Monday 28 April 2014

Blok Cepu, Proyek IDD, Blok Mahakam dan Masa Depan Industri Migas Indonesia

Setelah tertunda cukup lama, konstruksi pengembangan proyek minyak dan gas bumi raksasa lapangan Banyu Urip di Blok Cepu sudah mendekati akhir. Kabar terakhir, berbagai fasilitas produksi yang dikerjakan dalam setahun terakhir sudah hampir 87 persen selesai. Ini artinya, produksi minyak lapangan Banyu Urip akan berangsur meningkat mulai bulan September tahun ini hingga mencapai tingkat produksi optimal pada tahun 2015 mendatang. Proyek ini boleh dibilang tertunda hampir dua tahun, dari rencana awal akan mencapai produksi puncak tahun 2013 ini, kemudian tertunda dan tertunda lagi.
 
Banyak faktor penyebab tertundanya pengembangan Blok Cepu, mulai dari terhambatnya pembebasan lahan untuk membangun fasilitas produksi dan fasilitas lain, hingga penerbitan izin-izin yang juga tertunda. Tentu saja, proses lanjutannya seperti penyelenggaran tender untuk pembangunan fasilitas produksi juga tertunda. Pemerintah daerah juga berperan atas terlambatnya proyek Blok Cepu yang pada awalnya menunda-nunda penerbitan izin, sementara pemerintah pusat kurang melakukan koordinasi untuk mempercepat pengerjaan proyek tersebut. Padahal Blok Cepu merupakan salah satu proyek migas raksasa yang dimiliki Indonesia dalam 10 tahun terakhir.
 
Keterlambatan tentu menyebabkan biaya yang mahal bagi Indonesia. Bila pengerjaan proyek tersebut sesuai rencana awal, maka produksi minyak Indonesia barangkali sudah kembali naik mencapai 1 juta barel sejak dua tahun lalu. Tapi pemerintah menyia-nyiakan kesempatan untuk untuk mendongkrak produksi minyak. Pemerintah SBY membiarkan produksi minyak Indonesia terjun ke level di atas 800,000 barel per hari saat ini. Bila saja proyek Blok Cepu tepat waktu, triliunan rupiah dana seharusnya dapat dihemat pemerintah. Keterlambatan proyek migas berarti pemerintah tetap harus mengimpor minyak dalam jumlah yang besar.
 
Pemerintah seharusnya memberikan perhatian lebih pada proyek-proyek migas raksasa yang dapat menyelamatkan APBN atau memberi sumbangsih terhadap pendapatan negara. Seperti yang kita ketahui ada beberapa proyek migas besar yang saat ini sedang atau akan dikembangkan, diantaranya proyek Indonesia Deepwater Development (IDD) oleh Chevron, sebuah proyek migas laut dalam pertama di Indonesia yang terletak Selat Makassar. 

Proyek IDD terdiri dari beberapa blok di Cekungan Kutai Timur yaitu Makassar Strait, Blok Ganal, dan Blok Rampak Cekungan Kutai. Untuk Blok Ganal dan Rampak, masa kontraknya masih lama. Namun, untuk Blok Makassar Strait, kontraknya tinggal berapa tahun lagi. Karena itu, operator atau pengembangan proyek IDD telah meminta perpanjangan kontrak kepada pemerintah.
 
Namun, hingga saat ini operator/pengembang proyek IDD belum mendapat keputusan dari pemerintah. Akibatnya, pengerjaan proyek IDD tertunda atau ditahan sementara. Pengajuan perpanjangan tentu masuk akal mengingat proyek IDD membutuhkan biaya sangat besar dan butuh waktu untuk pengembalian investasi.
 
Lalu bagaimana tanggapan Kementerian ESDM yang mewakili pemerintah?

Dirjen Migas, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Edy Hermantoro mengatakan perpanjangan proyek IDD bakal disesuaikan pada aturan baru yang akan dituangkan dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM tentang perpanjangan kontrak migas.
"Perpanjangan kontrak IDD ini tunggu Permen ESDM," ujar Edy usai menghadiri pelantikan pejabat eselon I di lingkungan Kementerian ESDM, Senin (28/4/2014). Sebelumnya, Sekretaris Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Gde Pradnyana mengatakan, proyek IDD tersebut belum bisa berjalan kalau belum ada perpanjangan kontrak dari pemerintah. "Yang ditunggu mereka (Chevron) kan mereka meminta perpanjangan kontraknya," ujar Gde.
 
