Wednesday 12 March 2014

Pemerintah SBY Berakhir Saat Produksi Minyak Indonesia Capai Titik Nadir, Blok Cepu Tunda

Banyu Urip, Blok Cepu
Upaya pemerintah untuk mendongkrak produksi minyak dengan mulai berproduksinya Blok Cepu (peak production) rupanya harus menunggu enam hingga setahun lagi. Produksi puncak Blok Cepu kemungkinan baru akan dimulai awal tahun 2015, dari rencana semula awal 2014. Beberapa pejabat pemerintah memang masih berharap peak production Blok Cepu dapat dimulai sebelum akhir tahun ini.

Dengan demikian, hampir pasti, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan mengakhiri masa jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia selama dua periode (2004-2014) saat produksi minyak Indonesia mencapai titik nadir, yakni sekitar 800.000 barel per hari atau lebih rendah. Ini merupakan catatan yang buruk dan tidak menguntungkan bagi partai yang berkuasa (Partai Demokrat), dan dapat menjadi senjata ampuh bagi lawan-lawan politik untuk menyerang kebijakan energi pemerintah yang berkuasa (incumbent) yang gagal.

Pengembangan proyek blok Cepu barangkali salah satu proyek pengembangan blok minyak dan gas bumi (migas) yang paling lama di Indonesia. Penemuan cadangan minyak dalam cadangan besar diumumkan tahun 2001 dan baru tahun 2005, Pertamina dan ExxonMobil menandatangani production sharing contract (PSC).  Masing-masing memegang 45% saham (participating interest), dan sisanya 10% dimiliki oleh tiga pemerintah daerah.

Lapangan yang dikembangkan saat ini adalah Banyu Urip yang terletak di dalam Blok Cepu dengan perkiraan cadangan minyak sebesar 250 juta barel minyak. Pada April 2011, ExxonMobil menemukan cadangan kedua, yaitu di lapangan Kedung Keris. Produksi awal dalam jumlah kecil telah dimulai pada bulan Desember 2008, dengan jumlah produksi minyak sebesar 20,000 barel per hari.

Awalnya, produksi puncak Blok Cepu dapat dicapai pada bulan Maret 2009, namun, keterlambatan pembebasan lahan akibat penolakan dari warga lokal serta lambannya proses kontrak EPC membuat proyek tersebut tertunda hingga 5 tahun. SKK Migas dan pemerintah serta Mobil Cepu Limited, anak usaha ExxonMobil yang menjadi operator Blok Cepu, memperkirakan peak production Block Cepu akan dimulai awal 2014.

Pengembangan blok CEPU dilakukan oleh 5 EPC kontraktor dengan total nilai proyek US$1,25 miliar. EPC-1 (engineering, procurement and construction) bertanggungjawab untuk membangun fasilitas produksi; EPC-2 bertanggungjawab untuk melakukan desain dan instalasi pipa sepanjang 72 km; EPC-III mencakup konstruksi pipa lepas pantai dan fasilitas mooring; EPC-IV mencakup konstruksi floating storage and offloading (FSO) di lepas pantai dan EPC-V mencakup pengembangan reservoir untuk mendukung produksi melalui teknik injeksi air untuk mendorong minyak dan gas dari perut bumi serta fasilitas lain.

Blok Cepu sendiri diperkirakan memiliki cadangan minyak 600 juta barel dan gas 1,7 triliun cubic feet. Pengembangan gas bumi baru akan dimulai tahun 2015-2016 dan diperkirakan mulai berproduksi sebelum tahun 2019.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik hari Rabu (12/3/2014) mengakui keterlambatan produksi pada Blok Cepu. Padahal bila produksi puncak Blok Cepu dimulai awal tahun 2014 ini, maka akan menjadi catatan positif bagi pemerintahan SBY. Jero Wacik mengatakan di Bali, “Cepu terlambat. Kalau kemarin bisa jalan bulan Juni atau Juli, kita dapat tambahan 165,000 barel per hari. Setelah kita hitung-hitung, Cepu baru bisa produksi sekitar bulan September,” kata Jero Wacik.

