebut tergantung pada keputusan pemerintah mengenai kelanjutan kontrak blok tersebut setelah kontrak yang sekarang berakhir 2017. Inpex, BP dan Shell juga baru-baru ini telah menyatakan rencana mereka untuk berinvestasi di Indonesia.

Pekerjaan Rumah Kedua adalah Iklim Investasi. Pemerintah perlu terus menjaga iklim investasi agar lebih kondusif agar perusahaan migas mau berinvestasi di Indonesia. Tanpa iklim investasi yang kondusif, investor akan beralih ke negara-negara tetangga yang memiliki iklim yang lebih kondusif. Iklim investasi yang positif tercipta bila adanya kepastian hukum serta adanya kepastian usaha, termasuk kepastian kontrak-kontrak Blok Migas yang kontraknya segera berakhir. (*)

Thursday 19 December 2013

Mengapa Pertamina Menolak Penghapusan BBM Subsidi di Jakarta?



Sebuah anjungan migas lepas pantai
Beberapa waktu lalu, pemerintah DKI Jakarta membuat pernyataan dan usulan yang mengejutkan. Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau yang lebih dikenal Ahok mengumumkan rencana pemerintah DKI untuk menghapus bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi untuk wilayah DKI Jakarta. Pernyataan tersebut memancing tanggapan yang bervariasi dari publik. Ada yang menyetujui dan mendukung rencana Pemda DKI tersebut, tapi ada juga yang menolak dengan alasan tidak efektif. 

Yang jelas, bila subsidi BBM di Jakarta dihapus, bakal mengurangi beban biaya subsidi BBM yang nilainya triliunan rupiah setiap tahun. Bila dana tersebut dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan dan kesehatan, dampaknya bakal dirasakan oleh masyarakat. Pertanyaannya, mengapa perusahaan minyak dan gas bumi nasional PT Pertamina, justru yang paling getol menolak rencana Pemda DKI tersebut? Bukankah rencana tersebut akan menguntungkan pemerintah dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan?

Juru bicara Pertamina Ali Mundakir mengungkapkan pengahpusan BBM subsidi hanya untuk DKI Jakarta tidak akan efektif karena konsumsi BBM subsidi di Jakarta akan berpindah ke daerah lain seperti Depok, Tangerang, Bekasi dan kawasan di sekitar Jakarta.  Bila melihat alasan Jubir Pertamina tersebut, justru bagus kan? Kendaraan-kendaraan yang mau isi BBM subsidi di kota Jakarta bayar harga non-subsidi, dan yang mau beli BBM subsidi, silahkan beli di luar DKI. 

Dampaknya akan sangat positif. Dari sisi pemerintah pusat, biaya subsidi triliunan rupiah setiap tahun dapat digunakan untuk keperluan lain. Kedua, seperti yang diucapkan oleh wakil gubernur DKI, Basuki Purnama, akan berdampak pada pengurangan kendaraan di Jakarta. Orang akan berhemat, dan kemungkinan akan beralih ke kendaraan umum. Bila tetap mau beli BBM subsidi, mereka akan keluar Jakarta, sehingga mengurangi jumlah kendaraan yang beredar di Jakarta.

Namun, pengurangan konsumsi BBM subsidi akan berdampak negatif pada pendapatan Pertamina. Sekitar 60-70 persen BBM subsidi tersedot di Ibu Kota. Pertamina mendapat fee sejumlah tertentu dari menjual BBM bersubsidi. Penghapusan suplai BBM subsidi di Ibu Kota, akan mengurangi pendapatan perusahaan migas nasional tersebut.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta rupanya tidak main-main dan serius menghapus BBM subsidi di Jakarta. Pemerintah Provinsi DKI akan berkoordinasi langsung dengan Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Rencana penghapusan BBM subsidi di Jakarta tersebut patut didukung oleh publik.

