Thursday 27 March 2014

BBM Bersubsidi -- Dibalik Saling Sindir Antara Hatta Rajasa dan Jero Wacik Soal Program RFID



Mandeknya program pengendalian BBM Bersubsidi melalui pemasangan Radio Frequency Identification (RFID) ini mempertontonkan kepada publik atas tidak efektifnya program pemerintah, khususnya Kementerian ESDM. Terkadang program pemerintah bagus di atas kertas, tapi tidak atau sulit dilakukan.


Isu bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi tampaknya selalu menjadi isu menarik dan seperti sebuah cerita yang tak pernah berakhir. Sejak era Orba, hingga saat ini, BBM bersubsidi masih terus diberikan dan dianggarkan oleh pemerintah. Entah mengapa, upaya pemerintah, termasuk upaya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama 10 tahun terakhir untuk mengurangi atau mengendalikan BBM bersubsidi tampaknya hanya lip service saja. Pemerintah tahu dan DPR juga tahu angka subsidi BBM sangat tinggi dan sangat membebani APBN, tapi atas nama “kepentingan rakyat” subsidi BBM terus dipelihara. 

Persoalannya, subsidi BBM tidak mencapai sasaran. Justru yang menikmati subsidi BBM adalah masyarakat perkotaan, pemilik mobil pribadi. Mayoritas masyarakat tidak menikmati subsidi BBM tersebut. Lalu mengapa subsidi BBM tetap dipertahankan? Tidak mungkin pemerintah mempertahankan bila tidak mendapatkan keuntungan dari subsidi. Tentu ada pihak-pihak tertentu yang menanggung untung dari langgengnya subsidi BBM. 

Dalam beberapa tahun terakhir, angka subsidi bertengger di level tinggi. Berdasarkan data yang ada, Banggar (Badan Anggaran) DPR menetapkan RAPBN 2014 sebesar Rp1,842.45 triliun. Subsidi BBM dan LPG ditetapkan sebesarn Rp210,9 triliun atau 11,4% dari total belanja pemerintah.

Melihat besarnya subsidi, maka pemerintah menelurkan program pengendalian penggunaan BBM bersubsidi melalui Radio Frequency Identification (RFID). Program ini sebenarnya sudah dirancang dan mulai dikampanyekan pemerintah dan Pertamina sejak 2012 lalu. Tahun 2013, sudah mulai diujicoba oleh Pertamina di SPBU. Namun, program ini rupanya tidak berjalan lancar seperti yang direncanakan. 

Cukup banyak pengamat dan masyarakat yang mempertanyakan program pengendalian melalui RFID ini. Secara teknis, memasang puluhan juta RFDI di setiap kendaraan tentu bukan pekerjaan yang mudah. Pemerintah melalui Kementerian ESDM menjelaskan bahwa RFDI ini berfungsi memonitor dan mengendalikan penggunaan BBM agar lebih tepat sasaran, meningkatkan akuntabilitas penyediaan dan distribusi BBM dan data strategis konsumsi bbm.

Pemerintah juga telah membuat peraturan sebagai landasan hukum untuk membangun System Monitoring dan Pengendalian BBM, yaitu melalui peraturan Menteri ESDM, No 1, 2013 tentang pengendalian penggunaan BBM. Kementerian ESDM menargetkan 1 Juni 2014 SMP BBM RFID sudah diimplementasikan di seluruh Indonesia. BPH Migas juga telah mengeluarkan peraturan (Peraturan Nomor 6, Tahun 2013 tentang penggunaan sistem teknologi informasi dalam penyaluran BBM.

Akhir tahun lalu, pemerintah dan Pertamina mulai memasang RFID di SPBU-SPBU di Jakarta sebagai uji coba. Namun, pemasangan di SPBU-SPBU itu memancing persoalan baru, yaitu kemacetan. Banyak kendaraan antre untuk memasang RFID. Anehnya, banyak mobil-mobil mewah antri. Lalu bila semua mobil dipasang RFID, lalu apa bedanya dengan kondisi sekarang dimana semua mobil boleh atau tidak dibatasi membeli BBM bersubsidi? 

Ditengah hiruk-pikuk pemasangan RFID tersebut, wakil gubernur DKI Ahok, melontarkan ide yang membuat merah Menteri ESDM dan petinggi Pertamina, yakni mau menghapus BBM bersubsidi di Jakarta. Alasannya, orang-orang Jakarta yang memiliki mobil tidak membutuhkan BBM bersubsidi. Bila masyarakat bisa membeli mobil pribadi, maka warga tersebut pun tentu bisa membeli BBM yang tidak disubsidi. Nah, bila rencana penghapusan subsidi BBM di Jakarta direalisasikan, berarti program pemasangan RFID itu pun bakal tidak berguna dan mubazir untuk wilayah Jakarta. 

