Friday 16 August 2013

Eksistensi SKK Migas Pasca Kasus Gratifikasi

"Kalau semua [lembaga] yang korup dibubarkan, semua lembaga harus bubar, pengadilan ada korup, DPR ada korup, ini ada korup, apa memang harus dibubarkan semua?" kata Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden RI.

===========================================================

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi [SKK Migas], yang sebelumnya dikenal BPMIGAS, menjadi topik utama dalam pemberitaan media dalam beberapa hari terakhir setelah kepala SKK Migas Rudi Rubiandini menjadi tersangka dalam kasus gratifikasi. Ia dijemput oleh Komite Pemberantasan Korupsi [KPK} dengan tuduhan telah menerima sejumlah uang dari pihak swasta, Kernel Oil Pte Ltd, perusahaan trader minyak mentah asal Singapura.

KPK mengatakan lembaga itu telah menyita sejumlah uang dolar US dan dolar Singapura kurang lebih US$700.000 atau Rp 7 miliar dari rumah dan kantornya serta dari brankas miliknya di Bank Mandiri. KPK terus melakukan kerja marathon, mengambil dokumen-dokumen penting dari kantor RR sebagai bahan pemeriksaan. Beberapa pejabat teras lembaga tersebut juga dicekal untuk maksud pemeriksaan.

Menyusul kejadian tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung mengangkat wakil kepala SKK Migas Johanes Widjanarko sebagai pengganti Rudi untuk mengisi kekosongan agar lembaga yang mengawasi ratusan KKKS [Production Sharing Contractor/PSC] tetap berjalan seperti biasa. Maklum, lembaga ini memiliki posisi yang strategis yakni memenuhi target lifting/produksi minyak. Keberadaannya menjadi taruhan pemerintah untuk memastikan industri migas menyumbang Rp300 triliun setiap tahun ke kas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara [APBN].

Reaksi bermunculan. Ada yang mengaku kaget karena selama ini orang mengenal Rudi sebagai seorang yang bersahaja, ramah dan cerdas. Latar belakangnya sebagai dosen sebuah perguruan tinggi ternama [ITB] membuat banyak orang menaruh harapan padanya untuk membawa SKK Migas menjadi lembaga yang efektif.  Namun, keterlibatannya dalam kasus gratifikasi tersebut seolah meruntuhkan imejnya. Padahal, Rudi merupakan orang pertama di lembaga tersebut yang berlatar belakang akademik.

Saat ini KPK terus mengembangkan kasus tersebut. Namun, saat KPK menelusuri kasus ini, sejumlah elemen masyarakat mengambil kesempatan kehebohan ini untuk mendapatkan simpati publik. Mereka meminta Presiden SBY untuk membubarkan SKK Migas.

Publik melalui media-media sosial maupun forum pembaca di media-media online justru mengecam pernyataan tersebut. Ada yang mengatakan sejumlah tokoh tersebut hanya “mencari muka”.

“Hadawwwwhhh,,,,, kok masih ada aja orng cari muka,” kata Syahrul Virgo asal Kediri mengomentari desakan tersebut.

“Tidak adil dan tidak masuk akal bila mantan pimpinan sebuah lembaga tersandung kasus korupsi/gratifikasi, lalu lembaga tersebut dibubarkan. Bila SKKMigas dibubarkan karena ada oknum yg korupsi, maka semua lembaga, bila ada oknum yg korupsi, dibubarkan…,” kata seorang pembaca [Irfan] di Merdeka.com.

“Biarkan KPK bekerja, tidak usah mencari muka. Kampanye/panggung politik ada tempatnya! Kata lembaga TI, Indonesia salah satu negara TERKORUP di dunia, apa Indonesia yangg mendeklarasikan kemerdekaannya 17 Agustus 1945 melalui pertumpahan darah para pahlawan dibubarkan?,” lanjut pembaca tersebut.

Mantan Wakil Presiden Yusuf Kalla juga tidak setuju bila SKK Migas dibubarkan. Itu bukan cara menyelesaikan persoalan. Yang bisa membatasi orang korupsi adalah akhlak dan sistem."Kalau semua yang korup dibubarkan, semua lembaga harus bubar, pengadilan ada korup, DPR ada korup, ini ada korup, memang harus dibubarkan semua?" kata Jusuf Kalla.

SKK Migas dibentuk pemerintah setelah BPMIGAS dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi, sebuah keputusan kontroversial yang sempat mengguncang industri minyak dan gas di Tanah Air. Banyak pihak menentang keputusan tersebut karena MK menggunakan data yang salah dan mengatakan bahwa BPMIGAS lahir sebagai buah reformasi dan Undang Undang Minyak dan Gas 2001.

Sebelum UU tersebut regulasi di bidang perminyakan dipegang Pertamina. Jadi BUMN tersebut berfungsi ganda, sebagai pemain dan juga sebagai wasit. Undang-Undang tersebut kemudian memandatkan pemerintah untuk membentuk lembaga sebagai wasit dan pengawas di industri migas.

Kasus gratifikasi yang melibatkan pejabat teras SKK Migas memang patut disesalkan. Publik mendukung 
KPK untuk terus mendalami kasus gratifikasi tersebut dan memberi ganjaran setimpal. Siapapun pasti mendukung segala upaya untuk menciptakan clean governance di semua lembaga pemerintah.

Kita berharap, kasus tersebut menjadi pemantik untuk menciptakan system yang akuntable, transparansi, efektif dan bebas gratifikasi/korupsi di SKK Migas juga lembaga-lembaga yang lain. Menciptakan sistem yang baik dan mengisinya dengan orang-orang yang bermoral adalah kunci utama. Tidak dengan membubarkan lembaga tersebut. Tikus-tikus ditangkap dan dijebloskan ke penjara, tapi lumbungnya tidak perlu dibakar.

SKK Migas memiliki tugas yang berat ke depan, antara lain memenuhi target lifting minyak dan gas sesuai yang dipatok dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. SKK Migas juga mensupervisi dan memonitor ratusan KKKS atau Production Sharing Contractor [PSC] agar mereka tetap beroperasi secara normal. PSC tersebut melakukan kontrak dengan pemerintah melalui SKK Migas [sebelumnya BPMIGAS]. Amat sangat berisiko dan bertentangan dengan mandat UU bila SKK Migas dibubarkan atau diganti lagi. [*]

No comments:

Post a Comment