Tuesday 29 October 2013

Pemerintah Indonesia Siapkan Peraturan Perpanjangan Kontrak Blok Migas


Seorang pejabat senior Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Republik Indonesia, mengatakan saat ini pemerintah sedang menyiapkan Peraturan tentang Perpanjangan Kontrak blok-blok minyak dan gas bumi (migas). Pernyataan tersebut muncul saat pemerintah sedang melakukan evaluasi blok-blok migas yang kontraknya akan berakhir dalam  jangka waktu beberapa tahun kedepan. Mengapa peraturan tersebut penting?
 
Direktur Pembinaan Usaha Hulu Minyak dan Gas Hendra Fadly, di Jakarta Kamis (24/10) mengatakan Kementerian ESDM sedang menyiapkan aturan tentang kontrak- kontrak yang akan berakhir. "Mudah-mudahan bisa selesai secepatnya," ungkapnya kepada media.
 
Peraturan tersebut penting mengingat selama ini belum ada ketentuan yang jelas mengenai langkah-langkah yang perlu dilakukan bila kontrak sebuah blok migas akan berakhir. Belum ada ketentuan yang mengatur masalah transisi, bila ada perubahan skema pengembangan blok pasca kontrak berakhir. Belum ada ketentuan yang jelas yang mengatur perubahan split atau kepemilikan bila kontrak blok migas diperpanjang.

Akibatnya, setiap blok migas yang kontraknya akan berakhir selalu mengundang polemik yang tiada ujung karena masing-masing pihak menonjolkan kepentingannya sendiri-sendiri, bukan kepentingan negara dan bangsa. Ketidakjelasan ini hanya membuka ruang bagi bagi kelompok-kelompok masyarakat untuk memperjuangkan kepentingan kelompoknhya, ketimbang kepentingan negara. Bahkan ada kelompok-kelompok kepentingan tertentu yang kelewat baas dengan mengancam merdeka bila keinginannya tidak ditanggapi oleh pemerintah.

Tentu sah-sah saja masukan-masukan yang disampaikan oleh masyarakat, namun, tentu pemerintah harus punya pertimbangan-pertimbangan serta prioritas-prioritas tersendiri dalam membuat keputusan mengenai nasib sebuah blok migas yang akan berakhir. Pertimbangan-pertimbangan utama tentu kepentingan negara dan bangsa, jaminan kelanjutan produksi, risiko yang bakal dihadapi, komitmen investasi kedepan dan apakah produksi migas pasca kontrak berakhir akan memberi manfaat lebih pada negara atau tidak. Pertimbangan-pertimbangan tersebut harus dinyatakan dengan jelas di dalam peraturan tersebut. Misalnya, split mungkin akan berubah bila kontrak diperpanjang untuk memastikan kontribusi ke negara menjadi lebih besar. Sebuah masa transisi perlu ditentukan dengan jelas untuk jangka waktu tertentu bila terjadi perubahan operator. 

Dari dulu memang ada kecenderungan pemerintah untuk memperpanjang pengelolaan sebuah blok. Pada era Undang-Undang Migas No 8/1971, Pertamina cenderung memperpanjang kontrak.  Sebagai contoh tahun 1997, Pertamina yang saat itu menjadi pelaku usaha sekaligus pengatur industri hulu migas, memperpanjang kontrak Blok Mahakam, tidak diambil oleh Pertamina saat itu untuk dikelola sendiri. Keputusan tersebut dapat dipahami karena saat itu pemerintah dan Pertamina tak ingin mengambil risiko dengan mengambil alih karena sekitar 25-30 persen produksi gas dan 8 persen produksi minyak berasal dari Blok Mahakam. Pertimbangan risiko ini juga tampaknya akan menjadi salah satu pertimbangan Pemerintah dalam membuat keputusan terkait Blok Mahakam atau blok-blok migas lainnya yang kontraknya akan berakhir.

Apa jadinya bila produksi malah terganggu atau menurun bila operator sebuah blok migas diganti ? Padahal pemerintah diberi mandat oleh Undang-Undang dan rakyat melalui wakil-wakil di parlemen untuk mencapai target produksi atau lifting migas setiap tahun. Patokannya adalah produksi dan lifting migas setiap tahun.

Beberapa blok migas yang kontraknya akan berakhir dalam waktu dekat adalah blok Siak dengan operator Chevron Pacific Indonesia (27 November 2013), blok Gebang dengan operator JOB Pertamina-Costa (2015), blok Mahakam dengan operator Total E&P Indonesia (Maret 2017), Offshore North West Java (2017), dan blok Tuban (2018).

