Monday 5 August 2013

Pertamina, antara Blok East Natuna & Blok Mahakam

Apak khabar Blok East Natuna?  Itu pertanyaan yang muncul di kalangan pelaku industri migas dan media balakangan terkait kelanjutan pengembangan blok raksasa East Natuna.Selama puluhan tahun blok gas tersebut dibiarkan idle. Jelang kontrak pengembangan blok berakhir yang dipegang ExxonMobil kala itu, Pertamina berjuang mati-matian untuk mendapatkan blok tersebut. Akhirnya, hak pengelolaan blok tersebut jatuh ke tangan Pertamina. 

Lalu bagaimama pengembangan blok tersebut? Hingga saat ini, pengembangannya masih sebatas di atas kertas. Berita terkahir, Pertamina dan para anggota konsorsium menanti keputusan pemerintah terkait permintaan tax holiday yang hingga saat ini belum diputuskan.

Sebelumnya, Pertamina mengatakan investasi untuk mengembangkan blok tersebut diperkirakan mencapai US$20 miliar atau Rp200 triliun. Biaya pengembangan blok tersebut mahal mengingkat tingginya tingkat carbondioxida. Dibutuhkan investasi besar dan teknologi tinggi untuk memisahkan gas dan elemen carbondioxida.

Saat ini, konsorsium Blok East Natuna dipimpin oleh PT Pertamina dan beranggotakan Shell Oil, PTT Thailand, Total, dan Exxon. Petronas asal Malaysia sudah mengundurkan diri.

Ketidakjelasan dan lambanya pengembangan Blok East Natuna sempat mengundang kritik dari Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden akhir tahun lalu. “Meski sudah diutamakan un­tuk mengambil Blok Natuna, tapi tidak diambil dan tidak di­sentuh oleh Pertamina. Nasio­nalisme hanya ada di seminar, se­mentara di lapangan minyak sistem ma­kelar,” kritik JK kala itu. 

Ketua Umum Palang Merah In­donesia (PMI) itu juga me­nyin­dir saat ini Pertamina lebih di­kenal sebagai perusahaan pen­jual mi­nyak. Padahal, perusa­haan pe­lat merah itu didirikan untuk men­­cari minyak. 

Patut disayangkan, perkembangan dan pemberitaan terkait pengembangan Blok East Natuna saat ini seolah tenggelam setelah Pertamina mengalihkan fokusnya untuk mendapatkan kepemilikan (participating interest) di Blok Mahakam, setelah kontrak pengelolaan blok tersebut di tangan Total E&P Indonesie dan INPEX berakhir 2017. 

Pertanyaannya, apakah Pertamina kini memprioritaskan Blok Mahakam dibanding pengembangan Blok East Natuna? Apakah efisien bagi Pertamina mengalokasikan seluruh investasi tahunnya ke Blok Mahakam, bila benar Pertamina ingin menguasai 100% saham Blok Mahakam? Ataukah lebih efisien dan risiko lebih kecil bila dikelola bersama?

Sebagai blok raksasa yang uzur, pengembangan Blok Mahakam membutuhkan investasi besar tiap tahun dan teknologi tinggi agar produksi gas alam menjadi optimal.

Disatu sisi, pemerintah tentu tidak ingin Pertamina hanya fokus pada mengembangkan satu blok saja. Pemerintah tentu ingin agar blok-blok migas lain milik Pertamina yang saat ini masih idle dikembangkan, tidak dianggurkan.

Menteri ESDM Jero Wacik beberapa waktu lalu bahwa tidak efektif bagi Pertamina bila mencemplungkan seluruh investasinya di satu Blok. Pertamina punya banyak program pengembangan blok. Persoalannya bukan pada siap atau tidak siap, mampu atau tidak mampu, tapi apakah semua investasi/telur ditaruh di satu keranjang?

Menteri Jero Wacik mengakui bila semua resources Pertamina dikerahkan, Pertamina mungkin saja mampu mengelola Blok Mahakam. Tapi Pertamina  juga punya tugas mengurus blok-blok dan ratusan proyek lain, selain Blok Mahakam.

Karena itu, beralasan dan logis bila pengelolaan Blok Mahakam pasca 2017 dilakukan melalui skema kerjasama atau joint-operation. Bisa saja Operator yang sekarang, Total E&P Indonesie, tetap diberi mandat untuk menjadi operator Blok Mahakam hingga batas waktu tertentu, misalnya hingga tahun 2022, kemudian tongkat komando diserahkan ke Pertamina. Bisa juga, operator  yang sekarang tetap dipertahankan, tapi Pertamina memiliki saham di blok tersebut. Kita serahkan saja ke pemerintah untuk mengambil keputusan terbaik. Kepentinan bangsa di atas kepentingan pribadi atau ambisi perorangan.

Bila pengembangan Blok Mahakam dilakukan bersama, maka Pertamina dapat lebih konsentrasi mengembangkan blok East Natuna. Blok East Natuna tidak terbengkalai. Bila opsi yang dipilih, publik bisa berharap Blok East Natuna dapat mulai berproduksi tahun 2023, seperti yang ditargetkan Pertamina. 

Pengelolaan Blok Migas pada intinya adalah bagaimana mengelola risiko. Bila risiko tidak bisa ditanggung sendiri, maka risiko bisa di-share ke pihak lain, sehingga bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, Pertamina tidak menanggung sendiri. 

Ketika blok tersebut beralih ke Pertamina, tampaknya Pertamina tak mampu mengembangkan blok tersebut sendiri mengingat besarnya biasa investasi dan kebutuhan teknologi tinggi. Untuk itu, perusahaan migas pelat merah tersebut menggandeng beberapa perusahaan migas raksasa. (*)

No comments:

Post a Comment