Monday 30 September 2013

Pajak Eksplorasi Migas Hambat Investasi



Fasilitas produksi BP Tangguh
Salah satu cara untuk mendorong kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi di Indonesia adalah dengan memberikan insentif fiskal. Namun, yang terjadi saat ini adalah dis-insentif fiskal berupa pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dalam kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi (Migas).

Pengenaan pajak pada kegiatan eksplorasi migas dinilai pelaku industri migas menjadi salah satu biang keladi rendahnya tingkat investasi pada kegiatan eksplorasi atau pencarian ladang minyak dan gas bumi di Indonesia. 


Presiden Indonesia Petroleum Association (IPA) Lukman Mahfoedz dalam keterangan tertulisnnya mengatakan pengenaan pajak tersebut dinilai tidak sejalan dengan keinginan pemerintah menggiatkan aktivitas ekplorasi di Tanah Air. Karena itu, ia meminta pemeirntah untuk meninjau kembali PBB di kegiatan eksplorasi. Tujuan penghapusannya adalah untuk meningkatkan iklim investasi dan situasi yang kondusif serta untuk mendorong pengusaha hulu migas agar lebih aktif lagi, terutama ekplorasi di lepas pantai dan frontier area.


Logikanya sebetulny sederhana. Kegiatan eksplorasi adalah kegiatan pencarian minyak dan gas bumi. Kegiatan eksplorasi bisa berhasil menemukan cadangan minyak dan gas yang cukup untuk diproduksi, tapi bisa juga gagal menemukan cadangan minyak dan gas. Bagi pelaku industri, kegiatan eksplorasi dipandang sebagai investasi, bila berhasil menemukan akan menghasilkan return yang tinggi. Namun, bila gagal menemukan cadangan migas, maka investasi tersebut dinilai gagal.

Pengalaman pelaku industri migas saat ini, dalam kegiatan eksplorasi migas, tingkat keberhasilannya adalah sekitar 10-20 percent. Artinya kemungkinan gagal lebih besar kemungkinan “berhasil” menemukan cadangan minyak. Pada tahun 2011, misalnya, perusahaan-perusahan migas eksplorasi mencatat sekitar US$800 juga dianggap investasi yang hilang karena tidak menemukan cadangan migas.

Kegiatan eksplorasi migas memang seharusnya dianggap sebagai investasi, karena itu wajar bila pelaku industri migas meminta pemerintah untuk menghapus pengenaan pajak dan bumi (PBB) pada kegiatan eksplorasi migas. Saat ini merupakan momen tepat untuk menghapus pajak PBB pada kegiatan eksplorasi migas.

Perhitungan dan pengenaan PBB tersebut berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 79/2010. Berdasarkan peraturan itu, perusahaan-perusahaan migas diwajibkan untuk membayar PBB dengan memperhitungkan seluruh luas wilyah kerja lepas pantai walaupun belum dimanfaatkan seluruhnya. Itu memberatkan mengingat ukuran dan besaran blok eksplorasi mencapai ribuan kilometer persegi.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP), lanjut Lukman, akhir Juni 2013 lalu mengeluarkan tagihan PBB untuk tahun 2012 dan 2013 mencapai total sebesar Rp2,6 triliun kepada 15 perusahaan hulu migas yang mengoperasikan 20 blok eksplorasi lepas pantai. Besaran PBB berkisar antara Rp40 miliar hingga Rp190 miliar per blok. Jumlah ini bahkan melebihi anggaran kegiatan ekplorasi di blok itu sendiri. “Sulit bagi pengusaha migas membayar PBB tersebut, padahal eksplorasi belum tentu berhasil. Kemudian, kalaupun berhasil, area yang dimanfaatkan juga hanya sebagian kecil dari wilayah tersebut,” jelasnya. 

Pada konteks ini kita mendukung langkah IPA untuk menyurati Direktor General Perpajakan (Dirjen Pajak) untuk menghapus pengenaan PBB pada perusahaan ekplorasi minyak dan gas bumi.