Lihat saja komentar masyarakat di berbagai media online maupun cetak. Ada yang mengatakan salut terhadap rencana pemerintah  provinsi DKI Jakarta tersebut. Menteri ESDM Jero Wacik pun, pada awalnya mengacungkan jempol dan mengatakan rencana tersebut termasuk langkah berani. Menteri Jero Wacik kemudian secara halus meralat dukungan kepada rencana pemerintah provinsi DKI Jakarta, dengan mengatakan rencana tersebut masih perlu dikaji lebih serius. Boleh jadi, Menteri ESDM tersebut sudah memperoleh bisikan dari Pertamina, bahwa pengurangan subsidi di DKI Jakarta akan mengurangi pendapatan Pertamina.

Pertamina seharusnya mendukung rencana pemerintah provinsi DKI. Bisa saja Pertamina mengusulkan dana subsidi BBM tersebut dialokasikan untuk biaya eksplorasi minyak dan gas bumi Pertamina. Karena selama ini, Pertamina tidak begitu aktif melakukan eksplorasi minyak dan gas bumi. Justru oil majors atau perusahaan-perusahaan migas dunia yang mau mengambil risiko berinvestasi untuk eksplorasi. 

Sejauh ini, distribusi BBM atau industri migas sektor hilir memang dikuasai Pertamina. Sektor hilir memang risikonya kecil, dibanding dengan sektor hulu. Investasi untuk eksplorasi, mencari minyak dan gas bumi membutuhkan biaya besar (capital intensive) dan teknologi, terutama untuk eksplorasi di lepas pantai dan laut dalam.  Pemerintah seharusnya fokus pada upaya mendorong perusahaan migas berinvestasi untuk eksplorasi, bukan sibuk dan habiskan waktu dan energi untuk mengatasi isu-isu distribusi BBM bersubsidi. 

Tugas pemerintah seharusnya fokus pada isu-isu penting seperti menciptakan iklim usaha yang kondusif agar semakin banyak investor migas berinvestasi di Indonesia, agar suplai minyak dan gas terjamin. Tidak kalah penting adalah menghilangkan faktor-faktor ketidakpastian, termasuk ketidakpastian blok-blok migas yang akan segera berakhir. Cukup banyak perusahaan migas yang sekarang khawatir dan nasibnya 'digantung' oleh pemerintah karena belum membuat keputusan terkait blok-blok yang kontraknya segera berakhir. Salah satunya, kontrak blok Mahakam yang akan berakhir tahun 2017. Seharusnya pemerintah segera membuat keputusan, karena bila ditunda terus akan berpengaruh pada rencana invetasi operator blok tersebut, yakni Total E&P Indonesie. (*)
(*)

Wednesday 11 December 2013

Hess, Kufpec Jual Aset Migas, Indikasi Indonesia Kian Ditinggalkan Investor?



Anjungan migas lepas pantai Blok Pangkah (foto Kompas)
Anjungan minyak dan gas lepas pantai berwarna kuning cerah itu terlihat mengkilap diterpa sinar mentari sore. Beberapa pekerja dengan pakaian warna hijau muda, warna korporasi operator blok tersebut, Hess, terlihat melakukan pengecekan dan pemantauan. Di sudut lain, sebuah jack-up rig terus memompa gas dari perut bumi. Itulah rutinitas yang terlihat pada anjungan lepas pantai yang dikelola oleh Hess, sebuah perusahaan migas independen asal Amerika Serikat. Gas dari blok tersebut dialirkan melalui pipa gas ke konsumen di Jawa Timur, termasuk perusahaan listrik negara PT PLN

Hess berpartner dengan sebuah perusahaan migas asal Timur Tengah Kufpec. Namun, kemungkinan pakaian para pekerja migas lepas pantai tersebut akan berubah menyusul pergantian kepemilikan aset tersebut. Kufpec, yang memiliki hak kepesertaan 25% Juni tahun ini telah menjual kepemilikannya kepada PT Perusahaan Gas Negara (PGN). Beberapa hari ini, sudah muncul pemberitahuan resmi dari kantor pusat Hess, bahwa perusahaan tersebut telah menjual hak kepesertaannya sebesar 75% di Blok Pangkah dan Blok Natuna A ke Pertamina dan PTTEP, perusahaan migas asal Thailand.

