Wednesday 6 November 2013

Defisit Neraca Perdagangan Indonesia Membengkak, Salahkan Impor Migas yang Tinggi!


"Kalau existing operator, Total E&P Indonesia (bersama mitranya Inpex)  mampu meyakinkan pemerintah untuk dapat mempertahankan tingkat produksi Blok Mahakam dan mencegah penurunan alamiah pasca 2017, maka publik akan memahami bila pemerintah memutuskan untuk tetap melibatkan operator lama, sambil mengakomodasi masuknya mitra baru, dalam hal ini Pertamina."

 * * *
Data ekonomi yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistic (BPS) kembali membuat kita khawatir. Pertumbuhan ekonomi melambat hingga kuartal ke-3, 2013, hanya sebesar 5,62 persen sehingga bila dianualisasi pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun berada di level 5,8 persen. Penyebabnya adalah melemahnya investasi dan ekspor, yang tercermin pada angka defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit) yang masih tinggi, yakni US$657,2 juta. 

BPS mengatakan defisit itu terjadi akibat neraca minyak dan gas yang defisit hingga September 2013. Pada September tercatat neraca transaksi perdagangan Indonesia mencatat defisit sebesar US$657,2 juta. Defisit terbesar terjadi pada neraca migas sebesar US$1,2 miliar dan non-migas mengalami surplus US$496,8 juta.

Ada kepincangan defisit yang luar biasa besar pada neraca migas. Impor minyak dan gas untuk periode Januari-September sebesar US$33,6 miliar atau naik 8,5% jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Pertanyaannya, mengapa impor migas tinggi? Jawabannya sederhana: kebutuhan dan konsumsi minyak dan gas terus meningkat, sementara produksi minyak dalam negeri menurun. Kabar lebih buruk lagi, produksi minyak bakal terus menurun, bila pemerintah diam saja, tidak melakukan teroboson untuk meningkatkan produksi minyak dan gas dari dalam negeri.

Dalam 20 tahun terakhir, produksi minyak Indonesia terus melorot, dari produksi puncak sebesar 1,5 juta barel per hari tahun 1995, menurun hingga tinggal separuh saat ini, bergerak di sekitar 830.000-850.000 barel per hari. Indonesia telah berubah satus menjadi net importer minyak sejak awal 2000-an hingga saat ini. Padahal kebutuhan minyak kita mencapai sekitar 1,4 juta per hari, artinya Indonesia mengimpor minyak ratusan ribu barel per hari. Dikalikan saja dengan harga minyak per barel, maka mata kita akan tercengang.

Ketergantungan impor bahan bakar minyak (BBM) Indonesia sangat tinggi. Wakil Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Susilo Siswoutomo baru-baru ini mengatakan Pemerintah Indonesia harus mengalokasikan dana 36 juta dolar AS atau setara Rp 360 miliar per hari untuk mengimpor 360 ribu barel BBM. Wow!!!

Kesimpulannya jelas: Perlu ada langkah fundamental untuk mengurangi impor minyak dan gas!! Yang pertama, tingkatkan investasi, khususnya untuk eksplorasi dan eksploitas atau produksi minyak dan gas bumi. Tanpa eksplorasi, cadangan minyak dan gas akan terus menurun, dan hanya tinggal menunggu waktu saja produksi minyak Indonesia habis, bis, bis!!! Bahkan ada pengamat yang pesimis, produksi minyak kita, tanpa melakukan apa-apa, artinya memproduksi cadangan yang ada, maka produksi minyak kita tinggal 10 tahun lagi. Produksi gas mungkin masih lebih lama, karena cadangan masih cukup beberapa puluh tahun lagi.

Dalam konteks ini, Indonesia perlu menarik investor migas, baik yang sudah berproduksi atau beroperasi di Indonesia, maupun yang belum atau berencana berinvestasi di Indonesia.  Indonesia membutuhkan produsen-produsen migas besar dunia, atau mayor players untuk meningkatkan investasi, baik untuk eksplorasi maupun untuk eksploitasi. 

Dalam konteks ini, pemerintah perlu mempertahankan tingkat produksi blok-blok besar, seperti blok-blok migas milik CPI di  Sumatera Utara, blok Mahakam yang kontraknya akan berakhir 2017. Dalam menentukan kontraktor pasca 2017, pertimbangan utama adalah bagaimana agar produksi Blok Mahakam berkesinambungan dalam 5-10 tahun mendatang, siapapun operatornya. Kalau memang existing operator, Total E&P Indonesia (bersama mitranya Inpex)  mampu meyakinkan pemerintah untuk dapat mempertahankan tingkat produksi dan mencegah penurunan alamiah pasca 2017, maka wajar bila pemerintah nantinya akan tetap melibatkan operator lama, sambil mengakomodasi masuknya mitra baru, dalam hal ini Pertamina.

Langkah kedua dalam menghadapi darurat migas adalah diversifikasi energi. Diversifikasi juga diperlukan untuk mengurangi defisit neraca migas. Sumber energi non-fossil perlu ditingkatkan, termasuk biofuel, panas bumi, energi air (hydropower), dan lain-lain. Sekali lagi, Perlu ada langkah fundamental untuk mengurangi impor minyak dan gas. (*)

No comments:

Post a Comment