Kementerian ESDM tampaknya mendukung langkah IPA untuk meminta pemerintah untuk merevisi penetapan Pajak Bumi dan Bagungan dalam kegiaan eksplorasi. Dukungan tersebut tercermin pada pernyataan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Susilo Siswo Utomo Jumat lalgu.    

Publik, khususnya pelaku industri migas, tentu berharap agar permintaan penghapusan PBB eksplorasi migas dihapuskan saja. Pemerintah memang akan rugi dalam jangka pendek karena kehilangan sumber pajak tapi akan mendapat manfaat berkali lipat dalam jangka menengah panjang.  Beberapa perusahaan migas baik yang besar maupun kecil sedang giat-giatnya melakukan eksplorasi migas. Perusahaan-perusahaan minyak besar yang sudah besar seperti Total E&P Indonesie, BP, Chevron tentu akan terdorong untuk meningkatkan kegiatan eksplorasi. Perusahaan-perusahaan yang sedang naik daun seperti Niko Resources, yang saat ini fokus di laut dalam, tentu juga akan meningkatkan investasi mereka. 

Tugas pemerintah adalah menciptakan iklim investasi yang positif sehingga investor, baik lokal maupun asing terdorong untuk meningkatkan investasi pada kegiatan eksplorasi. (*)
 


Wednesday 18 September 2013

Ekonomi Indonesia, Investasi dan Kedatangan CEO Inpex

CEO Inpex Toshiaki Kitamura & Presiden SBY
Ekonomi Indonesia saat ini bisa diibaratkan dengan sebuah kapal yang sedang berlayar di tengah samudera. Hantaman gelombang, hujan dan badai silih berganti. Namun kapal terus melaju. Ekonomi Indonesia kembali dihantam badai seperti yang terlihat dari gejolak mata uang rupiah walaupun dalam beberapa hari ini sudah mulai reda, terlihat dari mulai berkurangnya fluktuasi rupiah terhadap dolar AS.

Saat gelombang tinggi menghantam dinding-dinding kapal, penting bagi sang nakoda untuk menjaga keseimbangan kapal agar terus berjalan dan melaju. Demikian juga dengan ekonomi Indonesia. Saat gejolak ekonomi terjadi, penting bagi sang nahkoda, dalam hal ini pemerintah dan secara khusus Presiden, memastikan kapal terus bergerak maju. Kegiatan ekonomi tetap harus bergerak walaupun penyesuaian dilakukan disana-sini.

Salah satu penyebab melemahnya rupiah dalam beberapa minggu terakhir adalah ketidakseimbangan arus ekspor dan impor, yang tercermin pada melebarnya defisit perdagangan. Impor lebih banyak dibanding arus ekspor. Salah satu penyumbang tingginya impor adalah produk minyak untuk memenuhi permintaan dalam negeri.

Konsekuensinya, kebutuhan dolar untuk mengimpor barang lebih tinggi, sementara hasil devisa dari mengekspor berkurang. Akibat lanjutnya, rupiah melemah terhadap mata uang dolar AS.

Di tengah potret ekonomi di atas, penting bagi pemerintah untuk mendorong masuknya investasi asing. Investasi, baik investasi dari dalam negeri maupun asing, merupakan salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi. Maka untuk memastikan kapal ekonomi yang bernama Indonesia tetap melaju, maka sangat vital bagi pemerintah untuk memastikan arus investasi tetap masuk di Indonesia.

Dalam konteks ini, berita kedatangan CEO perusahaan raksasa minyak dan gas asal Jepang Inpex Corporation Toshiaki Kitamura di Indonesia pada hari Rabu (18/9) tentu memiliki arti penting. Pertama, Indonesia menyambut baik setiap rencana investasi apalagi untuk proyek-proyek besar yang akan dapat menciptakan multi-plier effect seperti proyek pengembangan Blok Masela atau keinginan Inpex untuk tetap melanjutkan investasi di Blok Mahakam, bersama mitranya Total E&P Indonesie. Tentu saja dengan catatan pemerintah memperpanjang atau membuat skema baru seperti joint-operation dalam pengembangan Blok Mahakam kedepan.


