Mandeknya program pengendalian BBM Bersubsidi melalui pemasangan Radio Frequency Identification (RFID) ini mempertontonkan
kepada publik atas tidak efektifnya program pemerintah, khususnya Kementerian ESDM. Terkadang program pemerintah bagus
di atas kertas, tapi tidak atau sulit dilakukan.
Isu
bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi tampaknya selalu menjadi isu menarik dan
seperti sebuah cerita yang tak pernah berakhir. Sejak era Orba, hingga saat
ini, BBM bersubsidi masih terus diberikan dan dianggarkan oleh pemerintah.
Entah mengapa, upaya pemerintah, termasuk upaya pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) selama 10 tahun terakhir untuk mengurangi atau mengendalikan
BBM bersubsidi tampaknya hanya lip
service saja. Pemerintah tahu dan DPR juga tahu angka subsidi BBM sangat
tinggi dan sangat membebani APBN, tapi atas nama “kepentingan rakyat” subsidi
BBM terus dipelihara.
Persoalannya,
subsidi BBM tidak mencapai sasaran. Justru yang menikmati subsidi BBM adalah
masyarakat perkotaan, pemilik mobil pribadi. Mayoritas masyarakat tidak
menikmati subsidi BBM tersebut. Lalu mengapa subsidi BBM tetap dipertahankan?
Tidak mungkin pemerintah mempertahankan bila tidak mendapatkan keuntungan dari
subsidi. Tentu ada pihak-pihak tertentu yang menanggung untung dari langgengnya
subsidi BBM.
Dalam
beberapa tahun terakhir, angka subsidi bertengger di level tinggi. Berdasarkan
data yang ada, Banggar (Badan Anggaran) DPR menetapkan RAPBN 2014 sebesar
Rp1,842.45 triliun. Subsidi BBM dan LPG ditetapkan sebesarn Rp210,9 triliun atau 11,4% dari total
belanja pemerintah.
Melihat
besarnya subsidi, maka pemerintah menelurkan program pengendalian penggunaan
BBM bersubsidi melalui Radio Frequency Identification (RFID). Program ini
sebenarnya sudah dirancang dan mulai dikampanyekan pemerintah dan Pertamina
sejak 2012 lalu. Tahun 2013, sudah mulai diujicoba oleh Pertamina di SPBU.
Namun, program ini rupanya tidak berjalan lancar seperti yang direncanakan.
Cukup
banyak pengamat dan masyarakat yang mempertanyakan program pengendalian melalui
RFID ini. Secara teknis, memasang puluhan juta RFDI di setiap kendaraan tentu
bukan pekerjaan yang mudah. Pemerintah melalui Kementerian ESDM menjelaskan
bahwa RFDI ini berfungsi memonitor dan mengendalikan penggunaan BBM agar lebih
tepat sasaran, meningkatkan akuntabilitas penyediaan dan distribusi BBM dan
data strategis konsumsi bbm.
Pemerintah
juga telah membuat peraturan sebagai landasan hukum untuk membangun System
Monitoring dan Pengendalian BBM, yaitu melalui peraturan Menteri ESDM, No 1,
2013 tentang pengendalian penggunaan BBM. Kementerian ESDM menargetkan 1 Juni
2014 SMP BBM RFID sudah diimplementasikan di seluruh Indonesia. BPH Migas juga
telah mengeluarkan peraturan (Peraturan Nomor 6, Tahun 2013 tentang penggunaan
sistem teknologi informasi dalam penyaluran BBM.
Akhir
tahun lalu, pemerintah dan Pertamina mulai memasang RFID di SPBU-SPBU di
Jakarta sebagai uji coba. Namun, pemasangan di SPBU-SPBU itu memancing
persoalan baru, yaitu kemacetan. Banyak kendaraan antre untuk memasang RFID.
Anehnya, banyak mobil-mobil mewah antri. Lalu bila semua mobil dipasang RFID,
lalu apa bedanya dengan kondisi sekarang dimana semua mobil boleh atau tidak
dibatasi membeli BBM bersubsidi?
Ditengah
hiruk-pikuk pemasangan RFID tersebut, wakil gubernur DKI Ahok, melontarkan ide
yang membuat merah Menteri ESDM dan petinggi Pertamina, yakni mau menghapus BBM
bersubsidi di Jakarta. Alasannya, orang-orang Jakarta yang memiliki mobil tidak
membutuhkan BBM bersubsidi. Bila masyarakat bisa membeli mobil pribadi, maka
warga tersebut pun tentu bisa membeli BBM yang tidak disubsidi. Nah, bila
rencana penghapusan subsidi BBM di Jakarta direalisasikan, berarti program
pemasangan RFID itu pun bakal tidak berguna dan mubazir untuk wilayah Jakarta.
