Dalam dua tahun terakhir gerakan
nasionalisasi sumber daya alam, khususnya industri minyak dan gas bumi (migas)
terus dikampanyekan oleh berbagai kelompok masyarakat. Isu ini walaupun cuma
isu marginal yang didorong oleh elemen-elemen masyarakat dan bukan kebijakan
(policy stand) pemerintah, tetap saja menarik perhatian pelaku usaha atau
investor yang beroperasi atau berinvestasi di Indonesia. Gerakan ini antara
lain diinspirasi oleh gerakan anti-asing atau nasionalisasi Presiden Venezuela
Hugo Chaves. Selain itu, gerakan nasionalisasi migas di Indonesia juga boleh
jadi diinspirasi oleh romantika nasionalisasi yang dilakukan oleh Presiden
pertama Indonesia Soekarno pada era 1950-an.
Sumber: Indikator Politik Indonesia |
Kebijakan ekonomi terbuka yang
dilakukan Indonesia memudahkan arus atau flow barang dan modal masuk ke
Indonesia maupun keluar Indonesia. Masuknya investasi asing di atas US$20
miliar dolar setiap tahun (di luar investasi migas) telah membantu menciptakan
lapangan kerja. Berkembangnya sektor swasta telah membuka puluhan juta lapangan
kerja setiap tahun, yang tentunya tidak bisa disediakan oleh pemerintah dan
BUMN. Sektor swasta, diakui pemerintah, telah berperan dan dibutuhkan untuk
terus mendorong perumbuhan ekonomi Indonesia. Di sektor infrastruktur,
misalnya, Indonesia membutuhkan ribuan triliun dalam dekade mendatang agar
pertumbuhan ekonomi Indonesia berkesinambungan.
Perkembangan ekonomi Indonesia yang
berkesinambungan dalam beberapa dekade terakhir telah melahirkan kelompok kelas
menengah sekiar 50 jutaan orang, yang berarti 3 kali jumlah penduduk Australia
(17 juta) dan 12 kali jumlah penduduk Singapura. Indonesia juga menjadi surga
bagi produk-produk konsumsi, mulai dari gadget maupun barang-barang konsumsi
lainnya. Perusahaan-perusahaan seperti Apple, Samsung, Blackberry, Lenovo,
Acer, mengklaim Indonesia sebagai salah satu pasar penting mereka.
Intinya, Indonesia tidak bisa
mengucilkan diri lagi dan menjadi anti-asing dengan melakukan nasionalisasi.
Gerakan nasionalisasi bisa dibilang ibarat mimpi di siang bolong, hanya
(mungkin) bagus sebagai isu jualan untuk memanipulasi dan menarik simpati
masyarakat. Isu nasionalisasi misalnya sempat mengemuka ketika para bakal calon
presiden partai Demokrat menyelenggarakan debat publik di salah satu kota di
Kalimantan. Mayoritas para Capres Konvensi Partai Demokrat itu mendukung upaya
nasionalisasi sumber daya migas, antara lain Blok Mahakam.
Gerakan ini juga berupaya untuk
kembali menjadikan Pertamina sebagai lembaga untouchable dengan kekuasaan tidak terbatas (sebagai pelaku usaha
maupun sebagai regulator) untuk mengelola dan mengawasi industri migas di Tanah
Air. Upaya tersebut dilakukan dengan mengambil kesempatan dalam kesempitan saat
BPMIGAS dibubarkan. Namun, upaya mengembalikan fungsi regulasi ke Pertamina
tersebu gagal, karena ditolak oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Pemerintah
juga tampaknya tetap ingin Pertamina fokus menjadi sebuah korporasi agar bisa
bersaing dengan perusahaan migas lainnya di dunia, tidak dikerdilkan menjadi
regulator sekaligus perusahaan/pelaku usaha.
Gerakan nasionalisasi ini
tampaknya akan terus didengungkan oleh kelompok-kelompok masyarakat Indonesia. Sebagai
contoh kecil, infografik yang menggambarkan bahwa sumber daya alam (SDA) di
pulau-pulau di Indonesia sudah dikuasai oleh negara lain, termasuk minyak dan
gas bumi. Bahwa banyak investasi yang masuk ke Indonesia adalah sesuatu yang
positif. Pemerintah memang mengundang investasi untuk masuk karena Indonesia
memiliki keterbatasan modal dan teknologi, sehingga investor pun diundang untuk
berinvestasi di Indonesia. Pada saat yang sama, perusahaan-perusahaan nasional
juga didorong untuk berkembang. Pemerintah bertindak sebagai wasit dan
regulator agar semua pemain dan pelaku usaha beroperasi dan menjalankan
usahanya tetap berada dalam koridor yang benar.
Di industri migas, misalnya,
perusahaan atau investor, terikat dengan kontrak kerjasama (KKS) atau
Production Sharing Contract (PSC). PSC mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak
yang terikat dalam kontrak. Perusahaan migas yang berinvestasi dan beroperasi
di Indonesia harus menjalankan usaha dan operasional perusahaan sesuai dengan
PSC.
Berkembangnya industri-industri
di Indonesia, termasuk industri migas dan sumber daya alam, telah membuka
lapangan kerja puluhan juta serta menjadi sumber pemasukan bagi pemerintah
dalam APBN. Industri migas, misalnya, berkontribusi sekitar 30 persen dari
pemasukan.
Sayangnya, pengelolaan SDA di
Indonesia belum sempurna. Kebocoran terjadi disana-sini, mulai dari pusat
hingga daerah. Lihat saja, misalnya berbagai kasus korupsi yang terjadi baik di
pemerintah pusat maupun di pemerintah daerah. Contoh kasus nyata, kasus
gratifikasi yang melibatkan mantan ketua SKK Miga, mantan Bendahara Kementerian
ESDM, maupun pihak-pihak lain yang diduga terlibat. Kita juga lihat banyak
kepala daerah, Bupati maupun Gubernur, serta anggota DPRD, di tingkat kabupaten
maupun provinsi yang terlibat korupsi.
Tidak heran bila masyarakat
Indonesia menjadikan KORUPSI sebagai musuh utama yang harus diberantas di muka
bumi Indonesia.
Berbagai survei belakangan membuktikan “PEMBERANTASAN KORUPSI”
sebagai masalah utama (main concern) rakyat Indonesia (lihat table).
Kemudian disusul isu Mencipakan lapangan kerja/mengurangi pengangguran sebagai
isu utama nomor dua. Isu utama ketiga adalah ‘mengendalikan harga-harga
kebutuhan pokok dan isu ke empat adalah ‘keamanan dan ketertiban’. Jelas, bahwa
siapa pun yang kelak menjadi Presiden atau yang menjadi Partai Penguasa, harus
menjadikan masalah pemberantasan korupsi sebagai prioritas utama.
Nasionalisasi? Hhmm, silahkan bermimpi!
No comments:
Post a Comment