Bukan Cuma Hess dan Kufpec yang menjual aset-aset minyak dan gas bumi mereka di Indonesia. Sebelumnya, pada Desember 2012, Anadarko menjual tiga anak perusahaannya di Indoensia ke Pertamina. Pada Mei 2013, PT Pertamina membeli participating interest (PI) Talisman Energy di blok Offshore North West Java (ONWJ).

Tidak hanya itu, Marathon Oil Corporation telah kembalikan beberapa Working Areas (WK) yang dimilikinya ke pemerintah Indonesia, setelah gagal menemukan cadangan yang dinilai komersil. Perusahaan tersebut tidak menemukan apa-apa untuk dikembangkan (dryhole), padahal perusahaan tersebut telah membelanjakan ratusan juta dolar untuk bereksplorasi, mencari cadangan minyak dan gas.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah tidak adanya kemajuan berarti eksplorasi migas yang dilakukan oleh Niko Resources, perusahaan asal Kanada. Padahal, Niko Resources saat ini, memiliki Wilayah Kerja (WK) lepas pantai dan laut dalam terbanyak di Indonesia. Memang, belum semua WK Niko Resources telah dieksplorasi. Masih ada beberapa WK yang masih dalam tahap eksplorasi. Bila ditemukan cadangan gas bumi atau minyak, maka perusahaan tersebut akan masuk ke tahap produksi. Namun, sejauh ini, belum  ada penemuan berarti. Beberapa WK juga belum dikembangkan karena alasan teknis internal perusahahaan serta kendala di lapangan atau kurangnya dukungan insentif dari pemerintah.

Padahal sebelumnya pemerintah menjanjikan akan memberikan insentif khusus kepada perusahaan migas yang melakukan eksplorasi di lepas pantai, laut dalam atau daerah frontier. Tapi janji pemerintah belum terjadi. Malah, pemerintah mengenakan pajak bumi dan bangunan (PBB) pada WK yang masih dalam tahap eksplorasi. Potensi cadangan minyak dan gas belum diketahui, dan belum tentu ditemukan, pemerintah sudah mengenakan pajak. Situasi seperti ini yang membuat beberapa perusahaan mengurungkan niatnya melakukan eksplorasi. Beberapa perusahaan bahkan sudah hengkang dari Indonesia.

Belum lagi, belasan kontrak minyak dan gas akan berakhir dalam beberapa tahun kedepan. Kemungkinannya, perusahaan-perusahaan migas itu lebih memilih tinggalkan Indonesia atau tetap beroperasi di Indonesia, namun, mengurangi eksposur mereka, hingga situasi kondusif untuk melakukan investasi lagi. Bila kontrak tidak diperpanjang, maka pilihan logis pemerintah adalah melelang kembali blok-blok migas yang telah ditinggalkan perusahaan-perusahaan migas tersebut atau diserahkan ke Pertamina. Situasi ini akan memberikan beban berat kepada Pertamina untuk melakukan investasi dan bertanggungjawab penuh pada produksi minyak dan gas di Tanah Air.

Pemerintah tentu tak ingin menyerahkan seluruh tanggung jawab pengelolaan minyak dan gas bumi di Tanah Air. Banyangkan saja, setiap tahun investasi migas di Indonesia mencapai US$35 miliar setiap tahun atau Rp350 triliun. Tentu itu, tidak mungkin dilakukan sendiri oleh Pertamina, karena perusahaan tersebut baru berfungsi sebagai full corporation dalam 10 tahun terakhir. Perjalanan perusahaan migas nasional tersebut masih jauh tertinggal, bahkan dengan perusahaan migas negara tetangga Petronas.

