Monday 25 November 2013

BUMN Distribusi Gas Indonesia PGN Resah oleh Rencana Akuisisi Pertamina dan Open Access



Pertamina dan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) sedang terlibat perang dingin. PGN, yang menguasai 80 persen distribusi dan transmisi gas di Indonesia, yang juga menjadi bisnis inti PGN sedang diincar oleh Pertamina, melalui anak usahanya PT Pertagas. Pertamina berencana menggabungkan Pertagas, yang juga terlibat di bisnis distribusi gas bumi, dengan PGN.

Yang resah tidak saja direksi dan manajemen PGN, tapi juga pemegang saham publik PGN. Saham PGN telah anjlok lebih dari 6 persen bulan ini ke level Rp4,800 akhir Jumat lalu (Nov 22) dari posisi Rp5,100 per akhir Oktober. Rencana menggabungkan Pertagas dengan PGN tampaknya membuat investor publik resah sehingga mereka melepas saham PGN.

Lagi-lagi Pertamina mendapat ‘dukungan’ Menteri BUMN Dahlan Iskan, yang belakangan gencar diberitakan di berbagai media memiliki kepentingan bisnis dengan Pertamina. Hingga kini Dahlan Iskan belum menanggapi tuduhan tersebut. Dahlan Iskan mengatakan pemerintah sedang mempertimbangkan anak perusahaan Pertamina, Pertagas, untuk mengakuisisi PGN.

Apakah semudah itu? Tidak. Banyak pertimbangan yang harus dilakukan termasuk kepentingan pemilik saham publik PGN, serta kepentingan bisnis PGN dan tentu saja kepentingan konsumen sebagai pembeli akhir gas bumi. Beberapa pengamat mengatakan bila akuisisi terlaksana, langkah tersebut hanya menguntungkan Pertamina, tapi merugikan PGN dan publik atau konsumen.  PGN yang sumber utama pendapatannya dari distribusi dan transmisi gas tentu akan sangat dirugikan bila diakuisisi perusahaan kecil Pertagas, walaupun induk perusahaan Pertagas merupakan perusahaan besar.

Harus diakui, rencana merger atau lebih tepat akuisisi PGN oleh Pertagas akan menjadi dilema bagi pemerintah. Sebagai pemilik kedua perusahaan tersebut, pemerintah harus berdiri seimbang di antara keduanya. Pemerintah harus mempertimbangkan kepentingan kedua perusahaan dan kelanjutan bisnis mereka.

Dimata pemegang saham publik, rencana masuknya Pertamina justru membuat mereka khawatir. Menurunnya harga saham PGN mengindikasikan bahwa investor bereaksi negatif terhadap rencana Pertamina. Boleh jadi ada kekhawatiran perbedaan praktik ‘governance’ pada kedua perusahaan itu yang dapat menyebabkan kontra-produktif. Sudah menjadi rahasia umum, Pertamina sebagai perusahaan 100 persen milik pemerintah dikontrol penuh oleh pemegang saham, jadi Pertamina tidak punya kewajiban untuk membuka semua transaksi yang ada ke publik. Sementara PGN, karena sebagian sahamnya telah dimiliki publik, maka corporate governance telah diterapkan secara ketat.

Sudah bukan rahasia lagi kalau selama ini perusahaan migas Pertamina menjadi ‘cash cow’ bagi pemegang kekuasaan pemerintahan dan elit politik tertentu. Faktor intervensi ini, oleh sebagian pengamat, telah menghambat laju pertumbuhan Pertamina, dibanding kompetitornya Petronas, perusahaan migas milik negara Malaysia.

Rencana akuisisi ini muncul ditengah maraknya perdebatan dan desakan berbagai pihak, termasuk para trader gas dan Pertamina, untuk menerapkan open access bagi seluruh pipa-pipa transmisi dan distribusi milik PGN. Bagi PGN jaringan pipa gas ibarat konsesi jalan tol. Konsumen harus membayar fee untuk melewati pipa gas miliknya. Dan bila open access diberlakukan, ibarat jalan umum, maka hilang pula sumber bisnisnya.

