"Kalau existing operator, Total E&P Indonesia (bersama mitranya
Inpex) mampu meyakinkan pemerintah untuk
dapat mempertahankan tingkat produksi Blok Mahakam dan mencegah penurunan alamiah pasca 2017, maka publik akan memahami
bila pemerintah memutuskan untuk tetap melibatkan operator lama, sambil
mengakomodasi masuknya mitra baru, dalam hal ini Pertamina."
* * *
Data
ekonomi yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistic (BPS) kembali membuat kita
khawatir. Pertumbuhan ekonomi melambat hingga kuartal ke-3, 2013, hanya sebesar
5,62 persen sehingga bila dianualisasi pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun
berada di level 5,8 persen. Penyebabnya adalah melemahnya investasi dan ekspor,
yang tercermin pada angka defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit) yang masih
tinggi, yakni US$657,2 juta.
BPS mengatakan defisit itu terjadi akibat neraca minyak dan gas yang defisit hingga September 2013. Pada September tercatat neraca transaksi perdagangan Indonesia mencatat defisit sebesar US$657,2 juta. Defisit terbesar terjadi pada neraca migas sebesar US$1,2 miliar dan non-migas mengalami surplus US$496,8 juta.
BPS mengatakan defisit itu terjadi akibat neraca minyak dan gas yang defisit hingga September 2013. Pada September tercatat neraca transaksi perdagangan Indonesia mencatat defisit sebesar US$657,2 juta. Defisit terbesar terjadi pada neraca migas sebesar US$1,2 miliar dan non-migas mengalami surplus US$496,8 juta.
Ada kepincangan defisit yang
luar biasa besar pada neraca migas. Impor minyak dan gas untuk periode
Januari-September sebesar US$33,6 miliar atau naik 8,5% jika dibandingkan
periode yang sama tahun lalu.
Pertanyaannya, mengapa impor
migas tinggi? Jawabannya sederhana: kebutuhan dan konsumsi minyak dan gas terus
meningkat, sementara produksi minyak dalam negeri menurun. Kabar lebih buruk
lagi, produksi minyak bakal terus menurun, bila pemerintah diam saja, tidak
melakukan teroboson untuk meningkatkan produksi minyak dan gas dari dalam
negeri.
Dalam
20 tahun terakhir, produksi minyak Indonesia terus melorot, dari produksi
puncak sebesar 1,5 juta barel per hari tahun 1995, menurun hingga tinggal
separuh saat ini, bergerak di sekitar 830.000-850.000 barel per hari. Indonesia
telah berubah satus menjadi net importer minyak sejak awal 2000-an hingga saat
ini. Padahal kebutuhan minyak kita mencapai sekitar 1,4 juta per hari, artinya
Indonesia mengimpor minyak ratusan ribu barel per hari. Dikalikan saja dengan
harga minyak per barel, maka mata kita akan tercengang.
Ketergantungan
impor bahan bakar minyak (BBM) Indonesia sangat tinggi. Wakil Menteri Energi
Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Susilo Siswoutomo baru-baru ini mengatakan
Pemerintah Indonesia harus mengalokasikan dana 36 juta dolar AS atau setara Rp
360 miliar per hari untuk mengimpor 360 ribu barel BBM. Wow!!!
Kesimpulannya
jelas: Perlu
ada langkah fundamental untuk mengurangi impor minyak dan gas!! Yang
pertama, tingkatkan investasi, khususnya untuk eksplorasi dan eksploitas atau
produksi minyak dan gas bumi. Tanpa eksplorasi, cadangan minyak dan gas akan
terus menurun, dan hanya tinggal menunggu waktu saja produksi minyak Indonesia
habis, bis, bis!!! Bahkan ada pengamat yang pesimis, produksi minyak kita,
tanpa melakukan apa-apa, artinya memproduksi cadangan yang ada, maka produksi
minyak kita tinggal 10 tahun lagi. Produksi gas mungkin masih lebih lama,
karena cadangan masih cukup beberapa puluh tahun lagi.
Dalam
konteks ini, Indonesia perlu menarik investor migas, baik yang sudah
berproduksi atau beroperasi di Indonesia, maupun yang belum atau berencana
berinvestasi di Indonesia. Indonesia
membutuhkan produsen-produsen migas besar dunia, atau mayor players untuk
meningkatkan investasi, baik untuk eksplorasi maupun untuk eksploitasi.
Dalam
konteks ini, pemerintah perlu mempertahankan tingkat produksi blok-blok besar,
seperti blok-blok migas milik CPI di
Sumatera Utara, blok Mahakam yang kontraknya akan berakhir 2017. Dalam
menentukan kontraktor pasca 2017, pertimbangan utama adalah bagaimana agar produksi
Blok Mahakam berkesinambungan dalam 5-10 tahun mendatang, siapapun operatornya.
Kalau memang existing operator, Total E&P Indonesia (bersama mitranya
Inpex) mampu meyakinkan pemerintah untuk
dapat mempertahankan tingkat produksi dan mencegah penurunan alamiah pasca 2017, maka wajar
bila pemerintah nantinya akan tetap melibatkan operator lama, sambil
mengakomodasi masuknya mitra baru, dalam hal ini Pertamina.
Langkah
kedua dalam menghadapi darurat migas adalah diversifikasi energi. Diversifikasi
juga diperlukan untuk mengurangi defisit neraca migas. Sumber energi non-fossil
perlu ditingkatkan, termasuk biofuel, panas bumi, energi air (hydropower), dan
lain-lain. Sekali lagi, Perlu ada langkah fundamental untuk mengurangi
impor minyak dan gas. (*)
No comments:
Post a Comment