Maket FLNG Lapangan Abadi, Blok Masela
Kedatangan CEO Inpex dan komitmen Inpex Corp untuk terus melanjutkan pengembangan proyek Blok Masela (dan Blok Mahakam), walaupun sedang terjadi gejolak ekonomi dunia memberi sinyal ke dunia luar bahwa kegiatan investasi di Indonesia masih terus berlangsung. Bahwa Indonesia mendorong masuknya investasi, khususnya di sektor minyak dan gas bumi.

Kedua, kedatangan CEO Inpex dan kelanjutan proyek Blok Masela akan menjadi sinyal penting sejauh mana komitmen pemerintah Indonesia dalam mendorong aktivitas investasi di Tanah Air. Selama ini banyak keluhan terkait rumitnya prosedur birokrasi di Indonesia. Bagi sebagian orang, berinvestasi di Indonesia sama halnya masuk ke hutan Rimba. Anda mungkin tahu tujuan Anda, tapi tidak pernah tahu dengan pasti jalan mana yang harus dilewati dan dimana harus berhenti dan kapan akan tiba di tempat tujuan.  

Ruwetnya prosedur investasi, perizinan, peraturan tentu akan berdampak pada realisasi investasi. Hal ini juga telah dikeluhkan oleh pelaku atau pemain di industri minyak dan gas bumi atau juga sektor-sektor lain. Karena itu, penting bagi pemerintah untuk melakukan terobosan untuk membuat prosedur investasi lebih efektif, efisien dan jelas (predictable).

Investasi Inpex di Indonesia memang tidak banyak diberitakan di media-media. Namun, perusahaan raksasa migas Jepang ini telah membenamkan investasi yang cukup besar di Indonesia. Tercatat, perusahaan in telah berinvestasi sekitar US$21 miliar di Indonesia sejak 1966 melalui berbagai anak perusahaannya, Inpex Natuna, Inpex Jawa, Inpex Sumatra, Inpex Masela, MI Berau B.V., dan Inpex Offshore Northeast Mahakam, Ltd.

Di Blok Mahakam, Inpex menjadi mitra non-operator Total E&P Indonesie dalam mengembangkan blok tersebut yang kontraknya akan berakhir 2017. Saat ini pemerintah sedang mengevaluasi permintaan Inpex dan Total E&P Indonesie untuk melanjutkan investasi di Blok Mahakam. Pertamina telah mengajukan keinginannya untuk terlibat dalam pengembangan blok tersebut. Kita berharap pemerintah akan segera mengambil keputusan terbaik, dengan mempertimbangkan segala aspek teknis dan non-teknis pengembangan blok itu kedepan.

Lokasi proyek Blok Masela
Proyek raksasa yang sedang dikembangkan Inpex tentu saja Blok Masela. Untuk tahap awal, Inpex bersama mitra barunya Shell, akan mengembangkan lapangan Abadi dengan kapasitas 2.5 juta ton gas alam per tahun (MTPA). Menariknya, gas tidak diproduksi melalui fasilitas onshore seperti proyek BP di Tangguh atau blok Mahakam. Untuk proyek Masela, gas akan diproses di fasilitas kapal terapung atau Floating LNG (FLNG). Proyek FLNG ini akan menjadi yang tertama di Indonesia, dan kemungkinan kedua setelah Australia yang berencana memulai produksi FLNG-nya pada tahun 2017.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika menyambut kedatangan CEO Inpex mengatakan bahwa proyek-proyek minyak dan gas yang dikembangkan Inpex harus memberikan manfaat yang besar bagi Indonesia. Keuntungan tentu saja tidak saja dalam bentuk kontribusi pendapatan ke pemerintah tapi juga bagi industri-industri pendukung maupun ekonomi lokal. Kehadiran sebuah proyek raksasa seperti Blok Masela tentu akan membuka peluang bagi perusahaan-perusahaan untuk menyuplai kebutuhan pengembangan blok tersebut.

Pada masa lalu, memang sebagian besar produk untuk proyek-proyek migas diimpor. Tapi sejak ada peraturan TKDN (tingkat komponen dalam negeri), perusahaan-perusahaan migas diwajibkan untuk menggunakan produk dalam negeri, kecuali ada barang-barang tertentu yang tidak dipenuhi dri dalam negeri. 