Blok-blok yang akan berakhir dalam waktu hingga 10 tahun kedepan antara lain, blok Bula dikelola oleh Kalrez Petroleum, Seram Non Bula (Citic), Pendopo dan Raja (Pertamina-Golden Spike) dan Jambi Merang yang akan berakhir pada 2019. Pada tahun yang sama kontrak South Jambi B, Malacca Strait, Brantas, Salawati, Kepala Burung Blok A, Sengkang dan Makassar Strait Offshore Area A juga akan berakhir. 

Rencana pemerintah untuk membuat peraturan mengenai perpanjangan blok-blok migas penting. Peraturan yg jelas dibutuhkan sehingga ada pegangan bagi operator maupun pemerintah bila kontrak berakhir. Peraturan tersebut diharapkan mengatur soal masa transisi bila terjadi peralihan operatorship atau diperpanjang. 

Peraturan tersebut sangat dinantikan karena akan menciptakan kepastian bagi pemerintah maupun operator blok-blok migas yang kontraknya akan habis. Yang terutama sebenarnya keberanian pemerintah dalam membuat keputusan apakah kontrak pengelolaan blok migas diperpanjang atau tidak atau dibuat skema baru. Dalam kasus Blok Siak, misalnya, diperlukan ketegasan pemerintah untuk membuat keputusan sehingga tidak terkatung-katung seperti saat ini sehingga produksi menurun. Demikian juga blok-blok lain, seperti Blok Mahakam. Dibutuhkan ketegasan dari pemerintah untuk membuat keputusan sehingga produksi blok tersebut tidak terganggu dan menurun saat memasuki periode kontrakberakhir akibat diulurnya waktu oleh pemerintah membuat keputusan terkait perpanjangan (atau tidak) pengelolaan blok tersebut. 

Diharapkan Peraturan pemerintah tersebut akan memberikan landasan hukum dan peta yang jelas bagi pemerintah dalam membuat keputusan sehingga kepentingan negara dan bangsa diutamakan. (*)


Wednesday 23 October 2013

Indonesia Terus Dorong Pemanfaatan Energi Nuklir Saat Negara Lain Mundur


Reaktor Nuklir Fukushia hancur dihantam gempa & tsunami

Indonesia terus melanjutkan usahanya untuk memanfaat energi nuklir walaupun ditentang oleh berbagai kelompok masyarakat. Langkah pemerintah Indonesia ini berlawanan dengan rencana berbagai negara di dunia untuk membatalkan dan mengurangi pemanfaatan energi nuklir, menyusul tragedi Fukushima Daiichi dua tahun lalu. Indikasi kearah pemanfaatan energi nuklir terlihat dari berbagai peraturan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah dalam beberapa tahun terakhir serta sosialisasi yang terus dilakukan untuk meyakinkan masyarakat atas diperlukannya pemanfaatan energi nuklir di Indonesia.

Salah satu indikasi ke arah itu adalah diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 61, 2013 tenang Pengolahan Limbah Radioaktif, yang ditandatangi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 12 September 2013 lalu. Peraturan tersebut mengatur lebih komprehensif tentang Limbah Radioaktif yang berasal dari pemanfaatan tenaga nuklir yang berpotensi membahayakan keselamatan, keamanan dan kesehatan pekerja, masyarakat dan lingkungan hidup.

Yang dimaksudkan dengan Pengelolaan Limbah Radioaktif dalam Peraturan Pemerintah ini adalah “pengumpulan, pengelompokan, pengelolaan, pengangkutan, penyimpanan dan/atau pembuangan Limbah Radioaktif.”

Limbah Radioaktif tingkat rendah dan tingkat sedang berupa zat radioaktif terbungkus yang tidak digunakan, zat radioaktif terbuka yang tidak digunakan, atau bahan dan peralatan terkontaminasi dan/atau teraktivitasi yang tidak digunakan. Sementara Limbah Radioaktif tingkat tinggi berupa “bahan bakar nuklir bekas.”

Lokasi Reaktor nuklir Fukushima Daiichi sebelum bencana
Berdasarkan Peraturan Pemerintah itu, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) ditugaskan sebagai pelaksana pengelolaan Limbah Radioaktif, mencakup Limbah Radioaktif tingkat rendah; sedang; dan tingkat tinggi.