Di satu sisi, bila open access diberlakukan dan Pertagas jadi mengakuisisi PGN, yang tentu tidak mudah, akan membuat Pertamina menguasai bisnis migas dari hulu, distribusi, hingga hilir. Para broker dan trader gas bumi pun dapat menggunakan jaringan pipa gas PGN untuk mendistribusikan gas milik mereka dengan leluasa, tidak seperti sekarang harus bernegosiasi dengan PGN sebagai pemilik dan pengelola jaringan pipa gas.

Beberapa jaringan pipa Pertagas dan PGN memang bersentuhan di beberapa titik, termasuk jaringan pipa keduanya di Jawa Timur dan Jawa Barat. Pertamina harus minta permisi dulu ke PGN dan membayar sejumlah fee untuk menggunakan jaringan pipa milik PGN.

PGN tampaknya menentang rencana Pertagas walaupun tidak dilakukan secara terang-terangan. Berbagai pemberitaan di media menunjukkan bahwa PGN keberatan dengan rencana Pertagas dan Pertamina. Hal ini bisa dimaklumi, PGN telah melakukan investasi besar-besaran dalam beberapa tahun terakhir sekitar Rp40 triliun untuk membangun jaringan transmisi distribusi gas bumi. Jaringan ini merupakan salah satu alasan dan nilai jual PGN ketika dijual ke publik dan listing di Bursa Efek Indonesia.

PGN tentu sudah punya roadmap sendiri dan rencana investasi untuk membangun jaringan distribusi dan transmisi gas bumi di tanah air. Tentu PGN tak ingin rencana tersebut menjadi terhenti dan mandek bila bergabung dengan perusahaan besar  Pertamina. Apakah PGN menentang karena khawatir kehilangan jabatan? Boleh jadi juga. Bagaimana kelanjutan ‘perang’ antara Pertamina dan PGN bakal menarik, apalagi kepentingan politik mulai turut bermain. (*)

Monday 18 November 2013

Indonesia dan Peta Cadangan Minyak Dunia

Sebuah anjungan minyak lepas pantai
Sebuah berita menarik muncul di beberapa media online Indonesia pekan lalu: Amerika akan segera menjadi salah satu negara produsen minyak terbesar di dunia. Itu berita benar, bukan berita bohong. Berita tersebut datang dari International Energy Agency (IEA) sebuah lembaga yang menjadi rujukan industri minyak dan gas dunia. Menurut perkiraan IEA, Amerika akan menjadi salah satu produsen minyak terbesar tahun 2015, melewati Arab Saudi dan Russia. Di berita-berita lain kita melihat bahwa Brasil tidak lama lagi akan menjadi negara produsen minyak terbesar keenam di dunia.
 
Produksi minyak negara Paman Sam tersebut melonjak, menyusul lonjakan produksi di Texas dan North Dakota. Perusahaan-perusahaan minyak di kedua kawasan tersebut menggunakan teknik hydraulic fracturing dan horizontal drilling untuk menyedot minyak dan shale gas. Namun, mahkota tersebut hanya akan berlangsung selama 1 dekade, karena periode tersebut merupakan peak produksi di kedua kawasan tersebut.
 
Nah, bagaimana posisi Indonesia? Jawabannya, memprihatinkan. Cadangan minyak terbukti Indonesia menurut data SKK Migas hanya sebesar 3,7 miliar barel, artinya tinggal beberapa tahun lagi bakal habis bila tidak dilakukan eksplorasi. 

Menurut laporan BP, perusahaan minyak dan gas raksasa Inggris, memperkirakan Indonesia bisa jadi tidak memproduksi minyak lagi dekade mendatang. Cadangan minyak yang ada saat ini akan terus berkurang dalam 10 tahun. Menurut Statistical Review of World Energy 2013, Indonesia bahkan akan kehabisan minyak tahun 2024, dengan catatan tidak ada tambahan cadangan minyak terbukti.
 
Gambaran ini merupakan lampu kuning bagi pemerintah dan harus menjadi PR besar bagi pemerintah baik yang sekarang maupun pemerintah baru hasil Pemilihan Umum 2014 untuk menggenjot aktivitas eksplorasi, untuk menambah cadangan minyak dan gas bumi.
 
Tugas pemerintah adalah mendorong perusahaan-perusahaan migas baik nasional maupun internasional atau oil majors seperti Chevron, ExxonMobil, Total E&P, BP, Inpex. Sebagian besar cekungan minyak yang belum dieksplorasi berada di kawasan Timur Indonesia dan berada di daerah-daerah yang terpencil, sehingga risikonya tinggi. Sebagian besar potensi cadangan berada di lepas pantai dan laut dalam sehingga risikonya tinggi. Indonesia membutuhkan oil majors untuk mengambil risiko melakukan eksplorasi di kawasan-kawasan frontier ini.
 
