Wednesday 28 August 2013

Ironis, mantan anggota BPK tidak bisa bedakan BPMIGAS dan BPH Migas



Mudah-mudahan munculnya berbagai pendapat, aspirasi publik terkait industri migas, dapat dijadikan momentum tepat bagi pemerintah untuk menjelaskan dan mengklarifikasi berbagai miskonsepsi atau kesalahpengertian terkait industri migas kepada masyarakat, sekaligus menjadi bagian dari edukasi publik. 


=========================


Sebuah anjungan migas lepas pantai (sumber: foto Bisni KT)
Hari-hari ini kita menyaksikan berbagai elemen masyarakat di Indonesia berupaya mencari perhatian ruang publik untuk menyuarakan aspirasi atau pendapat mereka. Kondisi ini merupakan salah satu buah dari reformasi, antara lain arus informasi tidak lagi menjadi satu arah, top-down, pemerintah-ke-publik, tapi juga dari bawah ke atas atau bottom-up.

Arus informasi tidak lagi dimonopoli oleh pemerintah. Setiap elemen masyarakat punya hak untuk menyuarakan aspirasi mereka. Aspirasi masyarakat bisa disalurkan melalui jalur formal, yakni melalui perwakilan rakyat di Parlemen (DPR, DPRD ataupun DPD). 

Aspirasi juga bisa dilakukan melalui jalur non-formal, yakni melalui ulasan di media, debat dan diskusi publik, demonstrasi, unjuk rasa dengan harapan dapat direkam oleh berbagai media untuk kemudian dipublikasi ke publik. Misalnya saja, demonstrasi atau unjuk rasa kelompok masyarakat di Tanah Abang menentang pembersihan pedagang kaki lima (PKL) oleh Pemerintah DKI Jakarta. 

Atau, unjuk rasa kelompok masyarakat di Lenteng Agung, Jakarta Selatan, menolak kehadiran seorang lurah, hanya karena dia perempuan atau berbeda keyakinan, padahal yang bersangkutan telah lolos lelang jabatan lurah yang dilakukan secara terbuka dan transparan oleh Pemda DKI.

Beruntung Jakarta punya duet pemimpin yang merakyat tapi tegas, Joko Widodo dan Ahok. Jokowi dengan tegas menolak tuntutan para pengunjuk rasa karena yang lurah perempuan tersebut telah lolos seleksi melalui proses yang ketat. Ahok (Basuki Rahmat) bahkan dalam suatu kesempatan mengatakan, pegangan dia adalah Konstitusi, bukan konstituen. Dalam kasus tertentu, konstituen juga bisa salah, seperti dalam kasus lurah tadi.

Namun demikian, seiring kian terbukanya ruang publik, semakin terbuka pula upaya mendistorsi atau memanipulasi informasi. Contoh nyata adalah menjamurnya lembaga survei jelang pemilihan umum (Pemilu 2014). Ada lembaga survei yang benar-benar independen, ada lembaga survei yang mengklaim independen, tapi kenyataannya tidak, dan ada juga lembaga survei internal partai yang melakukan survei.  Data survei pun bisa dimanipulasi dengan menggunakan rumus-rumus tertentu untuk kepentingan sang pengorder survei.

Di industri minyak dan gas yang saat ini menjadi sorotan publik, menyusul  ‘tertangkap tangannya’ mantan kepala SKK Migas, Rudi Rubiandini, muncul berbagai komentar dan anĂ¡lisis terkait industri minyak dan gas. Berbagai elemen, kelompok masyarakat dan individu berbondong-bondong berteriak, berbicara, berdebat, menyampaikan aspirasi mereka terkait industria minyak dan gas bumi di tanah air.

Yang menarik, bila kita perhatikan di media, banyak orang berbicara seolah-olah ahli di bidang minyak dan gas bumi. Seorang mantan manager perusahaan telekomunikasi, tiba-tiba menjadi pengamat migas. Seorang mantan eksekutif di sebuah perusahaan migas berbicara seolah-olah dia yang paling jago dan paling tahu tentang indusri migas di Tanah Air. Berbagai kelompok masyarakat tiba-tiba mendorong isu nasionalisasi minyak dan gas bumi, dengan motivasi yang tidak murni atau punya kepentingan tertentu.