PP tersebut mewajibkan BATAN untuk memiliki izin untuk melakukan Pengelolaan Limbah Radioaktif dengan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perizinan pemanfaatan sumber radiasi pengion.

Sesuai dengan PP ini, Penghasil Limbah Radioaktif melakukan pengelolaan limbah radioaktif yang berasal dari, pertama, Pemanfaatan sumber radiasi pengion; dan kedua, pemanfaatan bahan nuklir, pembangunan, pengoperasian, dan/atau dekomisioning instalasi nuklir. Adapun BATAN melaksanakan Pengelolaan Limbah Radioaktif yang berasal dari Penghasil Limbah Radioaktif yang diserahkan ke lembaga itu.

“Dalam melaksanakan Pengelolaan Limbah Radioaktif, BATAN dapat bekerjasama atau menunjuk badan usaha milik negara, koperasi, dan/atau badan swasta,” demikian bunyi Pasal 6 Ayat (1) PP No. 61/2013 itu.

Tahun lalu (2012), pemerintah menerbitkan PP No. 54, Tahun 2012 tentang Keselamatan dan Keamanan Instalasi Nuklir. Peraturan tersebut bahkan secara gamblang mengatur mengenai Instalasi Nuklir walaupun Indonesia sendiri belum memiliki pembangkit listrik tenaga nuklir. PP No 54, 2012 tersebut merupakan salah satu peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Berdasarkan PP No 54, 2012 ini, pemerintah menunjuk Badan Pengawwas Tenaga Nuklir atau BAPETEN. Selanjutnya, pada pasal 2, ayat (1) dinyatakan, “Untuk mewujudkan keselamtan dan keamanan instalasi nuklir, setiap badan hukum yang akan melaksanakan pembangunan, pengeoperasian dan dekomisioning wajib memiliki izin dari Kepala BAPETEN,”

 “Syarat-syarat dan tata cara perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan pemerintah tersendiri,” demikian bunyi pasal 2 ayat (2). “Keselamatan instalasi nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk melindungi pekerja, masyarkat dan lingkungan hidup, yang dilakukan melalui upaya pertahanan yang efektif terhadap timbulnya bahaya radiasi di instalasi nuklir.”  (pasal 2, ayat 3).

Pada tahun-tahun sebelumnya, pemerintah juga sudah mengeluarkan berbagai peraturan, diantaranya PP No. 26 Tahun 2002 tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif, PP No. 27 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif, PP No. 43 Tahun 2006 tentang Perizinan Reaktor Nuklir, PP No. 33 Tahun 2007 tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif, PP No. 29 Tahun 2008 tentang Perizinan Sumber Radiasi Pengion dan Bahan Nuklir, PP No.46 Tahun 2009 tentang Batas Pertanggungjawaban Kerugian Nuklir. (sumber: Republika 8 Desember 2012).

Peraturan ini (PP No 61, tahun 2013 maupun PP No 54, tahun 2012) memang tidak berarti Indonesia akan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dalam waktu dekat, namun tentu saja memberikan kerangka hukum bagi negara untuk melakukan itu.

Beberapa elemen masyarakat, termasuk organisasi Muslim terbesar Nahdlatul Ulama (NU), telah menolak pengembangan energi nuklir menyusul rencana pemerintah membangun PLTN di Muria serta Belitung. Ulama-ulama di Jepara, Jawa Tengah bahkan menyatakan rencana pengembangan 1,000 MW PLTN di Muria, Jepara, Jawa Tengah sebagai sesuatu yang ‘haram’ (forbidden).

Indonesia memang seharusnya mempertimbangkan secara serius untuk membatalkan rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir karena Indonesia berada di kawasan cincin api (Ring of Fire) dengan tingkat frekuensi ancaman gempa yang tinggi yang disebabkan oleh letusan gunung api maupun akibat pergeseran lempeng bumi (gempa tektonik). Bila Indonesia membangun PLTN, bisa saja Indonesia mengalami apa yang terjadi di Fukushima, Jepang dan tentu akan menciptakan penderitaan berkepanjangan bagi penduduk Indonesia yang berjumlah 240 juta jiwa ini.

Beberapa negara sedang berusaha mengurangi pemanfaatan energi nuklir seperti Jepang, Korea Selatan, dan beberapa negara Eropa dan Amerika Utara. Malaysia juga sedang mempertimbangkan untuk membatalkan pengembangan energi nuklir. Sebuah ironi bila Indonesia justru melangkah maju untuk merealisasikan pemanfaatan energi nuklir.