Selain proyek IDD, ada beberapa proyek migas lain yang saat ini sedang menghadapi ketidakpastian, yaitu pengembangan Blok Masela dan Blok Mahakam. Blok Masela sedang dalam fase persiapan pengerjaan. Kontrak sedang disiapkan untuk pengerjaan Front End Engineering Design (FEED), sebuah tahapan penting proses pengerjaan proyek migas. Masalahnya, kontrak Inpex untk mengembangkan proyek lapangan Abadi, Blok Masela akan berakhir tahun 2028, sementara komersialisasi proyek tersebut diperkirakan baru mulai tahun 2019. Artinya, operator cuma punya waktu kurang dari 10 tahun untuk pengembalian investasi. Masuk akal bila operator blok Masela (Inpex) meminta perpanjangan waktu kontrak.
 
Sementara itu, pengembangan Blok Mahakam saat ini juga memasuki masa-masa ketidak pastian karena kontrak Total EP Indonesie (dan Inpex) untuk mengembangkan proyek tersebut bakal berakhir akhir Maret 2017. Artinya, operator tinggal memiliki kurang dari tiga tahun untuk mengembangkan proyek tersebut. Belum diketahui apakah hak pengelolaan diperpanjang, tidak diperpanjang atau pemerintah membuat skema baru yang akan melibatkan operator lama dan pemain baru (Pertamina).
 
Banyak pengamat dan pelaku industri migas menginginkan opsi ketiga karena akan menjamin kelanjutan operasional proyek Blok Mahakam dan terhindar dari gangguan. Risiko juga dapat diminimalizir. Bila langsung diserahkan ke operator baru, tentu sangat berisiko mengingat kompleksnya kondisi Blok Mahakam. Blok Mahakam ibarat sebuah kapal induk, dia tidak bisa dipaksa untuk langsung belok atau balik arah, namun harus dilakukan secara perlahan. Karena itu, kalaupun suatu saat Pertamina diberi hak untuk menjadi operator, maka perlu waktu transisisi. Namun, apapun keputusannya, kita serahkan kepada pemerintah.
 
Publik berharap pemerintah dapat melakukan pertimbangan matang dengan memperhatikan segala risiko, cost and benefit analisis, sehingga akan lahir keputusan yang bijakasana. Penting juga untuk memastikan keputusan tidak ditunda-tunda terus. Semakin cepat semakin baik sehingga operator dapat melakukan persiapan atau rencana investasi jauh-jauh hari apapun keputusan pemerintah. Seperti yang kita lihat di proyek Blok Cepu, Blok IDD dan Blok Masela, menunda keputusan juga berimplikasi pada meningkatnya biaya. Ada ongkos mahak yang harus dibayar bila pemerintah terus menunda keputusan. (*)

Monday 14 April 2014

Perusahaan Asal Iran dan Swasta Indonesia PT Kreasindo Bangun 6 Kilang Minyak


Saat pemerintah dan perusahaan BUMN minyak dan gas bumi PT Pertamina terus berwacana dan membahas rencana membangun kilang minyak, PT Kreasindo Resources Indonesia bersama mitranya asal Iran Nakhle Barani Pardis rupanya bergerak lebih cepat. Setelah menandatangani kesepakatan kerjasama, kedua perusahaan itu segera merealisasikan rencana pembangungan kilang minyak tersebut.

Seperti yang dilaporkan Presstv, Kepala Serikat Eksportir Produk Petrokimia, Minyak dan Gas Iran Hassan Khosrojerdi mengatakan, konsorsium gabungan Indonesia-Iran akan membangun 6 kilang minyak di Indonesia dengan total kapasitas 300 ribu barel minyak per hari.

Hassan Khosrojerdi mengatakan keenam kilang minyak tersebut terdiri dari 1 kilang utama yang memiliki kapasitas produksi 150,000 barel per hari, semenara 5 kilang lainnya memiliki kapasitas harian antara 30.000-50.000 barel kondensat per hari.

Menurut Hassan, perusahaan minyak Iran Nakhle Barani Pardis akan menyuplai minyak mentah ke kilang-kilang minyak tersebut. Menurut laporan Presstv tersebut, Nakhle Barani Pardis telah menyetujui untuk mendanai 30 persen dari kebutuhan dana pembangunan kilang-kilang tersebut yang rencananya dibangun di Banten atau wilayah Jawa Barat lainnya.

Kilang-kilang yang dimiliki Pertamina saat ini hanya bisa menyuplai separuh dari kebutuhan minyak dalam negeri. Karena itu, pemerintah mendorong Pertamina dan perusahaan swasta untuk membangun kilang minyak untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Sebelumnya, dikabarkan pembangunan kilang tersebut akan menelan investasi sebesar US$3 miliar. Rencana Kreasindo bersama mitranya tersebut tentu patut didukung pemerintah. 