Menteri Jero Wacik kala itu pun bimbang dan ragu. Di satu sisi Jero Wacik  sepakat bila ada pengendalian/pengurangan konsumsi BBM subsidi di Jakarta yang pada ujungnya nanti mengurangi beban terhadap APBN. Namun, di satu sisi, bila program RFID yang sudah disiapkan jauh-jauh hari itu tidak terlaksana, maka ini juga akan membuat malu kementeriannya dan pemerintah. Dana yang dikeluarkan untuk membuat RFID itu pun jadi mubazir. Padahal Pertamina dan PT INTI telah bekerjasama untuk memproduksi RFID. 

Lalu apa yang terjadi kemudian? Dalam beberapa bulan terakhir, kita tak mendengar lagi kabar adanya pemasangan RFID di mobil-mobil pribadi di SPBU-SPBU Pertamina. Apa yang terjadi? Apakah program tersebut telah dihentikan? Atau sedang dievaluasi? Publik tidak mendengar lagi, hingga beberapa hari lalu muncul pernyataan berupa sindiran dari Menko Perekonomian Hatta Rajasa.

Menteri Perokonomian Hatta Rajasa mengatakan, program pengendalian BBM bersubsidi jalan di tempat. Padahal saat ini pemerintah harus fokus agar konsumsi BBM bersubsidi tidak boleh melebihi kuota 48 juta kiloliter (kl) yang telah ditentukan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Menurut Hatta, karena besarnya impor BBM akan mengancam stabilitas ekonomi nasional karena tingginya konsumsi berhubungan dengan anggaran subsidi sehingga mengancam kesehatan fiskal.“Mana itu RFID, ngomong doang capek kita, mana itu pengendalian,” keluh Hatta.

Hatta tidak secara langsung mengkritik Menteri ESDM Jero Wacik, koleganya di kabinet. Namun, pernyataan Hatta tersebut jelas arahnya kemana dan kepada siapa. Pihak yang “kena tembak”, yakni Menteri ESDM Jero Wacik langsung angkat suara dan membela diri.

Jero Wacik membela diri dengan mengatakan bahwa pengendalian subsidi BBM dengan cara memasang RFID merupakan langkah yang sulit yang dilakukan oleh pemerintah. Namun demikian Kementerian ESDM bersama Badan Pengatur Hilir minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) terus memonitor program ini hingga tuntas.

“RFID ini kan masangnya ribet sampai sekarang masih dalam tingkat pemasangan. Jadi ini bukan omdo (omong doang, red) ya, tapi memang belum sukses,” kata dia. Apapun alasan Menteri Jero Wacik, yang jelas program pengendalian konsumsi BBM subsidi ini hingga saat ini seperti jalan ditempat. Suara-suara pesimisme bahwa program ini bakal ‘Gatot’ alias gagal total pun mulai muncul. Tujuan pemasangan RFID itu memang secara teknis akan membantu pemerintah memantau berapa konsumsi BBM konsumen. Tapi, itu baru sebatas mencatat data. Lalu apa yang akan dilakukan pemerintah? Apakah pemerintah membatasi konsumen tersebut untuk membeli BBM bersubsidi? Apa dan bagaimana pemerintah mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi melalui pemasangan RFID ini pun masih kabur. 

Kegagalan program RFID ini mempertontonkan kepada publik bahwa cukup banyak program pemerintah, khususnya Kementerian ESDM yang tidak efektif. Ini juga mencerminkan fakta bahwa terkadang program pemerintah bagus di atas kertas, tapi tidak atau sulit dilakukan. Kegagalan program RFID ini hanya merupakan salah satu contoh tidak efektifnya program-program pemerintah, khususnya Kementerian ESDM. Selama dua periode pemerintahan SBY, sulit melihat kesuksesan di sektor energi. Yang terjadi kemandekan dan kemunduran. Lihat saja produksi minyak yang terus turun, investasi migas juga tidak jalan, alias stagnan. Belum lagi kalau kita bicara crash program 10,000 MW tahap I dan tahap II. Crash program tahap II yang mengandalkan pengembangan panas bumi dan hydropower tidak jalan. 