Simulasi pelumpuhan serangan teroris di Batan
Peraturan tersebut diterbitkan saat Indonesia sedang berjuang untuk menciptakan keamanan energi (energy security). Seperti yang diberitakan oleh berbagai media, beberapa wilayah mengalami pemadaman seperti Sumatera Utara, beberapa tempat di Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Pemadaman listrik dan krisis energi bisa saja menjadi ancaman nyata dalam beberapa tahun kedepan dan dapat menghambat laju perekonomian Indonesia.

Pertanyaan bagi Indonesia adalah dengan melihat dan mempertimbangkan berbagai risiko diatas, terutama ancaman gempa dan bahaya bagi lingkungan dan manusia, apakah mendesak bagi Indonesia untuk memanfaatkan energi nuklir? Ataukah Indonesia mengembangkan energi fosil dan non-fosil (energi baru dan terbarukan) seperti panas bumi, hydropower, bio-fuel, dll? Jawabannya, fokus pada pengembangan energi fosil (minyak dan gas bumi) dan non-fosil (baru dan terbarukan).

Indonesia bersyukur dianugerahi berbagai sumber energi yang masih bisa dikembangkan lebih lanjut. Untuk gas bumi, misalnya, potensi cadangan masih ada, hanya tinggal pemerintah mendorong investasi untuk eksplorasi agar cadangan meningkat. Cadangan minyak dan gas yang meningkat, disamping mendiversifikasi energi ke energi baru dan terbarukan, jelas akan menjamin keamanan energi bagi anak-cucu kita dimasa datang. Bukan mengembangkan energi nuklir, yang ancaman bahayanya jauh lebih besar dibanding manfaatnya. (*)

Oleh Rachmat Dharmawan, peneliti di sebuah lembaga riset energi, eksekutif di sebuah perusahaan migas

Sunday 20 October 2013

Kontrak Blok Mahakam dari Perspektif Pekerja



Salah Satu Fasilitas Produksi Blok Mahakam
Kontrak pengelolaan Blok Mahakam oleh Total E&P Indonesie, yang bermitra dengan Inpex Corporation akan berakhir pertengahan tahun 2017.  Operator telah mengajukan perpanjangan tahun 2007 lalu, namun, hingga saat ini pemerintah Indonesia belum membuat keputusan, apakah diperpanjang, tidak diperpanjang atau memilih skema baru dengan melibatkan operator lama (Total E&P Indonesie beserta Inpex). Persoalan yang terkadang luput dari perhatian adalah nasib pekerja sebuah blok migas. Demikian juga dengan pekerja Blok Mahakam yang berjumlah sekitar 3,000-an. Tidak hanya itu, masih ada sekitar 22,000 pekerja yang secara tidak langsung bergantung pada Blok Mahakam.

Peran pekerja tidak dapat dianggap sepele. Mereka merupakan aset yang tak ternilai. Ini berlaku juga bagi Blok Mahakam. Kesinambungan operasional Blok Mahakam selama 40 tahun tidak terlepas dari peran pekerja blok tersebut, mulai dari level paling bawah hingga level paling atas. Maka wajar bila aspirasi pekerja patut diperhatikan oleh pemerintah bila ingin mempertahankan kelanjutan operasional Blok Mahakam pasca 2017.

Menarik untuk diamati bagaimana aspirasi para pekerja sebuah blok minyak dan gas (migas) yang kontraknya akan segera berhasil. Dalama beberapa bulan terakhir, sudah mulai muncul kepermukaan aspirasi para pekerja Blok Mahakam. Salah satu pesan yang muncul adalah mereka ingin pemerintah segera membuat keputusan. Ini terlihat dari berita-berita di berbagai media, blog atau milis-milias migas yang cukup banyak beredar di dunia maya. Salah satu blog yang muncul adalah 'Seputar Blok Mahakam'. Tema tulisan bervariasi, ada yang terkait langsung dengan kontrak Blok Mahakam, tapi ada juga isu-isu lain seperti soal keselamatan kerja di industri migas, kasus gratifikasi di SKK Migas.

Tulisan yang terkait kontrak pengelolaan Blok Mahakam diantaranya: Kontrak Blok Mahakam Diperpanjang atau Tidak? Karyawan Harap-Harap Cemas Menanti Keputusan pemerintah soal Blok Mahakam, Menanti Keputusan Pemerintah Terkait Kontrak Blok Mahakam'.