Nama PT Kreasindo mungkin belum seterkenal Pertamina atau Medco, namun petinggi perusahaan ini merupakan orang yang sudah berkecimpung lama di industri migas. Dia adalah Rudi Radjab, yang sebelumnya menjabat sebagai Presiden Direktur PT Elnusa. 

Siapa Rudi Radjab? Rudi, pria kelahiran Malang 27 Desember 1948 ini memperoleh degree di Chemical Engineering di ITB tahun 1974. Dia memulai karirnya sebagai Asisten Direktur di PT Perkebunan Lidjen Surabaya dari 1970 hingga 1978. Dia kemudian diangkat sebagai Technical Manager PT Jacolin Fitrab dari 1977 hingga 1979.

Rudi Radjab memiliki pengalaman yang lama di level puncak manajemen perusahaan minyak dan gas bumi atau yang terkait. Dari 1980 hingga 1986 dia menjabat sebagai Technical Director PT Andalas Daya Kwarta di Dumai sebelum diangkat menjadi Direktur Operasional Arga Nusa tahun 1987-1993. Dari 1993 hingga 1996 dia menjadi Project & Development Manager Divisi Engineering & Construction PT Elnusa. 

In 1996 dia diangkat menjadi President Direktur PT Elnusa Pertroteknik dan dari 2001 hingga 2007, dia menjabat sebagai Presiden Direktur PT Elnusa. Selain itu, Rudy juga memegang posisi sebagai Presiden Direktur PT Banten Global Development, sebuah perusahaan daerah milik provinsi Banten. (*)

Thursday 3 April 2014

“Memberantas Korupsi” Isu Utama Masyarakat Indonesia, Isu Nasionalisasi Tidak Laku


Dalam dua tahun terakhir gerakan nasionalisasi sumber daya alam, khususnya industri minyak dan gas bumi (migas) terus dikampanyekan oleh berbagai kelompok masyarakat. Isu ini walaupun cuma isu marginal yang didorong oleh elemen-elemen masyarakat dan bukan kebijakan (policy stand) pemerintah, tetap saja menarik perhatian pelaku usaha atau investor yang beroperasi atau berinvestasi di Indonesia. Gerakan ini antara lain diinspirasi oleh gerakan anti-asing atau nasionalisasi Presiden Venezuela Hugo Chaves. Selain itu, gerakan nasionalisasi migas di Indonesia juga boleh jadi diinspirasi oleh romantika nasionalisasi yang dilakukan oleh Presiden pertama Indonesia Soekarno pada era 1950-an.




Sumber: Indikator Politik Indonesia
Namun, Indonesia bukanlah Venezuela. Kebijakan politik dan ekonomi Indonesia dan Venezuela sangat berbeda dengan Indonesia. Indonesia tidak menganut ekonomi tertutup seperti Kuba atau Korea Utara yang menutup pintu keluar-masuknya investasi. Dari kaca mata awam pun, jelas terlihat bahwa Indonesia merupakan bagian dari dinamika ekonomi Asia dan bahkan dunia. Indonesia mengekspor produk-produk migas dan migas ke Asia, Eropa dan Amerika, demikian juga sebaliknya, mengimpor barang-barang modal dan lain-lain yang kemudian digunakan untuk mendorong aktivitas ekonomi dalam negeri. Indonesia juga pro bisnis, pro investasi seperti yang dilakukan oleh pemerintah selama ini, baik pada masa era Orba (Soeharto) maupun setelah reformasi. 

Kebijakan ekonomi terbuka yang dilakukan Indonesia memudahkan arus atau flow barang dan modal masuk ke Indonesia maupun keluar Indonesia. Masuknya investasi asing di atas US$20 miliar dolar setiap tahun (di luar investasi migas) telah membantu menciptakan lapangan kerja. Berkembangnya sektor swasta telah membuka puluhan juta lapangan kerja setiap tahun, yang tentunya tidak bisa disediakan oleh pemerintah dan BUMN. Sektor swasta, diakui pemerintah, telah berperan dan dibutuhkan untuk terus mendorong perumbuhan ekonomi Indonesia. Di sektor infrastruktur, misalnya, Indonesia membutuhkan ribuan triliun dalam dekade mendatang agar pertumbuhan ekonomi Indonesia berkesinambungan.

Perkembangan ekonomi Indonesia yang berkesinambungan dalam beberapa dekade terakhir telah melahirkan kelompok kelas menengah sekiar 50 jutaan orang, yang berarti 3 kali jumlah penduduk Australia (17 juta) dan 12 kali jumlah penduduk Singapura. Indonesia juga menjadi surga bagi produk-produk konsumsi, mulai dari gadget maupun barang-barang konsumsi lainnya. Perusahaan-perusahaan seperti Apple, Samsung, Blackberry, Lenovo, Acer, mengklaim Indonesia sebagai salah satu pasar penting mereka. 