Kelanjutan proyek Masela dan komitmen investasi Inpex di Blok Masela dan Blok Mahakam akan dilihat sebagai salah satu tolok ukur keberhasilan pengembangan industri migas di Tanah Air. Dalam kondisi ekonomi Indonesia yang sedang bergejolak, penting untuk memastikan  investasi terus berjalan, khususnya di industri migas. (*)

* * * 
Oleh Rachmat Dharmawan
Pekerja industri minyak dan gas bumi.

Tuesday 10 September 2013

Kontroversi Cost Recovery di Industri Minyak dan Gas Bumi di Indonesia


Kontroversi soal cost recovery di industri minyak dan gas bumi di Indonesia tampaknya selalu menjadi perhatian. Isu ini kembali mencuat setelah Ketua Kadin Kamar Dagang dna Industri (Kadin) Suryo Bambang Sulistio menyampaikan kekecewaannya bahwa cost recovery selama ini justru lebih banyak dinikmai investor asing.

Kontroversi cost recovery pernah ramai menjadi headlines beberapa tahun silam. Banyak pihak yang mempertanyakan elemen biaya dalam cost recovery, yang disusul dengan perbaikan peraturan. Kini implementasi cost recovery sudah dilakukan dengan ketat. Tidak mudah bagi SKK Migas atau pemerintah untuk mengeluarkan biaya cost recovery karena biaya yang dibayarkan kembali harus melalui audit terlebih dahulu dan harus sesuai dengan Work Program.

Yang menarik perhatian dari pernyataan Ketua Kadin tersebut bukan soal elemen dari cost recovery yang dikembalikan oleh pemerintah kepada perusahaan migas. Tetapi pernyataan dia yang menyebutkan “cost recovery selama ini justru lebih banyak dinikmati investor asing”.

Kenyataannya memang biaya pengembalian investasi atau cost recovery memang mayoritas dikembalikan ke perusahaan asing. Fakta ini menunjukkan bahwa memang investor asing selama ini banyak melakukan investasi untuk eksplorasi untuk mendapatkan lapangan minyak dan gas baru.

Fakta ini juga menunjukkan bahwa investor migas besar, yang kebetulan kebanyakan perusahaan asing, berani mengambil risiko untuk berinvestasi mencari minyak dan gas baru. Dan eksplorasi migas tidak selalu berhasil. Sebagian besar investasi untuk mencari migas tidak berhasil. Kita saksikan dan telah cukup banyak diberitakan sebagian besar eksplorasi yang dilakukan gagal menemukan cadangan minyk dan gas yang layak untuk dikembangkan lebih lanjut untuk dieksplorasi atau dryhole.

Menurut data SKK Migas, tahun 2011 saja, sekitar US$800 juta investasi perusahaan migas yang terbakar alias terbuang begitu saja karena gagal menemukan cadangan minyak dan gas. Dan bila gagal, maka perusahaan migas atau investor, baik lokal maupun asing, tidak bisa mengklaim biaya yang telah mereka keluarkan.

Sesuai dengan peraturan yang ada, biaya pengembalian investasi, hanya bisa dikembalikan bila eksplorasi migas berhasil. Pengembalian biaya tersebut dialokasikan oleh pemerintah dari hasil produksi minyak dan gas.

Pernyataan ketua Kadin tersebut harus dilihat dari dua sisi, bahwa sebagian besar biaya cost recovery diterima perusahaan asing. Tapi juga dilihat dari sisi lain, bahwa sebagian besar investasi di hulu migas untuk kegiatan eksplorasi lebih banyak dilakukan oleh perusahaan asing, dibanding perusahaan migas lokal. Hal ini bisa dipahami mengingat kegiatan eksplorasi berisiko tinggi. Tingkat kesuksesan mendapatkan cadangan minyak dan gas hanya berkisar antara 10-20 persen. 