"Sebagai pekerja migas di Blok Mahakam, tentu sangat berharap pemerintah akan segera membuat keputusan terkait hak pengelolaan Blok Mahakam pasca 2017. Idealnya, keputusan perpanjangan atau tidak dilakukan paling lambat 5 tahun sebelum kontrak berakhir. Artinya, idealnya, keputusan kontrak Blok Mahakam sudah diputuskan tahun lalu. Namun, hingga saat ini, pemerintah belum membuat keputusan," demikian catatan pekerja tersebut yang termuat dalam blognya, Seputar Blok Mahakam.

“Karena itu, sebagai pekerja migas di Blok Mahakam kita berharap pemerintah akan segera membuat keputusan terkait kontrak Blok Mahakam. Tahun 2013 adalah tahun yang tepat bagi pemerintah untuk membuat keputusan. Bila keputusan tahun ini, maka operator memiliki waktu untuk membuat perencanaan investasi kedepan. Semakin lambat pemerintah membuat keputusan semakin tinggi tingkat risiko karena produksi bisa terganggu dan menurun,” lanjutnya.

Membaca tulisan-tulisan di blog tersebut dan juga milis-milis pekerja migas, muncul kegalauan para pekerja karena nasib mereka digantung oleh pemerintah. Semakin lama pemerintah menunda keputusan, semakin tinggi tingkat kegalauan mereka dan semakin besar risiko bagi operasional blok tersebut karena bisa saja pekerja akan minggat. Akibatnya, operasional blok terganggu dan berujung pada terganggunya kontribusi pendapatan bagi negara.

Rupanya bukan cuma Blok Mahakam saja yang terkena virus ‘NTT’ (nasib tidak tentu). Yang lebih mengkhawatirkan adalah kontrak blok Siak yang kontraknya akan berakhir pada November 2013. Pemerintah melalui kementerian ESDM hingga saat ini belum membuat keputusan. Tentu ini dapat berdampak pada penutupan operasional blok tersebut karena operator (CPI) tak mau dianggap sebagai operator ilegal di blok Siak tersebut.

Ini hanya beberapa contoh. Selain Blok Siak, Blok Mahakam, masih ada sekitar 4 blok migas lagi yang kontraknya akan berakhir dalam beberapa tahun kedepan. Blok Siak dan Blok Mahakam memang tidak bisa disamakan karena produksi minyak Blok Siak tergolong kecil, sekitar 2,000-an barel minyak per hari. Sementara Blok Mahakam termasuk blok raksasa, namun kondisinya sudah tergolong tua (ageing) karena terlah berproduksi sekitar 40 tahun. Kontrak yang sekarang telah diperpanjang tahun 1997 oleh pemerintah dan Pertamina.

Berbeda dengan blok-blok kecil lainnya, kontrak Blok Mahakam pasca 2017, idealnya ditentukan oleh pemerintah jauh-jauh hari. Para pekerja Blok Mahakam tampaknya meningingkan kontrak dapat diputuskan tahun 2013 ini. Bila ditunda lagi ke tahun 2014, dikhawatirkan sulit bagi pemerintah untuk membuat keputusan karena pemerintah sudah fokus pada pemilihan umum. 

Bila diserahkan ke pemerintahan baru hasil Pemilu 2014, kemungkinan ditunda lagi karena pemerintah baru membutuhkan waktu lagi untuk mempelajarinya. Semakin lama pemerintah menunda, tingkat risiko semakin tinggi. Tidak hanya nasib pekerja Blok Mahakam yang semakin tidak menentu atau Nasib Tidak Tentu (NTT), tapi juga risiko terganggu-nya produksi bisa terjadi karena bisa saja sebagian pekerja lebih memilih bekerja di tempat lain yang lebih memberi mereka kepastian, apalagi bila diiming-imingi kompensasi yang bagus. Mudah-mudahan apa yang telah diharapkan oleh para pekerja Blok Mahakam menjadi perhatian serius bagi pemerintah untuk segera mengambil keputusan. (*)

Wednesday 9 October 2013

Nasionalisasi Migas dan Ketahanan Energi Indonesia

Untuk memajukan industri minyak dan gas bumi (Migas), Indonesia tidak perlu melakukan nasionalisasi industri migas. Yang dibutuhkan adalah bergandengan tangan dan sharing risk dalam memajukan industri migas nasional agar ketahanan energi (energy security) tercapai. Gerakan anti-asing atau nasionalisasi dapat menjadi bumerang dan akan merugikan Indonesia sendiri.