Maka, skenario yang tampaknya dipilih pemerintah adalah mengembangkan perusahaan migas nasional PT Pertamina, BUMN migas milik pemerintah, serta perusahaan migas nasional lainnya seperti Medco Energi, Energi Mega Persada, Star Energi, dan lain-lainnya. Pada saat yang sama, pemerintah mendorong perusahaan migas global (international oil companies/IOCs) untuk terus berinvestasi di Indonesia. Perusahaan-perusahaan IOCs diundang untuk bereksplorasi dan meningkatkan produski mereka di Indonesia.

Blok-blok migas yang kontraknya segera berakhir, dapat dilanjutkan/diperbaharui kontraknya, atau membuat skema baru yang melibatkan operator lama dan baru. Opsi ini, tampaknya bakal dan sebaiknya diambil pemerintah untuk blok-blok yang besar, tua tapi masih strategis. Opsi ini memberi manfaat lebih besar kepada negara karena produksi migas tidak akan terganggu, produksi dapat dioptimalkan, operasional tidak terganggu dan risiko dapat ditekan seminimal mungkin. Skenario ini dapat diterapkan untuk Blok Mahakam, yang kontraknya akan habis pada Maret 2017, dan beberapa blok lainnya.

Skenario ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan investasi migas di Tanah Air dalam tahun-tahun mendatang. Total E&P Indonesie misalnya berencana untuk berinvestasi US$7,3 miliar dalam 5 tahun kedepan untuk pengembangan Blok Mahakam selanjutnya. Shell, seperti yang diutarakan oleh CEO perusahaan Belanda tersebut usai bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Surabaya baru-baru ini, akan berinvestasi US$5 miliar di Indonesia dalam beberapa tahun ke depan, dan dapat meningkat hingga US$25 miliar. BP, asal Inggris, berencana untuk berinvestasi miliaran dolar untuk mengembangkan Train 3 di proyek Tangguh, di Bintuni, Papua Barat. 

Tapi semua skenario ini, tentu tergantung pada pemeritnah dan rakyat Indonesia untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif. Di atas semua itu, Indonesia kedepan masih akan butuh investasi besar untuk mengembangkan industri migas dan energi baru dan terbarukan untuk mencapai ketahanan energi. Ketahanan energi hanya bisa tercapai bila sumber energi dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan industri dan konsumen rumah tangga dalam negeri. Kini bola ada di tangan pemerintah. (*)

Tuesday 3 December 2013

Business Monitor: Industri Migas Indonesia Semakin Tidak Menentu

Dalam enam bulan terakhir, saya telah menulis secara konsisten bahwa sektor minyak dan gas Indonesia semakin tidak menentu. Ini terjadi saat produksi minyak Indonesia terus menurun dan produksi gas bumi cenderung stagnan. Sektor hukum dan politik juga tidak mendukung, dan bahkan cenderung menghambat perkembangan sektor minyak dan gas (migas). Perkembangan industri migas seperti ini tidak hanya mengancam keamanan energi (energy security) kedepan tapi juga kesinambungan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kini, laporan sebuah lembaga internasional ternama, Business Monitor International, memberikan laporan dan penilaian yang sama.

Menurut laporan terbaru tentang Industri Minyak dan Gas Indonesia yang diterbitkan oleh Business Monitor, penurunan produksi minyak bumi dan gas bumi yang stagnan merupakan akibat dari sepinya aktivitas eksplorasi dan pengembangan. Kondisi ini diperparah oleh semakin meningkatnya ketidakpastian hukum dan usaha akibat kampanye nasionalisasi yang disponsori oleh pihak-pihak dan kepentingan tertentu yang berujung pada perubahan kebijakan pemerintah pada sektor sumber daya alam, termasuk industri minyak dan gas bumi. 


Peluang dan kontrak-kontrak gas bumi untuk eksplor ditinjau ulang dan dikompromi untuk memenuhi kebutuhan energi dari dalam negeri. Penurunan ekspor produk minyak dan gas merupakan fenomena yang menuntut perhatian serius pemerintah.

