Tuesday 10 September 2013

Kontroversi Cost Recovery di Industri Minyak dan Gas Bumi di Indonesia


Kontroversi soal cost recovery di industri minyak dan gas bumi di Indonesia tampaknya selalu menjadi perhatian. Isu ini kembali mencuat setelah Ketua Kadin Kamar Dagang dna Industri (Kadin) Suryo Bambang Sulistio menyampaikan kekecewaannya bahwa cost recovery selama ini justru lebih banyak dinikmai investor asing.

Kontroversi cost recovery pernah ramai menjadi headlines beberapa tahun silam. Banyak pihak yang mempertanyakan elemen biaya dalam cost recovery, yang disusul dengan perbaikan peraturan. Kini implementasi cost recovery sudah dilakukan dengan ketat. Tidak mudah bagi SKK Migas atau pemerintah untuk mengeluarkan biaya cost recovery karena biaya yang dibayarkan kembali harus melalui audit terlebih dahulu dan harus sesuai dengan Work Program.

Yang menarik perhatian dari pernyataan Ketua Kadin tersebut bukan soal elemen dari cost recovery yang dikembalikan oleh pemerintah kepada perusahaan migas. Tetapi pernyataan dia yang menyebutkan “cost recovery selama ini justru lebih banyak dinikmati investor asing”.

Kenyataannya memang biaya pengembalian investasi atau cost recovery memang mayoritas dikembalikan ke perusahaan asing. Fakta ini menunjukkan bahwa memang investor asing selama ini banyak melakukan investasi untuk eksplorasi untuk mendapatkan lapangan minyak dan gas baru.

Fakta ini juga menunjukkan bahwa investor migas besar, yang kebetulan kebanyakan perusahaan asing, berani mengambil risiko untuk berinvestasi mencari minyak dan gas baru. Dan eksplorasi migas tidak selalu berhasil. Sebagian besar investasi untuk mencari migas tidak berhasil. Kita saksikan dan telah cukup banyak diberitakan sebagian besar eksplorasi yang dilakukan gagal menemukan cadangan minyk dan gas yang layak untuk dikembangkan lebih lanjut untuk dieksplorasi atau dryhole.

Menurut data SKK Migas, tahun 2011 saja, sekitar US$800 juta investasi perusahaan migas yang terbakar alias terbuang begitu saja karena gagal menemukan cadangan minyak dan gas. Dan bila gagal, maka perusahaan migas atau investor, baik lokal maupun asing, tidak bisa mengklaim biaya yang telah mereka keluarkan.

Sesuai dengan peraturan yang ada, biaya pengembalian investasi, hanya bisa dikembalikan bila eksplorasi migas berhasil. Pengembalian biaya tersebut dialokasikan oleh pemerintah dari hasil produksi minyak dan gas.

Pernyataan ketua Kadin tersebut harus dilihat dari dua sisi, bahwa sebagian besar biaya cost recovery diterima perusahaan asing. Tapi juga dilihat dari sisi lain, bahwa sebagian besar investasi di hulu migas untuk kegiatan eksplorasi lebih banyak dilakukan oleh perusahaan asing, dibanding perusahaan migas lokal. Hal ini bisa dipahami mengingat kegiatan eksplorasi berisiko tinggi. Tingkat kesuksesan mendapatkan cadangan minyak dan gas hanya berkisar antara 10-20 persen. 

Karena itu bisa dipahami pula kenapa perbankan nasional belum berani mengeluarkan pinjaman untuk kegiatan eksplorasi. Tingkat risikonya terlalu tinggi. Hanya perusahaan-perusahaan migas besar seperti Niko Resources, BP, Total EP Indonesia, ExxonMobile, Chevron, yang berani mengambil risiko. 
Pengembalian biaya cost recovery dilakukan melalui mekanisme pre-audit -- plan of development (POD), work plan & budget (WP &B), pengadaan barang dan jasa – current audit dan post audit bersama BPKP, Ditjen Migas dan BPK.
Wajar bila terkadang terjadi perbedaan persepsi mengenai elemen cost karena kemungkinan perbedaan interpretasi terhadap peraturan yang terjadi. Karena itu, yang perlu dilakukan kedepan adalah membuat aturan yang pasti dan jelas terkait cost recovery sehingga tidak isu kontroversial, yang justru menjadi bumerang.
Isu lain yang sering dipersoalkan adalah menginkatnya angka cost-recovery, padahal produksi minyak menurun. Namun, sebetulnya, bila kita melihat lebih lanjut, produksi gas masih menggemberikan. Lalu mengapa cost recovery naik? Berdasarkan observerasi dan perbincangan dengan berbagai pelaku bisnis migas, meningkatnya biaya atau cost recovery karena biaya eksplorasi juga meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Kini, sebagian eksplorasi dilakukan di lepas pantai (offshore) dan bahkan sebagian lagi dilakukan di laut dalam (deepwater). Belum lagi biaya-biaya lain-lain terkait aktivitas eksplorasi meningkat.
Meningkatnya biaya cost recovery dan bahwa sebagian besar cost recovery dibayarkan ke perusahaan multiniasional, sebetulnya tidak menjadi persoalan karena hal itu mencerminkan tingkat investasi minyak dan gas yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan migas atau investor migas.
Yang perlu dilakukan adalah membuat peraturan yang jelas dan pasti dan memonitor implementasi peraturan tersebut. Kedua, cost recovery harus dipandang sebagai pengembalian biaya investasi, bukan sebagai cost semata. Dengan adanya peraturan yang jelas dan pasti, investor akan lebih mudah membuat kalkulasi pengembalian investasi yang mereka lakukan serta risiko yang akan terjadi.
Yang menjadi isu penting di industri migas saat ini adalah investasi. Produksi minyak kita terus menurun, gas masih cenderung meningkat tapi bisa menurun dalam beberapa tahun kedepan bila tidak diimbangi dengan investasi mencari ladang migas baru. Indonesia membutuhkan investasi besar untuk eksplorasi minyak dan gas agar cadangan migas naik. Bila cadangan migas naik, otomatis kita boleh berharap produksi dapat kembali meningkat.
Pemerintah perlu mendorong perusahaan-perusahaan besar seperti BP, ExxonMobil, Total E&P Indonesia dan perusahaan-perusahaan migas lainnya untuk meningkatkan investasi mereka baik untuk kegiatan eksplorasi maupun untuk meningkatkan produksi migas dari lapangan yang ada. 

Pada konteks ini, kita menyambut baik rencana investasi perusahaan-perusahaan migas international untuk meningkatkan investasi mereka di Indonesia, termasuk rencana Total E&P untuk berinvestasi US$7,3 miliar investasi di blok tua, Blok Mahakam, dalam 5 tahun dengan catatan perusahaan tersebut masih dilibatkan dalam pengelolaan blok tersebut. Blok ini sudah dieksplorasi sekitar 70%. Masih ada 30% cadangan yang masih bisa diproduksi. Namun itu tidak mudah karena membutuhkan investasi besar dan teknologi tinggi untuk mengangkat migas dari perut bumi.  (*)

No comments:

Post a Comment