Ironisnya, banyak pengamat atau bahkan pejabat atau mantan pejabat yang seharusnya kompeten dalam menjelaskan sesuatu, terkesan asal bunyi, asbun, biar terlihat sedang melakukan sesuatu. Namun, sayangnya, ia tidak memahami industri tersebut dengan baik.

Contoh nyata, opini di harian Kontan hari ini (29 Agustus 2013), dengan judul “Menata Kembali Pengelolaan Migas” yang ditulis oleh Baharuddin Aritonang, anggota BPK periode 2004-2009. Disitu terkesan dicampur adukkan antara BPMIGAS, BPH Migas.
Simak paragraph berikut:

“Terakhir yang menjadi pembicaraan hangat adalah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Sebagaimana banyak putusan hukum yang tidak jelas dan tegas, banyak yagn mengartikan putusan MK tentang BPH Migas tidak memiliki dasar hukum. Dengan kata lain, BPH Migas dibubarkan.

Sejak kapan BPH Migas dibubarkan? BPH Migas adalah singkatan dari Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), yang saat ini dikepalai oleh Andy Sommeng. Bila, Andy Sommeng membaca opini ini, dia pasti akan mencak-mencak, mengklaim lembaga yang dipimpinnya sudah dibubarkan, padahal masih beroperasi, menjalankan tugasnya mengatur industria hilir minyak dan gas.

Tentu, yang dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi adalah BP Migas, atau Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi, yang bertugas mengawasi industri hulu minyak dan gas bumi. Setelah BP Migas dibubarkan, pemerintah membentuk SKK Migas, sebagai pengganti BPMigas, agar tidak terjadi kevakuman kelembagaan maupun untuk memberi kepastian pada industri minyak dan gas bumi.

Di seluruh bagian tulisan tersebut, BPH Migas ditulis berulang-ulang, sehingga hampir dipastikan ini bukan ‘error’ tapi memang seperti itu adanya dan seperti itu pemahaman sang penulis opini. Bisa jadi, media yang memuat tulisan tersebut dengan sengaja meloloskan saja opini tersebut. Ataukah sang mantan pejabat mengucapkan sesuatu, lalu direkam dan ditulis oleh wartawan media tersebut? Publik tidak tahu. Yang publik tahu, tulisan tersebut telah dimuat di salah satu koran ekonomi utama.

Sang penulis opini melanjutkan bahwa dia termasuk salah satu anggota masyarakat yang setuju membubarkan lembaga itu yang ia sebut, lagi-lagi BPH Migas.

Ia melanjutkan:
“Dalam kenyataannya, migas kita seolah dikelola BPH Migas. Padahal dalam rumusan bernegara, posisi BPH Migas susah untuk dipahami. Negara akan diwakili oleh pemerintah (yang menjalankan pemerintah negara).”

Kenyataannya, BPH Migas hanya menangani industri migas hilir saja, sementara yang menangani bagian hulu – eksplorasi dan produksi migas—adalah BP Migas, yang sekarang berubah menjadi SKK Migas.
“Kalau lah kemudian diperlukan badan usaha, itu diwakili oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berdasarkan UU No 17 20003 tentang keuangan negara yang disahkan. Sedangkan BPH Migas, dimana tempatnya? Pemerintah tidak, BUMN tidak.” Lagi-lagi membingungkan. Apakah yang dimaksudkan BP Migas?

Bila mempertanyakan kehadiran sebuah lembaga, seharusnya ditanyakan ke ratusan anggota DPR yang melahirkan UU Migas 2001, yang salah satu buahnya adalah BPMIGAS. Okey, lembaga itu telah dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka semua patuh. Sebuah lembaga tidak datang dari negeri antah-berantah, pasti ada dasar hukumnya.

Bagi pelaku industri minyak dan gas bumi, tentu pembubaran ini memancing tanda tanya, bagaimana mungkin sebuah lembaga yang telah beroperasi selama 10 tahun lebih, menandatangi ratusan kontrak, dinyatakan tidak konstitusional? Itu pertanyaan mereka dulu saat lembaga yang bernama BPMIGAS dibubarkan MK. Tapi, apapun itu, keputusan MK adalah final.

Saat ini, industri minyak dan gas bumi telah kembali bekerja seperti biasa, bahkan sebetulnya mereka merasa lebih nyaman di bawah SKK Migas, karena SKK Migas langsung berada di bawah Kementerian ESDM, lembaga pemerintah.