Untuk itu, penting untuk menjaga iklim investasi dan menghilangkan berbagai ketidakpastian, termasuk birokrasi perizinan yang rumit, peraturan yang tumpang tindih serta kepastian perpanjangan blok-blok yang akan segera berakhir, termasuk Blok Mahakam.
 
Cadangan Minyak Terbesar 
Lalu bagaimana peta cadangan minyak dunia saat ini? Berikut negara-negara dengan cadangan migas terbesar di dunia. Bila kita memetakan Indonesia, maka cadangan minyak Indonesia tak ada artinya bila dibanding Venezuela yang memiliki cadangan minyak terbukti sebesar 297,57 miliar. Berikut profil negara-negara dengan cadangan minyak terbesar:
 
VenezuelaVenezuela merupakan negara dengan cadangan minyak terbesar. Per Januari 2013, cadangan minyak negara tersebut mencapai 297,57 miliar barel minyak, atau seperlima dari cadangan minyak terbukti dunia. Negara tersebut memproduksi 2,8 juta barel minyak per hari tahun 2012 dengan total 148 rig yang aktif bekerja. Cadangan minyak terbukti Venezuela terkonsentrasi di daerah Maracaibo Basin, yang memiliki cadangan minyak sebesar 40 miliar barel minyak dan di Orinoco Belt di tengah Venezuela, dengan cadangan terbukti 235 miliar barel minyak.
 
Perusahaan migas milik pemerintahVenezuela Petroleos de Venzuela (PDVSA) bertanggungjawab atas eksplorasi dan produksi minyak di negara tersebut. Dewasa ini kawasan Maracaibo Basin memberi kontribusi 45% produksi minyak negara tersebut, sementara BolivarVoastal Field, merupakan lapangan minyak terbesar.
 
Arab SaudiArab Saudi merupakan negara yang memiliki cadangan minyak terbukti terbesar kedua, dengan jumlah cadangan minyak 265,4 miliar barel. Hingga 2009, Arab Saudi merupakan negara dengan cadangan minyak terbukti terbesar di dunia, tapi posisinya kemudian diambil alih Venezuela. Arab Saudi memproduksi minyak 9,763 juta barel per hari tahun 2012. 

Lebih dari separuh cadangan minyak negara tersebut berada di delapan lapangan minyak raksasa, termasuk Ghawar, Khurais, Shaybah, Qatif dan Khursaniyah dan beberapa lapangan minyak lepas pantai di Safaniya, Manifa dan Zuluf. Lapangan minyak Ghawar, dengan kapasitas produksi 5 juta barel per hari, diperkirakan masih memiliki cadangan minyak terbukti 70 miliar barel. Lapangan Ghawar ini dianggap sebagai lapangan minyak terbesar di dunia.
 
Lapangan minyak Safaniya memproduksi minyak 1,5 juta barel per hari, atau dua kali total produksi minyak Indonesia, dengan sisa cadangan sebesar 36 miliar barel (lapangan minyak offshore terbesar di dunia). Lapangan minyak Manifa memiliki cadangan minyak terbukti 13 miliar, merupakan lapangan minyak lepas pantai terbesar ketiga didunia.

Produksi minyak Arab Saudi pertama kali dilakukan di lapangan minyak Dammam tahun 1938. Pendapatan sektor minyak memberi kontribusi 90% pendapatan impor negara tersebut, menunjukkan betapa vitalnya sumber daya minyak di negara petrodolar tersebut.
 
KanadaTidak banyak yang tahu Kanada memiliki cadangan minyak besar di dunia. Per Oktober 2013, cadangan minyak terbukti Kanada mencapai 173,1 miliar barel (dibanding 3,7 miliar barel cadangan terbukti Indonesia), atau negara terbesar ketiga di dunia dalam hal cadangan minyak terbukti. Kanada tahun 2012 hanya memproduksi 1,308 juta barel minyak per hari.
Cadangan minyak Kanada yang terdiri dari oil sands berada di Alberta, Western Canada Sedimentary Basin (WCSB) dan lapangan lepas pantai di Atlantik. Oil sands menyumbang 90% cadangan minyak terbukti di negara tersebut.