Banyak keputusan juga yang menggantung sehingga menambah ketidakpastian, khususnya di sektor minyak dan gas bumi. Keputusan terkait blok-blok migas yang kontraknya berakhir, termasuk Blok Mahakam, masih digantung sehingga membuat rencana investasi pengembangan blok tersebut sementara ditahan (hold) sehingga dapat berdampak pada pengurangan produksi. Padahal Indonesia saat ini membutuhkan banyak minyak dan gas bumi. Penurunan produksi migas, khususnya gas bumi, akan berdampak pada pengurangan pendapatan pemerintah dan pembengkakan belanja untuk mengimpor. (*)

Friday 21 March 2014

Pemilu Indonesia 2014 -- Isu Energi Belum Masuk Tema Kampanye Para Caleg dan Partai


Indonesia sedang menghadapi ancaman krisis energi. Sayangnya, partai-partai belum membahas isu ini. Publik berharap partai-partai menukik ke masalah-masalah mendasar yang sedang dihadapi bangsa Indonesia tercinta ini. Dalam hal energi, rakyat membutuhkan tawaran solusi dari partai-partai yang berlaga, bagaimana upaya mereka untuk mencapai ketahanan energi? Apa yang dilakukan untuk meningkatkan investasi energi, baik minyak, gas bumi (fossil), maupun energi terbarukan? 



Energi dalam sebuah ekonomi ibarat darah dalam tubuh manusia. Bila peredaran darah tidak lancar atau macet, maka seseorang bisa terkena stroke dan berujung pada kelumpuhan. Dalam aktivitas perekonomian. Bila energi tidak cukup, maka aktivitas ekonomi bisa terganggu dan bahkan lumpuh. Energi dibutuhkan oleh industri-industri untuk menggerakkan roda usaha. Dalam skala kecil, energi, berupa listrik, juga dibutuhkan oleh setiap rumah tangga untuk kelancaran aktivitas setiap hari.

Indonesia saat ini menghadapi ancaman krisis energi. Pertanyaannya, apakah isu energi juga mendapat perhatian dan menjadi salah satu tema kampanye para calon wakil rakyat maupun partai-partai yang sedang berlaga merebut kursi Parlemen maupun kursi Presiden dan Wakil Presiden?

Bila kita melihat sekilas, tampaknya isu energi belum menjadi tema kampanye. Sejauh ini, kampanye lebih banyak berkutat pada hura-hura, memberikan hiburan kepada rakyat atau calon pemilih, melakukan kegiatan-kegiatan simpatik dan kegiatan lainnya. Partai-partai maupun para Caleg belum menukik ke masalah-masalah substansial atau menjual isu-isu atau agenda penting partai dan bangsa.

Boleh jadi ini terjadi karena beberapa hal. Pertama, rakyat atau calon pemilih tidak tertarik dengan agenda-agenda yang dijual Partai dan para Caleg, sehingga para Caleg dan Partai lebih mementingkan aspek hiburan. Karena itu, tidak heran bila kita melihat partai-partai peserta Pemilu membawa artis-artis atau tokoh-tokoh terkenal untuk menarik simpati calon pemilih.

Faktor kedua, para Caleg sendiri tidak memahami isu-isu atau agenda Partai mereka. Agar tidak terlihat bodoh dihadapan calon pemilih, mereka menghindari ‘jualan’ isu-isu berat. Itu dengan catatan memang Partainya memiliki agenda yang ‘dijual’ ke calon pemilih. Kondisi ini tidak mengherankan karena sebagian Caleg memang bermodalkan tampang daripada isi (intelek/kemampuan). Ini terbukti dengan masuknya aktor, artis-artis seksi, model atau mantan majalah dewasa sebagai calon legislatif.

Partai-partai cenderung melakukan kampanye dengan metode freestyle. Agenda dan tema kampanye disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Situasi ini sebenarnya tidak bagus untuk pendidikan politik bangsa. Seharusnya, para Caleg dan partai-parai berperang agenda partai. Partai-partai dan para Caleg seharusnya gencar mengkampanyekan program-program Partai, apa yang dilakukan nanti bila Partainya memenangi Pemilihan Umum, baik Pemilihan Legislatif maupun Presiden-Wakil Presiden.

Sebagai warga negara, kita tentu berharap partai-partai membahas isu-isu penting, termasuk energi. Saat ini, Indonesia menghadapi ancaman krisis energi akibat ketergantungan impor yang tinggi akibat produksi minyak yang terus merosot. Disisi lain, aktivitas eksplorasi migas menurun.

