Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ir Susilo Siswoutomo saat diangkat menjadi diberitugas oleh Presiden Republik Indonesia Susilo
Bambang Yudhoyono untuk melakukan segala upaya memastikan keamanan energi
(energy security) di negara berpenduduk 240 juta jiwa ini.
Ketika dilantik awal tahun ini, Presiden SBY
mengatakan bahwa kebutuhan energi di Indonesia semakin meningkat tajam, baik
listrik maupun bahan bakar minyak dan bahan bakar gas. Maka itu, diperlukan
kebijakan dan manajemen yang tepat untuk memastikan kebutuhan tersebut
terpenuhi.
Presiden berharap Kementerian ESDM dan SKK Migas dapat
memainkan perannya secara maksimal, termasuk di bidang pengawasan sektor minyak
dan gas, serta untuk memenuhi target produksi (lifting) minyak dan gas dalam
negeri.
Negara-negara besar seperti Amerika atau
negara-negara Asia Timur, energy security merupakan hal yang strategis. Energi
dibutuhkan oleh industri-industri agar aktivitas produksi tidak terganggu.
Energi dibutuhkan berupa listrik maupun minyak atau gas. Tanpa energi atau bila
terjadi gangguan terhadap pasokan energi aktivitas industri dipastikan
terganggu, dan ujung-ujungnya akan berpengaruh pada ekonomi makro.
Bayangkan misalnya pasokan gas ke PLN Jawa Timur dari
lapangan-lapangan migas di pantai timur Jawa atau di perairan seputar pulau
Madura terganggu, bisa dipastikan suplai listrik di kota Surabaya dan Jawa
Timur dapat terpengaruh. Bila pasokan terganggu cukup lama, maka otomatis itu
akan mengganggu ekonomi makro.
Wakil Menteri ESDM Susilo Siswoutomo |
Situasi ini memberikan gambaran bahwa suplai
energi itu sangat penting. Berbagai blok migas yang berproduksi menghasilkan
minyak dan gas alam memainkan peran penting untuk mengamankan pasokan minyak
dan gas alam di Indonesia. Perlu dicatat bahwa blok minyak dan gas tersebut ada
yang dioperasikan oleh perusahaan migas dalam negeri seperti Pertamina dan anak
perusahaannya, Medco, dan perusahaan migas lokal lain, tapi sebagiannya
dioperasikan oleh perusahaan-perusahaan migas internasional.
Pada titik ini, perusahaan-perusahaan minyak dan
gas tersebut, terlepas apakah itu perusahaan lokal atau asing, memproduksi
minyak dan gas untuk kepentingan
nasional. Para pekerja di
perusahaan migas tentu merasa bangga mereka mengambil bagian dalam upaya
memenuhi kebutuhan energi nasional. Dan itu tidak terbatas pada mereka yang
bekerja di perusahaan migas nasional tapi juga anak-anak muda yang perusahaan
migas asing.
Bagi pejabat pemerintah seperti Susilo Siswo
Utomo, Wamen, mandat yang diberikan kepadanya, seperti yang disampaikan oleh
Presiden SBY, tentunya mengamankan pasokan energi. Ini juga berarti yang
terpenting adalah kepentingan nasional, bukan nasionalisasi. Nasionalisasi
justru akan menjadi bumerang bagi Indonesia karena saat ini Indonesia masih
membutuhkan investasi besar-besaran di industri migas untuk meningkatkan
produksi minyak dan gas alam.
Pertamina, misalnya, membutuhkan investasi ratusan
triliun rupiah untuk mengembangkan Block East Natuna bersama mitra-mitranya.
Demikian juga Blok Masela, dibutuhkan investasi ratusan triliun untuk
mengembangkan blok raksasa gas alam yang terletak di laut Arafura (offshore).
Pengembangan Blok East Natuna dan Block Masela tidak hanya membutuhkan nilai
investasi tinggi tapi juga teknologi tinggi. Ini menjadi tantangan bagi
Pertamina untuk mengembangkan Blok East Natuna maupun Inpex dalam mengembangkan
Blok Masela.
Investasi untuk mengembangkan industri migas,
baik untuk eksplorasi maupun untuk produksi, akan terus meningkat, apalagi
sebagian besar blok yang belum atau yang akan dikembangkan berada di lepas
pantai (offshore). Sebagian berada di lokasi yang sangat rumit karena berada di
laut dalam (deepwater/deepsea).