Berbeda dengan Jero, Menteri Koordinator Perekenomian bahkan memperkirakan produksi puncak Blok Cepu baru dimulai akhir tahun 2014 atau awal tahun 2015.

Keterlambatan proyek Blok Cepu dengan segala permasalahannya menunjukkan betapa ribet dan rumitnya pengembangan sebuah blok Migas di Tanah Air. Untuk kasus Blok Cepu, dibutuhkan sekitar 14-15 tahun sebelum produksi puncak dimulai. Waktu yang terlalu panjang. Ada kesempatan untuk meningkatkan produksi minyak yang terbuang selama bertahun-tahun. Operator Blok Migas Cepu, Mobil Cepu Limited, anak usaha ExxonMobil, menghadapi berbagai masalah, mulai dari pembebasan lahan yang bertahun-tahun, perolehan izin membangun (IMB) yang sangat lama, sehingga memperlambat penentuan pemenang tender untuk membangun fasilitas produksi, dan masalah-masalah lainnya.

Pemerintah seharusnya bisa bercermin dan mengambil pelajaran dari kasus terlambatnya pengembangan Blok Cepu. Dalam beberapa tahun kedepan, ada beberapa blok migas besar yang akan dikembangkan, seperti Blok Masela (lapangan Abadi), pengembangan lanjutan proyek LNG Tangguh oleh BP (train-3), pengembangan lanjutan Blok Mahakam, Indonesia Deepwater Development (IDD) dan lainnya. Pemerintah perlu memberi sinyal yang jelas kepada pelaku usaha dan investor migas bahwa Indonesia menyambut baik dan mendukung pengembangan industri migas di Tanah Air, dengan tanpa mempertentangan antara pemain nasional dan global. Kedua-duanya dapat saling berkolaborasi, saling mendukung demi kemajuan industri migas nasional.

Kekurangan modal dan teknologi yang dimiliki perusahaan migas nasional, baik yang bergerak di sektor hulu (upstream) maupun yang bergerak di industri pendukung migas (supporting industries) dapat saling mendukung dan mengisi untuk tujuan yang sama, memajukan industri minyak dan gas bumi di tanah air. Tak bisa dipungkiri, ada beberapa blok migas yang membutuhkan kehadiran dan partisipasi investor asing migas, seperti dalam hal pengembangan Blok Masela oleh Inpex, East Natuna yang dikomandoi oleh Pertamina, IDD oleh Chevron, BP Tangguh train-3 oleh BP serta pengembangan lanjutan Blok Mahakam oleh Total E&P Indonesie (bersama mitranya Inpex).

Hanya saja, pengembangan lanjutan Blok Mahakam kini sedang digantung alias belum jelas karena kontrak Total E&P akan berakhir semester I 2017. Operator telah mengajukan keinginannya untuk memperpanjang hak pengelolaan blok tersebut. Belum jelas apakah hak pengelolaan Blok Mahakam (operatorship) akan diperpanjang, tidak diperpanjang atau pemerintah memutuskan opsi/skema baru yang melibatkan operator lama dengan skema baru. Idealnya, keputusan dilakukan antara 5-10 tahun sebelum kontrak berakhir. 
Namun, tampaknya keputusan terkait kontrak pengembangan Blok Mahakam bakal ditunda hingga setelah pemilu. Ataukah pemerintah SBY dapat membuat keputusan hak pengelolaan Blok Mahakam sebelum pemerintahannya berakhir? Kita tunggu saja. Yang jelas, semakin lama pemerintah menunda keputusan, semakin lama ketidakpastian yang dihadapi operator Blok Mahakam. Situasi ini juga berlaku bagi blok-blok migas lainnya yang kontraknya bakal berakhir dalam 5 tahun mendatang. (*)

No comments:

Post a Comment