Apa yang akan dilakukan partai-partai bila kelak memang dalam Pileg (pemilihan legislatif) maupun Pilpres (pemilihan presiden) untuk mendongkrak produksi minyak? Apa yang dilakukan untuk menghadapi kondisi ini? Bagaimana posisi mereka terkait diversifikasi sumber energi?  Indonesia saat ini tidak sekadar berupaya memenuhi kebutuhan energi, tapi sekaligus memerangi perubahan iklim yang berdasarkan pada energi terbarukan dan efisiensi energi. 

Bila kita lihat, partai-partai belum mengangkat isu energi sebagai tema kampanye. Hanya satu dua Caleg yang mengangkat isu energi, seperti yang kita lihat dari judul berita ini, “Nasdem janjikan insentif untuk energi terbarukan”.  Berita ini dimuat oleh beberapa media online. Di media itu, dilaporkan bahwa Partai Nasional Demokrat (Nasdem) memandang sektor energi dan sumber daya alam (SDA) sebagai salah satu penting agenda partai bila memenangi pemilihan umum (pemilu) legislatif.

Nasdem menilai, pengembangan energi terbarukan sudah menjadi suatu keharusan untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik dan siap menghadapi perubahan zaman. Politisi Nasdem Enggartiasto Lukita menilai selama ini pemerintah tidak serius memberikan insentif bagi pengembangan energi baru terbarukan.

Namun, di dalam berita tersebut tidak dielaborasi lebih detil. Partai-partai rupanya hanya berbicara di permukaan saja, tanpa menukik, membahas esensi dari persoalan energi yang dihadapi bangsa ini. Sebagian hanya melonarkan isu energi sepotong-sepotong (pieces), tanpa mengusulkan atau membahas bagaimana mengatasi persoalan. Misalnya, seorang Caleg berteriak dan berbicara di hadapan massa, bahwa Partainya akan menghapus subsidi BBM bila kelak Partainya dipilih jadi partai penguasa. Tapi tidak dijelaskan faktor how atau bagaimana.  

Para politisi Partai Demokrat, misalnya, menjual slogan “Tetap katakan TIDAK pada Korupsi”. Tapi tidak berani menjelaskan secara detail bagaimana Partai itu memerangi korupsi. PD tidak segarang tahun 2004 atau 2009 terkait kampanye perang melawan korupsi.

Boleh dibilang hampir semua Partai yang berlaga dalam Pemilu kali ini belum memiliki program yang jelas, bila partainya dipilih menjadi Partai Penguasa, atau Presiden-Wakil Presiden yang bakal dijagokan terpilih. Isu-isu atau tema-tema yang dijual masih bersifat sporadis, di atas permukaan atau bahkan lip-service saja. Kritik kita alamatkan tidak hanya Nasdem, Partai Demokrat yang disebutkan di atas, tapi juga partai-partai lain, PDIP, PAN, PPP, PKS, Gerindra, Hanura, Golkar atau PKB.

Partai-partai belum berani atau memang tidak memiliki agenda terkait pemenuhan energi (ketahanan energi) ataupun ketahanan pangan. Kalaupun ada, itu hanya coretan-coretan di atas permukaan. Kita belum melihat partai-partai membahas isu-isu energi secara detail. 


Kita ingin partai-partai menukik ke masalah-masalah esensial. Dalam hal energi, rakyat membutuhkan tawaran solusi dari partai-partai yang berlaga, bagaimana upaya mereka untuk mencapai ketahanan energi? Apa yang dilakukan untuk meningkatkan investasi energi, baik minyak, gas bumi, maupun energi terbarukan? 

Apa yang dilakukan untuk memastikan Republik ini tidak lagi menghadapi krisis listrik (byar-pet). Apa yang dilakukan agar pasokan minyak dan gas bumi dari dalam negeri meningkat, sehingga Indonesia tidak lagi bergantung pada impor? Bagaimana posisi partai atau para Caleg terkait pengembangan blok-blok migas di Tanah Air?

Bagaimana posisi partai-partai untuk memastikan produksi migas di blok-blok Migas yang ada, seperti Blok Mahakam, berkesinambungan dan tidak terganggu? Bagaimana nasib blok-blok migas yang kontraknya segera berakhir, seperti Blok Mahakam? Indonesia membutuhkan kestabilan dan kesinambungan produksi migas. Karena itu, produksi dari blok-blok migas yang ada harus dipastikan tetap berlanjut, sehingga dapat terus berkontribusi maksimal bagi negara. Untuk kasus Blok Mahakam, misalnya, pemerintah perlu segera memberi kepastian terkait operatorship blok tersebut, sehingga rencana investasi dan produksi kedepan tidak terganggu.


