Thursday 3 April 2014

“Memberantas Korupsi” Isu Utama Masyarakat Indonesia, Isu Nasionalisasi Tidak Laku


Dalam dua tahun terakhir gerakan nasionalisasi sumber daya alam, khususnya industri minyak dan gas bumi (migas) terus dikampanyekan oleh berbagai kelompok masyarakat. Isu ini walaupun cuma isu marginal yang didorong oleh elemen-elemen masyarakat dan bukan kebijakan (policy stand) pemerintah, tetap saja menarik perhatian pelaku usaha atau investor yang beroperasi atau berinvestasi di Indonesia. Gerakan ini antara lain diinspirasi oleh gerakan anti-asing atau nasionalisasi Presiden Venezuela Hugo Chaves. Selain itu, gerakan nasionalisasi migas di Indonesia juga boleh jadi diinspirasi oleh romantika nasionalisasi yang dilakukan oleh Presiden pertama Indonesia Soekarno pada era 1950-an.




Sumber: Indikator Politik Indonesia
Namun, Indonesia bukanlah Venezuela. Kebijakan politik dan ekonomi Indonesia dan Venezuela sangat berbeda dengan Indonesia. Indonesia tidak menganut ekonomi tertutup seperti Kuba atau Korea Utara yang menutup pintu keluar-masuknya investasi. Dari kaca mata awam pun, jelas terlihat bahwa Indonesia merupakan bagian dari dinamika ekonomi Asia dan bahkan dunia. Indonesia mengekspor produk-produk migas dan migas ke Asia, Eropa dan Amerika, demikian juga sebaliknya, mengimpor barang-barang modal dan lain-lain yang kemudian digunakan untuk mendorong aktivitas ekonomi dalam negeri. Indonesia juga pro bisnis, pro investasi seperti yang dilakukan oleh pemerintah selama ini, baik pada masa era Orba (Soeharto) maupun setelah reformasi. 

Kebijakan ekonomi terbuka yang dilakukan Indonesia memudahkan arus atau flow barang dan modal masuk ke Indonesia maupun keluar Indonesia. Masuknya investasi asing di atas US$20 miliar dolar setiap tahun (di luar investasi migas) telah membantu menciptakan lapangan kerja. Berkembangnya sektor swasta telah membuka puluhan juta lapangan kerja setiap tahun, yang tentunya tidak bisa disediakan oleh pemerintah dan BUMN. Sektor swasta, diakui pemerintah, telah berperan dan dibutuhkan untuk terus mendorong perumbuhan ekonomi Indonesia. Di sektor infrastruktur, misalnya, Indonesia membutuhkan ribuan triliun dalam dekade mendatang agar pertumbuhan ekonomi Indonesia berkesinambungan.

Perkembangan ekonomi Indonesia yang berkesinambungan dalam beberapa dekade terakhir telah melahirkan kelompok kelas menengah sekiar 50 jutaan orang, yang berarti 3 kali jumlah penduduk Australia (17 juta) dan 12 kali jumlah penduduk Singapura. Indonesia juga menjadi surga bagi produk-produk konsumsi, mulai dari gadget maupun barang-barang konsumsi lainnya. Perusahaan-perusahaan seperti Apple, Samsung, Blackberry, Lenovo, Acer, mengklaim Indonesia sebagai salah satu pasar penting mereka. 

Intinya, Indonesia tidak bisa mengucilkan diri lagi dan menjadi anti-asing dengan melakukan nasionalisasi. Gerakan nasionalisasi bisa dibilang ibarat mimpi di siang bolong, hanya (mungkin) bagus sebagai isu jualan untuk memanipulasi dan menarik simpati masyarakat. Isu nasionalisasi misalnya sempat mengemuka ketika para bakal calon presiden partai Demokrat menyelenggarakan debat publik di salah satu kota di Kalimantan. Mayoritas para Capres Konvensi Partai Demokrat itu mendukung upaya nasionalisasi sumber daya migas, antara lain Blok Mahakam.