Intinya, Indonesia tidak bisa mengucilkan diri lagi dan menjadi anti-asing dengan melakukan nasionalisasi. Gerakan nasionalisasi bisa dibilang ibarat mimpi di siang bolong, hanya (mungkin) bagus sebagai isu jualan untuk memanipulasi dan menarik simpati masyarakat. Isu nasionalisasi misalnya sempat mengemuka ketika para bakal calon presiden partai Demokrat menyelenggarakan debat publik di salah satu kota di Kalimantan. Mayoritas para Capres Konvensi Partai Demokrat itu mendukung upaya nasionalisasi sumber daya migas, antara lain Blok Mahakam.

Gerakan ini juga berupaya untuk kembali menjadikan Pertamina sebagai lembaga untouchable dengan kekuasaan tidak terbatas (sebagai pelaku usaha maupun sebagai regulator) untuk mengelola dan mengawasi industri migas di Tanah Air. Upaya tersebut dilakukan dengan mengambil kesempatan dalam kesempitan saat BPMIGAS dibubarkan. Namun, upaya mengembalikan fungsi regulasi ke Pertamina tersebu gagal, karena ditolak oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Pemerintah juga tampaknya tetap ingin Pertamina fokus menjadi sebuah korporasi agar bisa bersaing dengan perusahaan migas lainnya di dunia, tidak dikerdilkan menjadi regulator sekaligus perusahaan/pelaku usaha.

Gerakan nasionalisasi ini tampaknya akan terus didengungkan oleh kelompok-kelompok masyarakat Indonesia. Sebagai contoh kecil, infografik yang menggambarkan bahwa sumber daya alam (SDA) di pulau-pulau di Indonesia sudah dikuasai oleh negara lain, termasuk minyak dan gas bumi. Bahwa banyak investasi yang masuk ke Indonesia adalah sesuatu yang positif. Pemerintah memang mengundang investasi untuk masuk karena Indonesia memiliki keterbatasan modal dan teknologi, sehingga investor pun diundang untuk berinvestasi di Indonesia. Pada saat yang sama, perusahaan-perusahaan nasional juga didorong untuk berkembang. Pemerintah bertindak sebagai wasit dan regulator agar semua pemain dan pelaku usaha beroperasi dan menjalankan usahanya tetap berada dalam koridor yang benar. 

Di industri migas, misalnya, perusahaan atau investor, terikat dengan kontrak kerjasama (KKS) atau Production Sharing Contract (PSC). PSC mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak yang terikat dalam kontrak. Perusahaan migas yang berinvestasi dan beroperasi di Indonesia harus menjalankan usaha dan operasional perusahaan sesuai dengan PSC.

Berkembangnya industri-industri di Indonesia, termasuk industri migas dan sumber daya alam, telah membuka lapangan kerja puluhan juta serta menjadi sumber pemasukan bagi pemerintah dalam APBN. Industri migas, misalnya, berkontribusi sekitar 30 persen dari pemasukan. 

Sayangnya, pengelolaan SDA di Indonesia belum sempurna. Kebocoran terjadi disana-sini, mulai dari pusat hingga daerah. Lihat saja, misalnya berbagai kasus korupsi yang terjadi baik di pemerintah pusat maupun di pemerintah daerah. Contoh kasus nyata, kasus gratifikasi yang melibatkan mantan ketua SKK Miga, mantan Bendahara Kementerian ESDM, maupun pihak-pihak lain yang diduga terlibat. Kita juga lihat banyak kepala daerah, Bupati maupun Gubernur, serta anggota DPRD, di tingkat kabupaten maupun provinsi yang terlibat korupsi.
Tidak heran bila masyarakat Indonesia menjadikan KORUPSI sebagai musuh utama yang harus diberantas di muka bumi Indonesia. 

Berbagai survei belakangan membuktikan “PEMBERANTASAN KORUPSI” sebagai masalah utama (main concern) rakyat Indonesia (lihat table). Kemudian disusul isu Mencipakan lapangan kerja/mengurangi pengangguran sebagai isu utama nomor dua. Isu utama ketiga adalah ‘mengendalikan harga-harga kebutuhan pokok dan isu ke empat adalah ‘keamanan dan ketertiban’. Jelas, bahwa siapa pun yang kelak menjadi Presiden atau yang menjadi Partai Penguasa, harus menjadikan masalah pemberantasan korupsi sebagai prioritas utama. Nasionalisasi? Hhmm, silahkan bermimpi!