Kita bisa menambah lagi daftar pertanyaan. Yang pesan untuk para Caleg dan Partai adalah disamping hura-hura dan tebar pesona, cobalah mulai menjual dan berperang dengan agenda partai. Apa yang menjadi agenda utama partai? Mengapa itu menjadi agenda yang paling penting? Apa yang akan dilakukan? (*)

Wednesday 12 March 2014

Pemerintah SBY Berakhir Saat Produksi Minyak Indonesia Capai Titik Nadir, Blok Cepu Tunda

Banyu Urip, Blok Cepu
Upaya pemerintah untuk mendongkrak produksi minyak dengan mulai berproduksinya Blok Cepu (peak production) rupanya harus menunggu enam hingga setahun lagi. Produksi puncak Blok Cepu kemungkinan baru akan dimulai awal tahun 2015, dari rencana semula awal 2014. Beberapa pejabat pemerintah memang masih berharap peak production Blok Cepu dapat dimulai sebelum akhir tahun ini.

Dengan demikian, hampir pasti, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan mengakhiri masa jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia selama dua periode (2004-2014) saat produksi minyak Indonesia mencapai titik nadir, yakni sekitar 800.000 barel per hari atau lebih rendah. Ini merupakan catatan yang buruk dan tidak menguntungkan bagi partai yang berkuasa (Partai Demokrat), dan dapat menjadi senjata ampuh bagi lawan-lawan politik untuk menyerang kebijakan energi pemerintah yang berkuasa (incumbent) yang gagal.

Pengembangan proyek blok Cepu barangkali salah satu proyek pengembangan blok minyak dan gas bumi (migas) yang paling lama di Indonesia. Penemuan cadangan minyak dalam cadangan besar diumumkan tahun 2001 dan baru tahun 2005, Pertamina dan ExxonMobil menandatangani production sharing contract (PSC).  Masing-masing memegang 45% saham (participating interest), dan sisanya 10% dimiliki oleh tiga pemerintah daerah.

Lapangan yang dikembangkan saat ini adalah Banyu Urip yang terletak di dalam Blok Cepu dengan perkiraan cadangan minyak sebesar 250 juta barel minyak. Pada April 2011, ExxonMobil menemukan cadangan kedua, yaitu di lapangan Kedung Keris. Produksi awal dalam jumlah kecil telah dimulai pada bulan Desember 2008, dengan jumlah produksi minyak sebesar 20,000 barel per hari.

Awalnya, produksi puncak Blok Cepu dapat dicapai pada bulan Maret 2009, namun, keterlambatan pembebasan lahan akibat penolakan dari warga lokal serta lambannya proses kontrak EPC membuat proyek tersebut tertunda hingga 5 tahun. SKK Migas dan pemerintah serta Mobil Cepu Limited, anak usaha ExxonMobil yang menjadi operator Blok Cepu, memperkirakan peak production Block Cepu akan dimulai awal 2014.

Pengembangan blok CEPU dilakukan oleh 5 EPC kontraktor dengan total nilai proyek US$1,25 miliar. EPC-1 (engineering, procurement and construction) bertanggungjawab untuk membangun fasilitas produksi; EPC-2 bertanggungjawab untuk melakukan desain dan instalasi pipa sepanjang 72 km; EPC-III mencakup konstruksi pipa lepas pantai dan fasilitas mooring; EPC-IV mencakup konstruksi floating storage and offloading (FSO) di lepas pantai dan EPC-V mencakup pengembangan reservoir untuk mendukung produksi melalui teknik injeksi air untuk mendorong minyak dan gas dari perut bumi serta fasilitas lain.

Blok Cepu sendiri diperkirakan memiliki cadangan minyak 600 juta barel dan gas 1,7 triliun cubic feet. Pengembangan gas bumi baru akan dimulai tahun 2015-2016 dan diperkirakan mulai berproduksi sebelum tahun 2019.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik hari Rabu (12/3/2014) mengakui keterlambatan produksi pada Blok Cepu. Padahal bila produksi puncak Blok Cepu dimulai awal tahun 2014 ini, maka akan menjadi catatan positif bagi pemerintahan SBY. Jero Wacik mengatakan di Bali, “Cepu terlambat. Kalau kemarin bisa jalan bulan Juni atau Juli, kita dapat tambahan 165,000 barel per hari. Setelah kita hitung-hitung, Cepu baru bisa produksi sekitar bulan September,” kata Jero Wacik.

Berbeda dengan Jero, Menteri Koordinator Perekenomian bahkan memperkirakan produksi puncak Blok Cepu baru dimulai akhir tahun 2014 atau awal tahun 2015.