Produksi minyak lepas pantai berada di Jeanne d’Arc Basin, di pantai timur Newfoundland dan Labrador. Sementara, cadangan minyak di lepas pantai berada di Hibernia, Terra Nova, White Rose dan Hebron.
 
Iran
Iran berada di posisi keempat sebagai negara dengan cadangan minyak terbesar, dan kedua terbesar di Timur Tengah. Cadangan minyak terbukti Iran per Desember 2012 mencapai 157 miliar barel. Iran memproduksi 3,74 juta barel minyak per hari tahun 2012.

Dari 34 lapangan minyak yang berproduksi, 22 berada di daratan dan menyumbang 70% produksi minyak Iran. Lebih dari separuh cadangan minyak terbukti berada di lima lapangan di daratan, termasuk lapangan Marun dengan cadangan minyak sebesar 22 miliar barel, Ahwaza dengan cadangan 18 miliar barel dan lapangan Aghajari dengan cadangan 17 miliar barel.

Beberapa lapangan minyak terbesar di Iran adalah Bahregansar, Balal, Alvand, Hengam dan Reshadat. Iran pertama kali memproduksi minyak tahun 1908 dari lapangan Masjid-i-Solaiman di provinsi Khozestan dan juga sumur minyak pertama di Timur Tengah. National Iranian Oil Company (NIOC) merupakan Pertamina-nya Iran.

Iraq
Iraq, negara tengga Iran, berada di posisi kelima sebagai negara terbesar cadangan minyak, dan ketiga di Timur Tengah. Iraq memproduksi 2,29 juta barel minyak per hari tahun 2012. Cadangan minyak Irak terkonsentrasi di Shiite serta kawasan Kurdish di Utara. Lima lapangan minyak raksasa Irak berada di Selatan Irak, yang menyumbang 60% cadangan minyak negara tersebut, sementara di utara menyumbang 17% cadangan minyak terbukti.

Sebagian besar produksi minyak Iraq datang dari lapangan Kirkuk di Utara Iraq dan Rumaila Utara serta lapangan South Rumaila di bagian selatan. Iraq juga memiliki beberapa lapangan lepas pantai termasuk West Qurna, Az Zubair, Halfaya, Garraf, Badra dan lapangan Manjoon, yang diperkirakan memiliki cadangan minyak terbukti 14 miliar barel.

West Qurna-2 dengan cadangan minyak 12,8 miliar barel merupakan salah satu lapangan minyak terbesar di dunia yang belum dikembangkan. Iraq memiliki 4 perusahaan minyak negara, yakni North Oil Company (NOC), Midland Oil Company (MDOC), South Oil Company (SOC) dan Missan Oil Company (MOC). Produksi minyak pertama Irak dimulai tahun 1927 di lapangan minyak Kirkuk.

Negara keenam hingga ke-sepuluh dengan cadangan minyak terbukti terebsar adalah Kuwait (keenam) dengan total cadangan terbukti sebesar 101,5 miliar barel per Desember 2012. Disusul United Arab Emirates di posisi ketujuh (97,8 miliar barel cadangan minyak terbukti), Russia dengan cadangan terbukti 80 miliar barel, Libya kesembilan dengan cadangant terbukti mencapai  48,47 miliar barel dan kesepuluh Nigeria dengan total cadangan minyak terbukti sebesar 37,14 miliar barel. (*)

Wednesday 6 November 2013

Defisit Neraca Perdagangan Indonesia Membengkak, Salahkan Impor Migas yang Tinggi!


"Kalau existing operator, Total E&P Indonesia (bersama mitranya Inpex)  mampu meyakinkan pemerintah untuk dapat mempertahankan tingkat produksi Blok Mahakam dan mencegah penurunan alamiah pasca 2017, maka publik akan memahami bila pemerintah memutuskan untuk tetap melibatkan operator lama, sambil mengakomodasi masuknya mitra baru, dalam hal ini Pertamina."

 * * *
Data ekonomi yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistic (BPS) kembali membuat kita khawatir. Pertumbuhan ekonomi melambat hingga kuartal ke-3, 2013, hanya sebesar 5,62 persen sehingga bila dianualisasi pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun berada di level 5,8 persen. Penyebabnya adalah melemahnya investasi dan ekspor, yang tercermin pada angka defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit) yang masih tinggi, yakni US$657,2 juta. 