Karena itu bisa dipahami pula kenapa perbankan nasional belum berani mengeluarkan pinjaman untuk kegiatan eksplorasi. Tingkat risikonya terlalu tinggi. Hanya perusahaan-perusahaan migas besar seperti Niko Resources, BP, Total EP Indonesia, ExxonMobile, Chevron, yang berani mengambil risiko. 
Pengembalian biaya cost recovery dilakukan melalui mekanisme pre-audit -- plan of development (POD), work plan & budget (WP &B), pengadaan barang dan jasa – current audit dan post audit bersama BPKP, Ditjen Migas dan BPK.
Wajar bila terkadang terjadi perbedaan persepsi mengenai elemen cost karena kemungkinan perbedaan interpretasi terhadap peraturan yang terjadi. Karena itu, yang perlu dilakukan kedepan adalah membuat aturan yang pasti dan jelas terkait cost recovery sehingga tidak isu kontroversial, yang justru menjadi bumerang.
Isu lain yang sering dipersoalkan adalah menginkatnya angka cost-recovery, padahal produksi minyak menurun. Namun, sebetulnya, bila kita melihat lebih lanjut, produksi gas masih menggemberikan. Lalu mengapa cost recovery naik? Berdasarkan observerasi dan perbincangan dengan berbagai pelaku bisnis migas, meningkatnya biaya atau cost recovery karena biaya eksplorasi juga meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Kini, sebagian eksplorasi dilakukan di lepas pantai (offshore) dan bahkan sebagian lagi dilakukan di laut dalam (deepwater). Belum lagi biaya-biaya lain-lain terkait aktivitas eksplorasi meningkat.
Meningkatnya biaya cost recovery dan bahwa sebagian besar cost recovery dibayarkan ke perusahaan multiniasional, sebetulnya tidak menjadi persoalan karena hal itu mencerminkan tingkat investasi minyak dan gas yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan migas atau investor migas.
Yang perlu dilakukan adalah membuat peraturan yang jelas dan pasti dan memonitor implementasi peraturan tersebut. Kedua, cost recovery harus dipandang sebagai pengembalian biaya investasi, bukan sebagai cost semata. Dengan adanya peraturan yang jelas dan pasti, investor akan lebih mudah membuat kalkulasi pengembalian investasi yang mereka lakukan serta risiko yang akan terjadi.
Yang menjadi isu penting di industri migas saat ini adalah investasi. Produksi minyak kita terus menurun, gas masih cenderung meningkat tapi bisa menurun dalam beberapa tahun kedepan bila tidak diimbangi dengan investasi mencari ladang migas baru. Indonesia membutuhkan investasi besar untuk eksplorasi minyak dan gas agar cadangan migas naik. Bila cadangan migas naik, otomatis kita boleh berharap produksi dapat kembali meningkat.
Pemerintah perlu mendorong perusahaan-perusahaan besar seperti BP, ExxonMobil, Total E&P Indonesia dan perusahaan-perusahaan migas lainnya untuk meningkatkan investasi mereka baik untuk kegiatan eksplorasi maupun untuk meningkatkan produksi migas dari lapangan yang ada. 

Pada konteks ini, kita menyambut baik rencana investasi perusahaan-perusahaan migas international untuk meningkatkan investasi mereka di Indonesia, termasuk rencana Total E&P untuk berinvestasi US$7,3 miliar investasi di blok tua, Blok Mahakam, dalam 5 tahun dengan catatan perusahaan tersebut masih dilibatkan dalam pengelolaan blok tersebut. Blok ini sudah dieksplorasi sekitar 70%. Masih ada 30% cadangan yang masih bisa diproduksi. Namun itu tidak mudah karena membutuhkan investasi besar dan teknologi tinggi untuk mengangkat migas dari perut bumi.  (*)

Monday 2 September 2013

Keamanan Energi, Kepentingan Nasional dan Nasionalisasi



Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ir Susilo Siswoutomo saat diangkat menjadi diberitugas oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono untuk melakukan segala upaya memastikan keamanan energi (energy security) di negara berpenduduk 240 juta jiwa ini.

Ketika dilantik awal tahun ini, Presiden SBY mengatakan bahwa kebutuhan energi di Indonesia semakin meningkat tajam, baik listrik maupun bahan bakar minyak dan bahan bakar gas. Maka itu, diperlukan kebijakan dan manajemen yang tepat untuk memastikan kebutuhan tersebut terpenuhi.