Keterlambatan proyek Blok Cepu dengan segala permasalahannya menunjukkan betapa ribet dan rumitnya pengembangan sebuah blok Migas di Tanah Air. Untuk kasus Blok Cepu, dibutuhkan sekitar 14-15 tahun sebelum produksi puncak dimulai. Waktu yang terlalu panjang. Ada kesempatan untuk meningkatkan produksi minyak yang terbuang selama bertahun-tahun. Operator Blok Migas Cepu, Mobil Cepu Limited, anak usaha ExxonMobil, menghadapi berbagai masalah, mulai dari pembebasan lahan yang bertahun-tahun, perolehan izin membangun (IMB) yang sangat lama, sehingga memperlambat penentuan pemenang tender untuk membangun fasilitas produksi, dan masalah-masalah lainnya.

Pemerintah seharusnya bisa bercermin dan mengambil pelajaran dari kasus terlambatnya pengembangan Blok Cepu. Dalam beberapa tahun kedepan, ada beberapa blok migas besar yang akan dikembangkan, seperti Blok Masela (lapangan Abadi), pengembangan lanjutan proyek LNG Tangguh oleh BP (train-3), pengembangan lanjutan Blok Mahakam, Indonesia Deepwater Development (IDD) dan lainnya. Pemerintah perlu memberi sinyal yang jelas kepada pelaku usaha dan investor migas bahwa Indonesia menyambut baik dan mendukung pengembangan industri migas di Tanah Air, dengan tanpa mempertentangan antara pemain nasional dan global. Kedua-duanya dapat saling berkolaborasi, saling mendukung demi kemajuan industri migas nasional.

Kekurangan modal dan teknologi yang dimiliki perusahaan migas nasional, baik yang bergerak di sektor hulu (upstream) maupun yang bergerak di industri pendukung migas (supporting industries) dapat saling mendukung dan mengisi untuk tujuan yang sama, memajukan industri minyak dan gas bumi di tanah air. Tak bisa dipungkiri, ada beberapa blok migas yang membutuhkan kehadiran dan partisipasi investor asing migas, seperti dalam hal pengembangan Blok Masela oleh Inpex, East Natuna yang dikomandoi oleh Pertamina, IDD oleh Chevron, BP Tangguh train-3 oleh BP serta pengembangan lanjutan Blok Mahakam oleh Total E&P Indonesie (bersama mitranya Inpex).

Hanya saja, pengembangan lanjutan Blok Mahakam kini sedang digantung alias belum jelas karena kontrak Total E&P akan berakhir semester I 2017. Operator telah mengajukan keinginannya untuk memperpanjang hak pengelolaan blok tersebut. Belum jelas apakah hak pengelolaan Blok Mahakam (operatorship) akan diperpanjang, tidak diperpanjang atau pemerintah memutuskan opsi/skema baru yang melibatkan operator lama dengan skema baru. Idealnya, keputusan dilakukan antara 5-10 tahun sebelum kontrak berakhir. 
Namun, tampaknya keputusan terkait kontrak pengembangan Blok Mahakam bakal ditunda hingga setelah pemilu. Ataukah pemerintah SBY dapat membuat keputusan hak pengelolaan Blok Mahakam sebelum pemerintahannya berakhir? Kita tunggu saja. Yang jelas, semakin lama pemerintah menunda keputusan, semakin lama ketidakpastian yang dihadapi operator Blok Mahakam. Situasi ini juga berlaku bagi blok-blok migas lainnya yang kontraknya bakal berakhir dalam 5 tahun mendatang. (*)

Wednesday 5 March 2014

Kawah Kamojang, Heboh Gunung Ciremai & Potensi Energi Panas Bumi Indonesia

Indonesia perlu bekerja lebih serius lagi mendorong pengembangan energi panas bumi (geothermal) dengan mengundang investor, baik lokal maupun asing. Saat ini, pengembangan energi panas bumi, terkendala oleh berbagai peraturan dan tumpang tindih lembaga yang mengawasi kawasan hutan, yang di dalamnya terdapat potensi panasbumi. 


============

Heboh soal rencana pengembangan energi panas bumi di Gunung Ciremai, Jawa Barat beberapa hari ini, mengingakan penulis saat mengunjungi kawah Kamojang, di wilayah Kabupaten Garut beberapa tahun silam. Kawah Kamojang ini berada di perbatasan Majalaya - Kabupaten Garut. Kawah ini letaknya sekitar 25 km dari kota Garut dan 35 km dari kota Bandung. Setelah menyusuri jalan berkelok-kelok, hawa sejuk di pagi hari sangat terasa, mengingat Kawah Kamojang berada di ketinggian 1,000 meter dari permukaan laut. 