BPS mengatakan defisit itu terjadi akibat neraca minyak dan gas yang defisit hingga September 2013. Pada September tercatat neraca transaksi perdagangan Indonesia mencatat defisit sebesar US$657,2 juta. Defisit terbesar terjadi pada neraca migas sebesar US$1,2 miliar dan non-migas mengalami surplus US$496,8 juta.

Ada kepincangan defisit yang luar biasa besar pada neraca migas. Impor minyak dan gas untuk periode Januari-September sebesar US$33,6 miliar atau naik 8,5% jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Pertanyaannya, mengapa impor migas tinggi? Jawabannya sederhana: kebutuhan dan konsumsi minyak dan gas terus meningkat, sementara produksi minyak dalam negeri menurun. Kabar lebih buruk lagi, produksi minyak bakal terus menurun, bila pemerintah diam saja, tidak melakukan teroboson untuk meningkatkan produksi minyak dan gas dari dalam negeri.

Dalam 20 tahun terakhir, produksi minyak Indonesia terus melorot, dari produksi puncak sebesar 1,5 juta barel per hari tahun 1995, menurun hingga tinggal separuh saat ini, bergerak di sekitar 830.000-850.000 barel per hari. Indonesia telah berubah satus menjadi net importer minyak sejak awal 2000-an hingga saat ini. Padahal kebutuhan minyak kita mencapai sekitar 1,4 juta per hari, artinya Indonesia mengimpor minyak ratusan ribu barel per hari. Dikalikan saja dengan harga minyak per barel, maka mata kita akan tercengang.

Ketergantungan impor bahan bakar minyak (BBM) Indonesia sangat tinggi. Wakil Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Susilo Siswoutomo baru-baru ini mengatakan Pemerintah Indonesia harus mengalokasikan dana 36 juta dolar AS atau setara Rp 360 miliar per hari untuk mengimpor 360 ribu barel BBM. Wow!!!

Kesimpulannya jelas: Perlu ada langkah fundamental untuk mengurangi impor minyak dan gas!! Yang pertama, tingkatkan investasi, khususnya untuk eksplorasi dan eksploitas atau produksi minyak dan gas bumi. Tanpa eksplorasi, cadangan minyak dan gas akan terus menurun, dan hanya tinggal menunggu waktu saja produksi minyak Indonesia habis, bis, bis!!! Bahkan ada pengamat yang pesimis, produksi minyak kita, tanpa melakukan apa-apa, artinya memproduksi cadangan yang ada, maka produksi minyak kita tinggal 10 tahun lagi. Produksi gas mungkin masih lebih lama, karena cadangan masih cukup beberapa puluh tahun lagi.

Dalam konteks ini, Indonesia perlu menarik investor migas, baik yang sudah berproduksi atau beroperasi di Indonesia, maupun yang belum atau berencana berinvestasi di Indonesia.  Indonesia membutuhkan produsen-produsen migas besar dunia, atau mayor players untuk meningkatkan investasi, baik untuk eksplorasi maupun untuk eksploitasi. 

Dalam konteks ini, pemerintah perlu mempertahankan tingkat produksi blok-blok besar, seperti blok-blok migas milik CPI di  Sumatera Utara, blok Mahakam yang kontraknya akan berakhir 2017. Dalam menentukan kontraktor pasca 2017, pertimbangan utama adalah bagaimana agar produksi Blok Mahakam berkesinambungan dalam 5-10 tahun mendatang, siapapun operatornya. Kalau memang existing operator, Total E&P Indonesia (bersama mitranya Inpex)  mampu meyakinkan pemerintah untuk dapat mempertahankan tingkat produksi dan mencegah penurunan alamiah pasca 2017, maka wajar bila pemerintah nantinya akan tetap melibatkan operator lama, sambil mengakomodasi masuknya mitra baru, dalam hal ini Pertamina.

Langkah kedua dalam menghadapi darurat migas adalah diversifikasi energi. Diversifikasi juga diperlukan untuk mengurangi defisit neraca migas. Sumber energi non-fossil perlu ditingkatkan, termasuk biofuel, panas bumi, energi air (hydropower), dan lain-lain. Sekali lagi, Perlu ada langkah fundamental untuk mengurangi impor minyak dan gas. (*)