==============

Isu ketahanan energi tidak pernah pudar. Pasalnya, energi sangat vital bagi rumah tangga, industri dan perekonomian dalam skala luas. Energi dibutuhkan dalam rumah tangga dalam bentuk energi listrik dan bentuk lainnya. Industri memerlukan energi untuk menggerakan roda usaha. Kita tidak bisa membayangkan bila tidak ada energi, bisa-bisa ekonomi lumpuh dan mengalami shutdown. Karena itu penting untuk menjaga kesinambungan ketersedian energi, baik dalam bentuk minyak, gas bumi atau listrik atau bentuk derivatifnya.

Indonesia beruntung karena tersedia berbagai jenis sumber daya energi yang dapat dimanfaatkan, mulai dari minyak, gas bumi, listri, panas bumi maupun berbagai bentuk energi baru dan terbarukan.  Tidak banyak negara di dunia yang memiliki sumber daya energi selengkap Indonesia. Namun harus diakui, ketersediaan energi terbatas khususnya sumber energi fosil, seperti minyak bumi. Cadangan minyak Indonesia terus menurun yang berujung pada penurunan produksi. Produksi gas bumi stabil tapi berpotensi menurun dimasa mendatang.

Agar produksi minyak bumi tidak turun drastis dan gas bumi tidak menurun diperlukan investasi. Investasi diperlukan untuk meningkatkan produksi dari cadangan yang ada. Investasi juga dibutuhkan untuk meningkatkan cadangan minyak dan gas bumi. Investasi diperlukan untuk menjamin ketersediaan berbagai bentuk jenis sumber energi yang dibutuhkan oleh bangsa ini saat ini maupun dimasa mendatang.

Investasi diperlukan untuk memenuhi kebutuhan energi bagi anak cucu kita. Energi yang dikonsumsi saat ini merupakan hasil investasi dan kerja keras para pendahulu. Maka sewajarnya generasi sekarang berinvestasi untuk eksplorasi untuk memenuhi kebutuhan energi dimasa mendatang.
 
Pertanyaannya, darimana datangnya investasi. Investasi bisa datang dari perusahaan atau investor dari dalam negeri tapi juga dari luar negeri atau perusahaan-perusahaan multi nasional. Tapi mengapa tidak banyak perusahaan nasional yang berani berinvestasi untuk mencari cadangan minyak dan gas bumi? Tidak banyak perusahaan nasional gas yang masuk ke industri migas, untuk mencari minyak dan gas bumi. Jumlah perusahaan migas nasional masih dalam proses perkembangan. Kita sejauh ini hanya mengenal Pertamina, Medco Energi, Energi Mega Persada dan beberapa perusahaan lainnya. Karena itu, kita tidak bisa mengandalkan perusahaan dalam negeri untuk berinvestasi. Indonesia juga membutuhkan investasi asing dan perusahaan migas multinasional untuk berinvestasi di sektor migas, khususnya eksplorasi.

Ada banyak alasan mengapa perusahaan nasional migas tidak banyak. Salah satu alasan adalah industri migas membutuhkan capital yang besar dan teknologi yang tinggi. Disamping itu, tingkat risiko investasi di sektor migas, khususnya untuk eksplorasi tergolong tinggi, karena tingkat kesuksesan menemukan cadangan hanya berkisar 10-20 persen. Lebih sering kita mendengar perusahaan migas tidak menemukan apa-apa atau dryhole. Artinya, uang terbuang begitu saja. Hanya perusahaan migas besar yang mampu menyerap risko kerugian tersebut. 

Karena itu, secara realitas Indonesia masih membutuhkan kehadiran perusahaan multinasional (MNC) migas di Indonesia. Pemerintah, seperti yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Bali dalam forum APEC awal minggu ini menyatakan komtimen Indonesia untuk membuka pintu bagi investasi asing. Indonesia membutuhkan Rp10.000 triliun investasi dalam beberapa tahun mendatang, baik untuk infrastruktur maupun di industri-industri lainnya.

Untuk mendorong investasi di sektor migas, pemerintah perlu membereskan berbagai hambatan birokrasi, khususnya perizinan. Pemerintah sendiri sudah berkomitmen untuk memangkas berbagai persyaratan agar perizinan lebih efisien dan cepat. Berbagai hambatan non-teknis lainya masih perlu dihilangkan.