Pesannya, mustahil saat ini bagi Indonesia untuk
memberikan beban kepada perusahaan migas nasional seperti Pertamina atau Medco
untuk bertanggungjawab atas pemenuhan kebutuhan minyak dan gas nasional.
Apalagi investasi di industri migas tergolong sangat tinggi. Maka, tidak
mengherankan bila perusahaan migas biasanya melakukan farm-out (menjual)
sebagian Participating Interest (saham) ke perusahaan migas lain untuk membagi
risiko. Itu yang dilakukan oleh Inpex dengan mengundang Shell, perusahaan
minyak dan gas Belanda, atau Total E&P Indonesie, yang bermitra dengan
Inpex dalam mengembangkan Blok Mahakam.
Untuk konteks keamanan energi atau energy
security di Indonesia, maka yang paling penting dan paling utama adalah
Kepentingan Nasional. Pertimbangan utama dalam mengembangkan sebuah blok migas
adalah apakah perusahaan kontraktor tersebut akan mampu memproduksi minyak dan
gas alam untuk kepentingan nasional. Bila, kemudian Indonesia akan
menasionalisasi perusahaan migas, seperti yang didengungkan berbagai pengamat
belakangan ini, justru akan menjadi bumerang bagi Indonesia. Pasokan energi
bisa terganggu, yang berarti energy security terganggu.
Karena itu, dalam menyerahkan blok migas negara
untuk dikembangkan oleh sebuah perusahaan migas, entah perusahaan lokal atau
perusahaan migas dunia (MNC), pertimbangan utama adalah apa yang terbaik bagi
Kepentingan Nasional. Dalam pengembangan blok-blok yang kontraknya akan
berakhir, pertimbangan utama tentunya: Apa yang terbaik untuk Kepentingan
Nasional?
Pertimbangan kepentingan nasional serta
aspek-aspek teknis kemampuan mengembangkan sebuah blok, komitmen investasi,
kemampuan teknologi, pengalaman dan risiko, tentu semua itu menjadi
pertimbangan utama. Bukan aspek sentimen atau sentimen nasionalisme sempit yang
kian menjadi alat bagi sebagian pengamat atau politikus untuk mendapatkan simpati
publik jelang Pemilu 2014. Pertimbangan aspek kepentingan nasional ini juga
dibutuhkan dalam memutuskan apakah hak operatorship Blok Siak, Blok Mahakam dan
blok-blok migas lainnya yang kontrak operatorship berakhir dalam 5 tahun ke
depan.
Karena itu, pernyataan Wamen Susilo
Siswoutomo terkait kontrak Blok Mahakam pasca 2017 minggu lalu, harus dilihat
dalam konteks kepentingan nasional. Konteks yang terbaik untuk kepentingan
negara.
Susilo Siswoutomo mengatakan
kehadiran Total E&P Indonesie di Blok Mahakam masih akan dibutuhkan. Namun,
ia tidak menjelaskan secara rinci apakah Total E&P akan tetap menjadi
operator, atau menjadi operator untuk periode tertentu saja, kemudian
dilanjutkan oleh Pertamina, atau skema-skema lain.
"Total akan tetap dilibatkan
karena masalah ini tidak bisa hanya sekedar dijalani dengan seperti
biasa," ujar Susilo kepada wartawan.
Pengelolaan Blok Mahakam tidak cukup
hanya mengandalkan uang, teknologi dan pengalaman. "Uang dan teknologi
serta pengalaman tidaklah cukup untuk mengelola Blok Mahakam, karena diperlukan
faktor keempat yaitu pengambilan risiko," ujarnya.
"Jadi semua itu kita evaluasi,
yang jelas ESDM tidak berkepentingan untuk merugikan negara, tidak ada rencana
permainan di zaman yang serba semua disadap, kalau misalkan ada tuduhan buat
ini lah itu lah ya janganlah," kata Susilo.
Kini bola ada di pemerintah untuk
mengambil keputusan terkait pengembangan blok-blok migas, yang kontraknya akan
berakhir, termasuk Blok Mahakam, yang akan berakhir 2017. Ada 5 blok migas lain
yang kontraknya akan berakhir dalam 5 tahun kedepan. (*)
No comments:
Post a Comment