Salah satu sumur di PLTP Kamojang
Kawah Kamojang kini menjadi obyek wisata cukup populer tidak saja bagi wisawatan lokal tapi juga wisatawan asing. Dari Kawah Kamojang inilah sebenarnya awal dari pengembangan energi panas bumi di Indonesia. Sebelum memasuki kawasan kawah Kamojang, kita akan melewati Pembangkit Listrik Panas Bumi milik Pertamina Geothermal Energi (PGE) serta milik PT Indonesia Power.  Sebelum berkunjung ke Kamojang, saya memang sudah membaca beberapa literatur
tentang Kamojang dan energi panas bumi.

Kawah Kereta Api, Kawah Kamojang
PLTP ini tampak asri dengan lingkungan sekitarnya. Sesekali asap putih keluar dari pembangkit listrik. Asap itu sebenarnya merupakan uap, sama seperti ketika kita memasak air. Jalan menuju ke Kamojang sudah cukup baik karena sudah beraspal. Namun, setelah melewati PLTP Kamojang, kita akan melewati jalan bebatuan. Namun, kita bisa menikmati udara segar serta kicauan burung-burung di pagi hari.  

Sebelum memasuki kawah Kamojang, kami ditahan oleh petugas penjaga kawasan hutang lindung Kamojang. Petugas menanyai kami tujuan kesana untuk apa? Setelah kami mengatakan, bahwa kami hanya turis biasa untuk melihat keindahan kawah kamojang, kami kemudian dipersilahkan masuk. Petugas tersebut mengatakan bila kesana untuk tujuan penelitian atau riset atau tujuan komersial harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari Departemen Kehuatan. 

Ada suasana mistik saat memasuki kawasan Kamojang. Konon, warga lokal memiliki legenda sendiri tentang kawasan ini. Di sini katanya ada penunggunya, membuat bulu kuduk berdiri. Namun, dalam hati saya bersyukur dapat melihat keindahan alam kawasan Kawah Kamojang ini. Di dalam kawasan ini ada sebuah danau kecil, yang terus menerus beruap. Airnya memang terasa hangat atau suam-suam kuku, sehingga terus beruap atau berasap. 

Tak jauh dari danau kecil itu, kita akan melihat sebuah bekas sumur yang dibor pada zaman pemerintahan Belanda, yang disebut kawah kereta, karena sesakili bergemuruh, sehingga mengeluarkan suara seperti peluit kereta api, dengan kedalaman kurang dari 100 meter. Sumur ini sudah tidak aktif lagi. Tapi sumur ini membuktikan bahwa pengembangan energi panas bumi di Indonesia sebetulnya sudah ada atau sudah dimulai sejak sebelum Indonesia merdeka, yaitu tahun 1926. Komersialisasi panas bumi baru dimulai tahun 1970-1980-an. 

Sebenarnya, ada perasaan khawatir ketika melewati PLTP Kamojang, tapi perasaan khawatir itu, hilang ketika melihat anak-anak sekeloah berjalan dengan santainya di jalan menuju sekolah. Pipa-pipa itu terbentang sepanjang jalan, di bawah pohon-pohon cemara, membawa uap panas bumi dari sumur-sumur panas bumi menuju PLTP. Uap-uap itu kemudian diproses untuk menggerakkan pembangkit listrik. 

Bila kita menaruh tangan di pipa tersebut, akan terasa hangat, tetapi dianjurkan untuk tidak melakukannya. Saat kami melewati jalan, beberapa petugas PGE sedang melakukan pengecekan. Uap air itu, sempat menyentuh mukanya, dan dia terlihat biasa saja. Kami menghentikan mobil sebentar dan menyapa pekerja tersebut. “Sedang apa pak?” ujar saya. “Sedang melakukan kontrol rutin saja,” ujarnya.

PLTP Kamojang merupakan PLTP Pertama di Indonesia. Selain PLTP Kamojang, Indonesia sebenarnya sudah memiliki beberapa pembangkit listrik panas bumi, antara lain yang dikembangkan dan dioperasikan oleh PT Chevron Geothermal Indonesia. Rupanya, Chevron tidak saja menjadi produsen minyak mentah terbesar di Indonesia, tapi juga pengembang energi panas bumi terbesar di Indonesia, bahkan lebih besar dari PLTP milik anak usaha Pertamina, Pertamina Geothermal Energi (PGE). Chevron saat ini mengembangkan panas bumi PLTP Darajat dan PLTP Salak. Kedua PLTP ini – Darajat dan Salak menyuplai energi terbarukan sebesar 630 megawatt (MW).