Menteri
Jero Wacik kala itu pun bimbang dan ragu. Di satu sisi Jero Wacik sepakat bila ada pengendalian/pengurangan
konsumsi BBM subsidi di Jakarta yang pada ujungnya nanti mengurangi beban
terhadap APBN. Namun, di satu sisi, bila program RFID yang sudah disiapkan
jauh-jauh hari itu tidak terlaksana, maka ini juga akan membuat malu
kementeriannya dan pemerintah. Dana yang dikeluarkan untuk membuat RFID itu pun
jadi mubazir. Padahal Pertamina dan PT INTI telah bekerjasama untuk memproduksi
RFID.
Lalu
apa yang terjadi kemudian? Dalam beberapa bulan terakhir, kita tak mendengar
lagi kabar adanya pemasangan RFID di mobil-mobil pribadi di SPBU-SPBU
Pertamina. Apa yang terjadi? Apakah program tersebut telah dihentikan? Atau sedang
dievaluasi? Publik tidak mendengar lagi, hingga beberapa hari lalu muncul
pernyataan berupa sindiran dari Menko Perekonomian Hatta Rajasa.
Menteri Perokonomian Hatta Rajasa mengatakan,
program pengendalian BBM bersubsidi jalan di tempat. Padahal saat ini
pemerintah harus fokus agar konsumsi BBM bersubsidi tidak boleh melebihi kuota
48 juta kiloliter (kl) yang telah ditentukan dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN).
Menurut Hatta, karena besarnya impor BBM akan
mengancam stabilitas ekonomi nasional karena tingginya konsumsi berhubungan
dengan anggaran subsidi sehingga mengancam kesehatan fiskal.“Mana itu RFID, ngomong doang capek kita, mana
itu pengendalian,” keluh Hatta.
Hatta tidak secara langsung mengkritik Menteri
ESDM Jero Wacik, koleganya di kabinet. Namun, pernyataan Hatta tersebut jelas
arahnya kemana dan kepada siapa. Pihak yang “kena tembak”, yakni Menteri ESDM
Jero Wacik langsung angkat suara dan membela diri.
Jero Wacik membela diri dengan mengatakan
bahwa pengendalian subsidi BBM dengan cara memasang RFID merupakan langkah yang
sulit yang dilakukan oleh pemerintah. Namun demikian Kementerian ESDM bersama
Badan Pengatur Hilir minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) terus memonitor program
ini hingga tuntas.
“RFID ini kan masangnya ribet sampai sekarang
masih dalam tingkat pemasangan. Jadi ini bukan omdo (omong doang, red)
ya, tapi memang belum sukses,” kata dia. Apapun alasan Menteri Jero Wacik, yang
jelas program pengendalian konsumsi BBM subsidi ini hingga saat ini seperti
jalan ditempat. Suara-suara pesimisme bahwa program ini bakal ‘Gatot’ alias
gagal total pun mulai muncul. Tujuan pemasangan RFID itu memang secara teknis
akan membantu pemerintah memantau berapa konsumsi BBM konsumen. Tapi, itu baru
sebatas mencatat data. Lalu apa yang akan dilakukan pemerintah? Apakah
pemerintah membatasi konsumen tersebut untuk membeli BBM bersubsidi? Apa dan
bagaimana pemerintah mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi melalui pemasangan
RFID ini pun masih kabur.
Kegagalan program RFID ini mempertontonkan
kepada publik bahwa cukup banyak program pemerintah, khususnya Kementerian ESDM yang tidak
efektif. Ini juga mencerminkan fakta bahwa terkadang program pemerintah bagus
di atas kertas, tapi tidak atau sulit dilakukan. Kegagalan program RFID ini
hanya merupakan salah satu contoh tidak efektifnya program-program pemerintah,
khususnya Kementerian ESDM. Selama dua periode pemerintahan SBY, sulit melihat
kesuksesan di sektor energi. Yang terjadi kemandekan dan kemunduran. Lihat saja
produksi minyak yang terus turun, investasi migas juga tidak jalan, alias
stagnan. Belum lagi kalau kita bicara crash program 10,000 MW tahap I dan tahap
II. Crash program tahap II yang mengandalkan pengembangan panas bumi dan
hydropower tidak jalan.
Banyak keputusan juga yang menggantung sehingga
menambah ketidakpastian, khususnya di sektor minyak dan gas bumi. Keputusan
terkait blok-blok migas yang kontraknya berakhir, termasuk Blok Mahakam, masih
digantung sehingga membuat rencana investasi pengembangan blok tersebut
sementara ditahan (hold) sehingga dapat berdampak pada pengurangan produksi. Padahal
Indonesia saat ini membutuhkan banyak minyak dan gas bumi. Penurunan produksi
migas, khususnya gas bumi, akan berdampak pada pengurangan pendapatan
pemerintah dan pembengkakan belanja untuk mengimpor. (*)