Gerakan ini juga berupaya untuk kembali menjadikan Pertamina sebagai lembaga untouchable dengan kekuasaan tidak terbatas (sebagai pelaku usaha maupun sebagai regulator) untuk mengelola dan mengawasi industri migas di Tanah Air. Upaya tersebut dilakukan dengan mengambil kesempatan dalam kesempitan saat BPMIGAS dibubarkan. Namun, upaya mengembalikan fungsi regulasi ke Pertamina tersebu gagal, karena ditolak oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Pemerintah juga tampaknya tetap ingin Pertamina fokus menjadi sebuah korporasi agar bisa bersaing dengan perusahaan migas lainnya di dunia, tidak dikerdilkan menjadi regulator sekaligus perusahaan/pelaku usaha.

Gerakan nasionalisasi ini tampaknya akan terus didengungkan oleh kelompok-kelompok masyarakat Indonesia. Sebagai contoh kecil, infografik yang menggambarkan bahwa sumber daya alam (SDA) di pulau-pulau di Indonesia sudah dikuasai oleh negara lain, termasuk minyak dan gas bumi. Bahwa banyak investasi yang masuk ke Indonesia adalah sesuatu yang positif. Pemerintah memang mengundang investasi untuk masuk karena Indonesia memiliki keterbatasan modal dan teknologi, sehingga investor pun diundang untuk berinvestasi di Indonesia. Pada saat yang sama, perusahaan-perusahaan nasional juga didorong untuk berkembang. Pemerintah bertindak sebagai wasit dan regulator agar semua pemain dan pelaku usaha beroperasi dan menjalankan usahanya tetap berada dalam koridor yang benar. 

Di industri migas, misalnya, perusahaan atau investor, terikat dengan kontrak kerjasama (KKS) atau Production Sharing Contract (PSC). PSC mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak yang terikat dalam kontrak. Perusahaan migas yang berinvestasi dan beroperasi di Indonesia harus menjalankan usaha dan operasional perusahaan sesuai dengan PSC.

Berkembangnya industri-industri di Indonesia, termasuk industri migas dan sumber daya alam, telah membuka lapangan kerja puluhan juta serta menjadi sumber pemasukan bagi pemerintah dalam APBN. Industri migas, misalnya, berkontribusi sekitar 30 persen dari pemasukan. 

Sayangnya, pengelolaan SDA di Indonesia belum sempurna. Kebocoran terjadi disana-sini, mulai dari pusat hingga daerah. Lihat saja, misalnya berbagai kasus korupsi yang terjadi baik di pemerintah pusat maupun di pemerintah daerah. Contoh kasus nyata, kasus gratifikasi yang melibatkan mantan ketua SKK Miga, mantan Bendahara Kementerian ESDM, maupun pihak-pihak lain yang diduga terlibat. Kita juga lihat banyak kepala daerah, Bupati maupun Gubernur, serta anggota DPRD, di tingkat kabupaten maupun provinsi yang terlibat korupsi.
Tidak heran bila masyarakat Indonesia menjadikan KORUPSI sebagai musuh utama yang harus diberantas di muka bumi Indonesia. 

Berbagai survei belakangan membuktikan “PEMBERANTASAN KORUPSI” sebagai masalah utama (main concern) rakyat Indonesia (lihat table). Kemudian disusul isu Mencipakan lapangan kerja/mengurangi pengangguran sebagai isu utama nomor dua. Isu utama ketiga adalah ‘mengendalikan harga-harga kebutuhan pokok dan isu ke empat adalah ‘keamanan dan ketertiban’. Jelas, bahwa siapa pun yang kelak menjadi Presiden atau yang menjadi Partai Penguasa, harus menjadikan masalah pemberantasan korupsi sebagai prioritas utama. Nasionalisasi? Hhmm, silahkan bermimpi!


No comments:

Post a Comment