Apak khabar Blok East Natuna? Itu pertanyaan yang muncul di
kalangan pelaku industri migas dan media balakangan terkait kelanjutan
pengembangan blok raksasa East Natuna.Selama puluhan tahun blok gas tersebut
dibiarkan idle. Jelang kontrak pengembangan blok berakhir yang dipegang
ExxonMobil kala itu, Pertamina berjuang mati-matian untuk mendapatkan blok
tersebut. Akhirnya, hak pengelolaan blok tersebut jatuh ke tangan
Pertamina.
Lalu bagaimama pengembangan blok tersebut? Hingga saat ini,
pengembangannya masih sebatas di atas kertas. Berita terkahir, Pertamina dan
para anggota konsorsium menanti keputusan pemerintah terkait permintaan tax
holiday yang hingga saat ini belum diputuskan.
Sebelumnya, Pertamina mengatakan investasi untuk mengembangkan
blok tersebut diperkirakan mencapai US$20 miliar atau Rp200 triliun. Biaya
pengembangan blok tersebut mahal mengingkat tingginya tingkat carbondioxida.
Dibutuhkan investasi besar dan teknologi tinggi untuk memisahkan gas dan elemen
carbondioxida.
Saat ini, konsorsium Blok East Natuna dipimpin oleh PT Pertamina
dan beranggotakan Shell Oil, PTT Thailand, Total, dan Exxon. Petronas asal
Malaysia sudah mengundurkan diri.
Ketidakjelasan dan lambanya pengembangan Blok East Natuna sempat
mengundang kritik dari Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden akhir tahun lalu. “Meski sudah diutamakan untuk mengambil Blok Natuna, tapi tidak
diambil dan tidak disentuh oleh Pertamina. Nasionalisme hanya ada di seminar,
sementara di lapangan minyak sistem makelar,” kritik JK kala itu.
Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) itu juga menyindir saat
ini Pertamina lebih dikenal sebagai perusahaan penjual minyak. Padahal,
perusahaan pelat merah itu didirikan untuk mencari minyak.
Patut disayangkan, perkembangan dan pemberitaan terkait
pengembangan Blok East Natuna saat ini seolah tenggelam setelah Pertamina
mengalihkan fokusnya untuk mendapatkan kepemilikan (participating interest) di
Blok Mahakam, setelah kontrak pengelolaan blok tersebut di tangan Total E&P
Indonesie dan INPEX berakhir 2017.
Pertanyaannya, apakah Pertamina kini memprioritaskan Blok Mahakam
dibanding pengembangan Blok East Natuna? Apakah efisien bagi Pertamina
mengalokasikan seluruh investasi tahunnya ke Blok Mahakam, bila benar Pertamina
ingin menguasai 100% saham Blok Mahakam? Ataukah lebih efisien dan risiko lebih
kecil bila dikelola bersama?
Sebagai blok raksasa yang uzur, pengembangan Blok Mahakam
membutuhkan investasi besar tiap tahun dan teknologi tinggi agar produksi gas
alam menjadi optimal.
Disatu sisi, pemerintah tentu tidak ingin Pertamina hanya fokus
pada mengembangkan satu blok saja. Pemerintah tentu ingin agar blok-blok migas
lain milik Pertamina yang saat ini masih idle dikembangkan, tidak dianggurkan.
Menteri ESDM
Jero Wacik beberapa waktu lalu bahwa tidak efektif bagi Pertamina bila
mencemplungkan seluruh investasinya di satu Blok. Pertamina punya banyak
program pengembangan blok. Persoalannya bukan pada siap atau tidak siap, mampu
atau tidak mampu, tapi apakah semua investasi/telur ditaruh di satu keranjang?
Menteri Jero Wacik mengakui bila semua resources Pertamina dikerahkan, Pertamina mungkin saja mampu
mengelola Blok Mahakam. Tapi Pertamina juga punya tugas mengurus blok-blok
dan ratusan proyek lain, selain Blok Mahakam.
Karena itu, beralasan dan logis bila pengelolaan Blok Mahakam
pasca 2017 dilakukan melalui skema kerjasama atau joint-operation. Bisa
saja Operator yang sekarang, Total E&P Indonesie, tetap diberi mandat untuk
menjadi operator Blok Mahakam hingga batas waktu tertentu, misalnya hingga
tahun 2022, kemudian tongkat komando diserahkan ke Pertamina. Bisa juga,
operator yang sekarang tetap dipertahankan, tapi Pertamina memiliki saham
di blok tersebut. Kita serahkan saja ke pemerintah untuk mengambil keputusan
terbaik. Kepentinan bangsa di atas kepentingan pribadi atau ambisi perorangan.
Bila pengembangan Blok Mahakam dilakukan bersama, maka Pertamina
dapat lebih konsentrasi mengembangkan blok East Natuna. Blok East Natuna tidak
terbengkalai. Bila opsi yang dipilih, publik bisa berharap Blok East Natuna
dapat mulai berproduksi tahun 2023, seperti yang ditargetkan Pertamina.
Pengelolaan Blok Migas pada intinya adalah bagaimana mengelola
risiko. Bila risiko tidak bisa ditanggung sendiri, maka risiko bisa di-share ke
pihak lain, sehingga bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, Pertamina
tidak menanggung sendiri.
Ketika blok tersebut beralih ke Pertamina, tampaknya Pertamina tak
mampu mengembangkan blok tersebut sendiri mengingat besarnya biasa investasi
dan kebutuhan teknologi tinggi. Untuk itu, perusahaan migas pelat merah
tersebut menggandeng beberapa perusahaan migas raksasa. (*)
No comments:
Post a Comment