Presiden berharap Kementerian ESDM dan SKK Migas dapat memainkan perannya secara maksimal, termasuk di bidang pengawasan sektor minyak dan gas, serta untuk memenuhi target produksi (lifting) minyak dan gas dalam negeri.

Negara-negara besar seperti Amerika atau negara-negara Asia Timur, energy security merupakan hal yang strategis. Energi dibutuhkan oleh industri-industri agar aktivitas produksi tidak terganggu. Energi dibutuhkan berupa listrik maupun minyak atau gas. Tanpa energi atau bila terjadi gangguan terhadap pasokan energi aktivitas industri dipastikan terganggu, dan ujung-ujungnya akan berpengaruh pada ekonomi makro.

Bayangkan misalnya pasokan gas ke PLN Jawa Timur dari lapangan-lapangan migas di pantai timur Jawa atau di perairan seputar pulau Madura terganggu, bisa dipastikan suplai listrik di kota Surabaya dan Jawa Timur dapat terpengaruh. Bila pasokan terganggu cukup lama, maka otomatis itu akan mengganggu ekonomi makro.

Wakil Menteri ESDM Susilo Siswoutomo
Demikian juga misalnya, terjadi pasokan gas alam ke pembangkit listrik PLN di Jakarta Utara atau tempat-tempat lain, yang berasal dari lapangan gas alam di Sumatera, ataupun gas alam (LNG) dari Blok Mahakam ke FSRU (floating storage regasification unit) di lepas pantai utara Jakarta, tertanggu, pasokan listrik PLN ke industri-industri dan rumah tangga pun terganggu.

Situasi ini memberikan gambaran bahwa suplai energi itu sangat penting. Berbagai blok migas yang berproduksi menghasilkan minyak dan gas alam memainkan peran penting untuk mengamankan pasokan minyak dan gas alam di Indonesia. Perlu dicatat bahwa blok minyak dan gas tersebut ada yang dioperasikan oleh perusahaan migas dalam negeri seperti Pertamina dan anak perusahaannya, Medco, dan perusahaan migas lokal lain, tapi sebagiannya dioperasikan oleh perusahaan-perusahaan migas internasional.

Pada titik ini, perusahaan-perusahaan minyak dan gas tersebut, terlepas apakah itu perusahaan lokal atau asing, memproduksi minyak dan gas untuk kepentingan nasional. Para pekerja di perusahaan migas tentu merasa bangga mereka mengambil bagian dalam upaya memenuhi kebutuhan energi nasional. Dan itu tidak terbatas pada mereka yang bekerja di perusahaan migas nasional tapi juga anak-anak muda yang perusahaan migas asing.

Bagi pejabat pemerintah seperti Susilo Siswo Utomo, Wamen, mandat yang diberikan kepadanya, seperti yang disampaikan oleh Presiden SBY, tentunya mengamankan pasokan energi. Ini juga berarti yang terpenting adalah kepentingan nasional, bukan nasionalisasi. Nasionalisasi justru akan menjadi bumerang bagi Indonesia karena saat ini Indonesia masih membutuhkan investasi besar-besaran di industri migas untuk meningkatkan produksi minyak dan gas alam.

Pertamina, misalnya, membutuhkan investasi ratusan triliun rupiah untuk mengembangkan Block East Natuna bersama mitra-mitranya. Demikian juga Blok Masela, dibutuhkan investasi ratusan triliun untuk mengembangkan blok raksasa gas alam yang terletak di laut Arafura (offshore). Pengembangan Blok East Natuna dan Block Masela tidak hanya membutuhkan nilai investasi tinggi tapi juga teknologi tinggi. Ini menjadi tantangan bagi Pertamina untuk mengembangkan Blok East Natuna maupun Inpex dalam mengembangkan Blok Masela.

Investasi untuk mengembangkan industri migas, baik untuk eksplorasi maupun untuk produksi, akan terus meningkat, apalagi sebagian besar blok yang belum atau yang akan dikembangkan berada di lepas pantai (offshore). Sebagian berada di lokasi yang sangat rumit karena berada di laut dalam (deepwater/deepsea).