Berikut adalah tren dan perkembangan industri minyak dan gas Indonesia yang dibahas dalam laporan BMI tersebut:

  • Business Monitor memperkirakan cadangan minyak dan gas hampir pasti bergerak turun dalam dekade mendatang: cadangan minyak diperkirakan menurun dari sekitar 4 miliar barel pada awal 2013 menjadi 3,7 miliar barel tahun 2017 dan terus menurun menjadi 3,4 miliar barel tahun 2022. Cadangan gas bumi diperkirakan akan stagnan karena penemuan cadangan baru di Kalimantan Timur mengkompensasi (offset) penurunan cadangan secara alamiah di blok-blok migas yang ada. Cadangan gas diperkirakan akan turun dari 3,07 trillion cubic meter (tcm) tahun 2013 menjadi 3,80 tcm tahun 2017 dan akan terus menurun menjadi 2,51 tcm, jika aktivitas eksplorasi dan pengeboran tidak ditingkatkan.
  • Namun demikian, potensi sumber daya yang ada di bawah permukaan tanah masih ada. Jika Indonesia mengurangi gerakan nasionalisasinya terhadap sumber daya alam, potensi bangkitnya cadangan minyak dan gas bumi bisa terjadi, didukung oleh meningkatnya aktivitas pengeboran di lepas pantai, laut dalam dan daerah yang terpencil atau frontier areas. Apalagi bila eksplorasi dan pengembangan coalbed methane dan shale gas juga didorong.
  • Business Monitor memperkirakan produksi minyak dan kondensat akan meningkat dari 919.670 barel per hari (bph) tahun 2013 menjadi 926.180 bph tahun 2014 dan 932.260 bph tahun 2015. Kondisi ini didukung oleh beberapa proyek yang akan mulai berproduksi seperti Blok Cepu. Untuk horison waktu yang lebih lama, produksi minyak dan kondensat akan menurun menjadi 884.840 bpd tahun 2017 dan anjlok ke 808.280 bph tahun 2022. Business Monitor juga tidak melihat terjadi perubahan di sektor hilir. Kapasitas refining diperkirakan akan stagnan pada level 1,22 juta bpdtahun 2015. Total produk minyak hasil proses di kilang minyak diperkirakan akan meningkat pada awalnya yaitu 981.840 bpd tahun 2012 menjadi hanya 996.600 tahun 2016, sebagai dampak dari modfikasi dan modernisasi kilang Cilacap.
  • Sebagai akibat dari masalah pada sisi produksi, Business Monitor memperkirakan roduksi gas menurun menjadi 71,3 miliar cubic meter (bcm) tahun 2012. Beberapa proyek gas diperkirakan akan mulai masuk tahap komersialisasi dalam lime tahun mendatang sehingga akan menaikkan produksi gas bumi menjadi 77.0 bcm tahun 2017. Berproduksinya proyek-proyek baru mengkompensasi penurunan pada lapangan gas bumi lainnya. Karena itu, Business Monitor memperkirakan produksi gas akan stagnan di level 76,7 bcm tahun 2022.
  • Risiko yang terkait peraturan dan hukum masih dan akan terus menjadi ancaman bagi industir ini ditambah lagi dengan kebijakan publik yang tidak pasti sehingga membuat prospek industri migas dalam 10 tahun kedepan buram. Padahal, konsumsi migas dalam negeri terus meningkat seiring pertumbuhan ekonomi. Konsumsi gas bumi mencapai sekitar 39,1 bcm tahun 2012 dan diperkirakan akan meningkat menjadi 48 bcm tahun 2017 dan 55,7 bcm tahun 2022.
Business Monitor merupakan lembaga independen yang menyediakan data, analisas, ratings, pemeringkatan dan memberikan prediksi dengan luas cakupan mencapai 195 negara dan 24 sektor industri. (*)

Oleh Rachmat Dharmawan, peneliti di sebuah lembaga swasta, mantan eksekutif perusahaan minyak dan gas