Di tengah upaya pemerintah mengundang investasi, muncul upaya sekelompok elemen masyarakat untuk menasionalisasi industri migas. Tidak begitu jelas apa yang dimaksudkan dengan nasionalisasi migas. Bentuknya seperti apa juga tidak dijelaskan. Lebih kepada upaya untuk mencari simpati publik, yang dibutuhkan jelang Pemilihan Umum 2014. Isu nasionalisasi memang dapat menjual. Tapi lebih sering gerakan nasionalisasi ini dimotori oleh politisi-politisi yang tentu memiliki kepentingan tersendiri.

Kemurnian gerakan nasionalisasi industri migas juga baru-baru ini menghadapi pukulan berat karena salah satu tokoh dibalik itu, Akil Mochtar, Ketua Mahkamah Konstitusi, terlibat skandal korupsi. Akil Mochtar bersama Mahfud MD adalah dua hakim agung MK yang tergolong sangat getol meng-almarhumkan BPMIGAS. Pembubaran BPMIGAS, bagi sebagian pengamat, dianggap sebagai kecelakaan sejarah karena proses pengadilan atau judicial review tampak seperti disetting. 

Para saksi yang bersaksi juga sudah disetting untuk mendukung pembubaran. Pembubaran BPMIGAS merupakan salah satu langkah awal menasionalisasi industri migas. Bisa saja saat itu, ratusan perusahaan migas menggugat pemerintah Indonesia karena kontrak yang telah dibuat selama 10 tahun antara perusahaan migas MNC dan Indonesia menjadi tidak berlaku. Ancaman kevakuman sempat mengguncang industri migas. Namun, gugatan masif ke pemeritnah terhindarkan setelah pemerintah membentuk SKK MIGAS. Kontrak migas tetap tetap berlaku. 

Sebagai negara demokrasi, perbedaan pendapat boleh-boleh saja. Namun, hukum harus menjadi pegangan bersama. Tanpa adanya kepatuhan pada hukum, industri migas bisa kaos. Karena itu, pemerintah tetap dituntut untuk menjaga kepentingan yang lebih besar, yakni kepentingan negara dan bangsa di atas kepentingan kelompok. Gerakan nasionalisasi yang sporadis bisa jadi disponsori oleh pihak-pihak tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Pemerintah tetap harus menjaga kepentingan bangsa dan negara harus menjadi pegangan utama.

Ketahanan energi dan investasi adalah ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Agar Indonesia memiliki ketahanan energi, Indonesia membutuhkan investasi untuk mengembangkan berbagai sumber energi, seperti minyak, gas bumi, panas bumi, dan energi baru dan terbarukan. Kehadiran perusahaan-perusahaan migas multinasional dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan industri migas.

Karena itu, kita menyambut baik rencana beberapa perusahaan migas besar seperti Inpex untuk mengembangkan blok Masela di laut Arafura. Rencana BP untuk mengembangkan dan membangun train 3 di BPTangguh perlu didukung. Rencana Total E&P Indonesie untuk berinvestasi US$7,3 miliar di Blok Mahakam, bila pemerintah, mempertahankan kehadiran Total E&P Indonesie dan Inpex di Blok Mahakam juga perlu didukung. Pada saat yang sama, perusahaan migas nasional perlu didukung agar terus berkembang.

Untuk memajukan industri migas, Indonesia tidak perlu menasionalisasi industri migas. Yang dibutuhkan adalah bergandengan tangan dan sharing risk dalam memajukan industri migas nasional. Gerakan anti-asing atau nasionalisasi dapat menjadi bumerang dan akan merugikan Indonesia sendiri.  Indonesia dapat mencontohi negara-negara Asia Timur seperti Jepang, Korea Selatan maupun China. Industri negara-negara itu maju cukup pesat dalam dekade terakhir. Mereka tidak anti-asing, tapi mereka justru berguru sehingga suatu saat malah melebihi guru-nya. Itu juga yang dilakukan oleh Petronas Malaysia. Indonesia, khususnya, Pertamina perlu bergerak lebih agresif lagi untuk maju, tidak berlindung dibawah ketiak pemerintah. Pemerintah dan berbagai elit politik juga harus membiarkan Pertamina bergerak lincah, tidak dipasung oleh kepentingan kelompoknya. (*)