Pesannya, mustahil saat ini bagi Indonesia untuk memberikan beban kepada perusahaan migas nasional seperti Pertamina atau Medco untuk bertanggungjawab atas pemenuhan kebutuhan minyak dan gas nasional. Apalagi investasi di industri migas tergolong sangat tinggi. Maka, tidak mengherankan bila perusahaan migas biasanya melakukan farm-out (menjual) sebagian Participating Interest (saham) ke perusahaan migas lain untuk membagi risiko. Itu yang dilakukan oleh Inpex dengan mengundang Shell, perusahaan minyak dan gas Belanda, atau Total E&P Indonesie, yang bermitra dengan Inpex dalam mengembangkan Blok Mahakam.

Untuk konteks keamanan energi atau energy security di Indonesia, maka yang paling penting dan paling utama adalah Kepentingan Nasional. Pertimbangan utama dalam mengembangkan sebuah blok migas adalah apakah perusahaan kontraktor tersebut akan mampu memproduksi minyak dan gas alam untuk kepentingan nasional. Bila, kemudian Indonesia akan menasionalisasi perusahaan migas, seperti yang didengungkan berbagai pengamat belakangan ini, justru akan menjadi bumerang bagi Indonesia. Pasokan energi bisa terganggu, yang berarti energy security terganggu.

Karena itu, dalam menyerahkan blok migas negara untuk dikembangkan oleh sebuah perusahaan migas, entah perusahaan lokal atau perusahaan migas dunia (MNC), pertimbangan utama adalah apa yang terbaik bagi Kepentingan Nasional. Dalam pengembangan blok-blok yang kontraknya akan berakhir, pertimbangan utama tentunya: Apa yang terbaik untuk Kepentingan Nasional?

Pertimbangan kepentingan nasional serta aspek-aspek teknis kemampuan mengembangkan sebuah blok, komitmen investasi, kemampuan teknologi, pengalaman dan risiko, tentu semua itu menjadi pertimbangan utama. Bukan aspek sentimen atau sentimen nasionalisme sempit yang kian menjadi alat bagi sebagian pengamat atau politikus untuk mendapatkan simpati publik jelang Pemilu 2014. Pertimbangan aspek kepentingan nasional ini juga dibutuhkan dalam memutuskan apakah hak operatorship Blok Siak, Blok Mahakam dan blok-blok migas lainnya yang kontrak operatorship berakhir dalam 5 tahun ke depan.

Karena itu, pernyataan Wamen Susilo Siswoutomo terkait kontrak Blok Mahakam pasca 2017 minggu lalu, harus dilihat dalam konteks kepentingan nasional. Konteks yang terbaik untuk kepentingan negara.
Susilo Siswoutomo mengatakan kehadiran Total E&P Indonesie di Blok Mahakam masih akan dibutuhkan. Namun, ia tidak menjelaskan secara rinci apakah Total E&P akan tetap menjadi operator, atau menjadi operator untuk periode tertentu saja, kemudian dilanjutkan oleh Pertamina, atau skema-skema lain.
"Total akan tetap dilibatkan karena masalah ini tidak bisa hanya sekedar dijalani dengan seperti biasa," ujar Susilo kepada wartawan.
Pengelolaan Blok Mahakam tidak cukup hanya mengandalkan uang, teknologi dan pengalaman. "Uang dan teknologi serta pengalaman tidaklah cukup untuk mengelola Blok Mahakam, karena diperlukan faktor keempat yaitu pengambilan risiko," ujarnya.
"Jadi semua itu kita evaluasi, yang jelas ESDM tidak berkepentingan untuk merugikan negara, tidak ada rencana permainan di zaman yang serba semua disadap, kalau misalkan ada tuduhan buat ini lah itu lah ya janganlah," kata Susilo.
Kini bola ada di pemerintah untuk mengambil keputusan terkait pengembangan blok-blok migas, yang kontraknya akan berakhir, termasuk Blok Mahakam, yang akan berakhir 2017. Ada 5 blok migas lain yang kontraknya akan berakhir dalam 5 tahun kedepan. (*)