Cerita tentang dinamika industri minyak dan gas bumi, hari-hari ini kian dinamis karena industri ini memang strategis. Ia menyumbang sekitar 30% penerimaan APBN (State Budget). Saking dinamisnya, muncul gejala pengamat migas dadakan, tiba-tiba berbicara dan seolah-olah menjadi ahli minyak dan gas bumi. Kondisi ini dikhawatirkan justru akan menjadi bumerang, menambah kebingungan pelaku industri migas.

Opini Baharuddin Aritonang di atas juga mencerminkan berbagai kesalahpahaman publik apa yang terjadi di industri migas. Dalam beberapa tulisan dan ucapan pengamat di media, bahkan ditulis bahwa perusahaan minyak dan gas bumi mengambil keuntungan 85% dari keuntungan produksi dan pemerintah hanya mengambil 15%. Padahal sebaliknya.

Pemerintah mendapatkan split 85% dari keuntungan, sementara produsen migas hanya mendapatkan 15%, padahal perusahaan migas telah mengambil risiko tinggi. Dibanding industri migas, kontribusi ke pendapatan negara jauh lebih baik, ketimbang industri pertambangan. Bandingkan saja, Freeport hanya menyumbang 1% royalti ke pemerintah, amat-amat sedikit kontribusi ke pendapatan negara dibanding dengan pendapatan yang diperoleh perusahaan itu. 

Di berbagai media juga muncul opini, berita, pernyataan terkait perpanjangan sebuah blok, seperti isu perpanjangan Blok Siak, Blok Mahakam, dan beberapa blok lainnya yang akan habis kontraknya dalam 5 tahun mendatang. Sayangnya, banyak pernyataan tidak dilengkapi data dan pemahaman yang baik sehingga justru memperkeruh suasana.  

Ada 6 blok migas yang kontraknya berakhir pada periode 2013-2017. Keenam blok tersebut adalah: (1) Blok Siak Riau dikelola oleh Chevron akan berakhir 27 November 2013; (2) Blok Gebang di Sumatara Utara milik JOB Pertamina-Costa berakhir 29 November 2015; (3) Blok Offshore Northwest Java (ONWJ) yang dikelola Pertamina Hulu berakhir pada 19 Januari 2017; (4) Blok Attaka milik perusahaan migas Jepang, Inpex Corp berakhir 2017; (5) Blok Lematang yang dikelola PT Medco E&P Indonesia berakhir pada 2017; (6) Blok Mahakam yang dikelola perusahaan migas asal Perancis PT Total Indonesie berakhir pada 2017. 

Berbagai isu dimunculkan, misalnya, isu nasionalisasi, yang sengaja dihembuskan untuk memancing simpati masyarakat, padahal isu nasionalisasi bisa saja menjadi bumerang bagi kemajuan industri migas nasional, yang saat ini membutuhkan investasi besar. Publik berharap pemrintah akan segera mengambil keputusan perpanjangan setelah melakukan penelaahan yang mendalam, dengan mempertimbangkan untung dan rugi, serta risiko yang muncul bila memperpanjang atau tidak diperpanjang, atau dibentuk skema baru operatorship.

Investasi migas kedepan akan besar mengingat 70% letak blok migas kini berada di laut (offshore), dan sebagian berada di laut dalam (deepwater), yang tentu membutuhkan investasi besar dan teknologi tinggi. Isu nasionaliasi yang dihembuskan berbagai elemen masyarakat dapat saja menyurutkan niat investor migas untuk masuk ke Indonesia. Ujung-ujungnya, Indonesia akan terus tergantung pada impor minyak dan gas bumi, sehingga membuat ekonomi Indonesia rentan terhadap guncangan/gejolak mata uang akibat kebanyakan impor migas. Dampak lanjutnya, energy security (ketersediaan energi dalam negeri) terganggu.

Mudah-mudahan munculnya berbagai pendapat, aspirasi publik terkait industri migas, dapat dijadikan momentum tepat bagi pemerintah untuk menjelaskan dan mengklarifikasi berbagai miskonsepsi/kesalahpengertian terkait industri migas kepada masyarakat, sekaligus menjadi bagian dari edukasi publik. Semoga. (*)

No comments:

Post a Comment