Pengembang energi panas bumi berkepentingan agar kawasan hutan tetap terjaga, karena agar panas bumi tetap mengeluarkan uap, memerlukan kelembaban dan tetesan air hujan. Secara sederhana, ibarat batu panas terkena air, maka batu akan mengeluarkan uap atau asap. Demikian juga panas bumi, sepanjang kelembawan bawah tanah terjaga, kondisi uap panas bumi akan terjaga, dan sepanjang itu energi panas bumi tersebut akan terus menghasilkan uap dan tak akan habis. Karena itu, energi panas bumi masuk kategori energi terbarukan (renewable energy) dan ramah terhadap lingkungan.

Indonesia patut bersyukur. Letaknya yang berada di cincin api (ring of fire) yang membuat Indonesia memiliki gunung api terbanyak di Indonesia, kondisi itu juga membawa manfaat. Indonesia memiliki potensi energi panas bumi terbesar di dunia dengan potensi energi mencapai 27,000 MW atau 27 Gigawatt. Namun, hingga saat ini, pemanfaatan energi panas bumi masih di bawah 5 persen. Artinya, potensi pemanfaat panas bumi masih sangat besar.

Karena itu, Indonesia perlu bekerja lebih serius lagi mendorong pengembangan energi panas bumi dengan mengundang investor, baik lokal maupun asing. Saat ini, pengembangan energi panas bumi, terkendala oleh berbagai peraturan dan tumpang tindih lembaga yang mengawasi kawasan hutan, yang di dalamnya terdapat potensi panasbumi. 

Heboh Gunung Ciremai dijual ke beberapa hari ini menggambarkan bahwa masyarakat kita masih terbawa berita-berita sensasi yang tidak jelas asalnya. Apalagi, sebagian masyarakat menganggap Gunung Ciremai sebagai gunung Keramat. Justru karena keramat, maka Gunung tersebut, sama seperti gunung atau pegunungan lainnya tetap perlu dijaga.

Yang jelas, pemerintah telah melakukan tender pengembangan potensi panas bumi di Gunung Ciremai yang dimenangkan oleh anak perusahaan Chevron. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan Konservasi Energi (EBTKE) memastikan bahwa pengembangan proyek panas bumi yang terjadi saat ini tidak ada yang merusak lingkungan. 

Apa pesan dari kasus energi panas bumi Ciremai? Pertama, bahwa masih ada salah persepsi di masyarakat terkait energi panas bumi. Energi panas bumi termasuk energi yang ramah lingkungan, jauh lebih clean dibanding dengan energi fosil. Karena itu, diperlukan sosialisasi lebih baik lagi kepada masyarakat. Kedua, Indonesia perlu mendorong pengembangan energi panas bumi lagi, karena saat ini pemanfaatanya belum sampai 5%. Termasuk mengundang investor lokal dan asing. Kehadiran investor sangat dibutuhkan. 

Ketiga, pemerintah perlu mendukung pengembangan energi panas bumi dengan mengeluarkan dan membuat peraturan yang kondusif. Bila ada tumpang tindih, segera diatasi, jangan didiamkan saja seperti yang terjadi selama ini sehingga pelaku usaha menjadi bingung. Keempat, pemerintah perlu berada di belakang pelaku usaha untuk memberikan jaminan dan rasa aman berusaha. Bila tak didukung pemerintah, maka investor akan ragu-ragu mengembangkan energi panas bumi. Sama seperti sektor migas yang membutuhkan iklim investasi yang positif, demikian juga di sektor energi panas bumi.

Kepastian usaha itu penting sekali. Di industri minyak dan gas bumi, misalnya, pelaku usaha membutuhkan kepastian usaha dari pemerintah. Ada beberapa faktor yang dapat menciptakan ketidakpastian usaha, antara lain, tumpang tindih peraturan, izin yang banyak, birokrasi yang rumit, serta ketidakpastian akan nasib kontrak migas yang akan segera berakhir. Seperti kita ketahui, beberap blok migas akan berakhir kontraknya dalam beberapa tahun kedepan, termasuk Blok Mahakam. Kontrak blok Mahakam akan selesai semester pertama 2017. Saat ini, operator blok tersebut berada dalam ketidakpastian, apakah operatorship diperpanjang atau tidak, atau ada skema baru. Ketidakpastian keputusan  pemerintah, juga akhirnya mempengaruhi rencana investasi mereka saat ini. (*)

Oleh Rachmat Dharmawan
Peneliti di Sebuah Lembaga Swasta & Penulis Lepas
Jakarta, 6 Maret 2014