Indonesia perlu
bekerja lebih serius lagi mendorong pengembangan energi panas bumi (geothermal) dengan
mengundang investor, baik lokal maupun asing. Saat ini, pengembangan energi
panas bumi, terkendala oleh berbagai peraturan dan tumpang tindih lembaga yang
mengawasi kawasan hutan, yang di dalamnya terdapat potensi panasbumi.
============
Heboh soal rencana pengembangan
energi panas bumi di Gunung Ciremai, Jawa Barat beberapa hari ini, mengingakan
penulis saat mengunjungi kawah Kamojang, di wilayah Kabupaten Garut beberapa
tahun silam. Kawah Kamojang ini berada di perbatasan Majalaya - Kabupaten Garut.
Kawah ini letaknya sekitar 25 km dari kota Garut dan 35 km dari kota Bandung.
Setelah menyusuri jalan berkelok-kelok, hawa sejuk di pagi hari sangat terasa,
mengingat Kawah Kamojang berada di ketinggian 1,000 meter dari permukaan laut.
Salah satu sumur di PLTP Kamojang |
Kawah Kamojang kini menjadi
obyek wisata cukup populer tidak saja bagi wisawatan lokal tapi juga wisatawan asing.
Dari Kawah Kamojang inilah sebenarnya awal dari pengembangan energi panas bumi
di Indonesia. Sebelum memasuki kawasan kawah Kamojang, kita akan melewati
Pembangkit Listrik Panas Bumi milik Pertamina Geothermal Energi (PGE) serta
milik PT Indonesia Power. Sebelum berkunjung ke Kamojang,
saya memang sudah membaca beberapa literatur
tentang Kamojang dan energi panas
bumi.
Kawah Kereta Api, Kawah Kamojang |
Sebelum memasuki kawah
Kamojang, kami ditahan oleh petugas penjaga kawasan hutang lindung Kamojang. Petugas
menanyai kami tujuan kesana untuk apa? Setelah kami mengatakan, bahwa kami
hanya turis biasa untuk melihat keindahan kawah kamojang, kami kemudian
dipersilahkan masuk. Petugas tersebut mengatakan bila kesana untuk tujuan
penelitian atau riset atau tujuan komersial harus mendapatkan izin terlebih
dahulu dari Departemen Kehuatan.
Ada suasana mistik saat
memasuki kawasan Kamojang. Konon, warga lokal memiliki legenda sendiri tentang
kawasan ini. Di sini katanya ada penunggunya, membuat bulu kuduk berdiri.
Namun, dalam hati saya bersyukur dapat melihat keindahan alam kawasan Kawah
Kamojang ini. Di dalam kawasan ini ada sebuah danau kecil, yang terus menerus
beruap. Airnya memang terasa hangat atau suam-suam kuku, sehingga terus beruap
atau berasap.
Tak jauh dari danau kecil itu,
kita akan melihat sebuah bekas sumur yang dibor pada zaman pemerintahan
Belanda, yang disebut kawah kereta, karena sesakili bergemuruh, sehingga
mengeluarkan suara seperti peluit kereta api, dengan kedalaman kurang dari 100
meter. Sumur ini sudah tidak aktif lagi. Tapi sumur ini membuktikan bahwa
pengembangan energi panas bumi di Indonesia sebetulnya sudah ada atau sudah
dimulai sejak sebelum Indonesia merdeka, yaitu tahun 1926. Komersialisasi panas
bumi baru dimulai tahun 1970-1980-an.
Sebenarnya, ada perasaan
khawatir ketika melewati PLTP Kamojang, tapi perasaan khawatir itu, hilang
ketika melihat anak-anak sekeloah berjalan dengan santainya di jalan menuju
sekolah. Pipa-pipa itu terbentang sepanjang jalan, di bawah pohon-pohon cemara,
membawa uap panas bumi dari sumur-sumur panas bumi menuju PLTP. Uap-uap itu
kemudian diproses untuk menggerakkan pembangkit listrik.
Bila kita menaruh tangan di
pipa tersebut, akan terasa hangat, tetapi dianjurkan untuk tidak melakukannya.
Saat kami melewati jalan, beberapa petugas PGE sedang melakukan pengecekan. Uap
air itu, sempat menyentuh mukanya, dan dia terlihat biasa saja. Kami
menghentikan mobil sebentar dan menyapa pekerja tersebut. “Sedang apa pak?”
ujar saya. “Sedang melakukan kontrol rutin saja,” ujarnya.
PLTP Kamojang merupakan PLTP Pertama
di Indonesia. Selain PLTP Kamojang, Indonesia sebenarnya sudah memiliki
beberapa pembangkit listrik panas bumi, antara lain yang dikembangkan dan
dioperasikan oleh PT Chevron Geothermal Indonesia. Rupanya, Chevron tidak saja
menjadi produsen minyak mentah terbesar di Indonesia, tapi juga pengembang
energi panas bumi terbesar di Indonesia, bahkan lebih besar dari PLTP milik
anak usaha Pertamina, Pertamina Geothermal Energi (PGE). Chevron saat ini mengembangkan
panas bumi PLTP Darajat dan PLTP Salak. Kedua PLTP ini – Darajat dan Salak menyuplai
energi terbarukan sebesar 630 megawatt (MW).
Pengembang energi panas bumi
berkepentingan agar kawasan hutan tetap terjaga, karena agar panas bumi tetap
mengeluarkan uap, memerlukan kelembaban dan tetesan air hujan. Secara
sederhana, ibarat batu panas terkena air, maka batu akan mengeluarkan uap atau
asap. Demikian juga panas bumi, sepanjang kelembawan bawah tanah terjaga,
kondisi uap panas bumi akan terjaga, dan sepanjang itu energi panas bumi
tersebut akan terus menghasilkan uap dan tak akan habis. Karena itu, energi panas
bumi masuk kategori energi terbarukan (renewable energy) dan ramah terhadap
lingkungan.
Indonesia patut bersyukur.
Letaknya yang berada di cincin api (ring of fire) yang membuat Indonesia
memiliki gunung api terbanyak di Indonesia, kondisi itu juga membawa manfaat.
Indonesia memiliki potensi energi panas bumi terbesar di dunia dengan potensi
energi mencapai 27,000 MW atau 27 Gigawatt. Namun, hingga saat ini, pemanfaatan
energi panas bumi masih di bawah 5 persen. Artinya, potensi pemanfaat panas
bumi masih sangat besar.
Karena itu, Indonesia perlu bekerja lebih serius lagi mendorong pengembangan energi panas bumi dengan mengundang investor, baik lokal maupun asing. Saat ini, pengembangan energi panas bumi, terkendala oleh berbagai peraturan dan tumpang tindih lembaga yang mengawasi kawasan hutan, yang di dalamnya terdapat potensi panasbumi.
Heboh Gunung Ciremai dijual ke beberapa
hari ini menggambarkan bahwa masyarakat kita masih terbawa berita-berita
sensasi yang tidak jelas asalnya. Apalagi, sebagian masyarakat menganggap
Gunung Ciremai sebagai gunung Keramat. Justru karena keramat, maka Gunung
tersebut, sama seperti gunung atau pegunungan lainnya tetap perlu dijaga.
Yang jelas, pemerintah telah melakukan tender pengembangan potensi panas bumi di Gunung Ciremai yang dimenangkan oleh anak perusahaan Chevron. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan Konservasi Energi (EBTKE) memastikan bahwa pengembangan proyek panas bumi yang terjadi saat ini tidak ada yang merusak lingkungan.
Yang jelas, pemerintah telah melakukan tender pengembangan potensi panas bumi di Gunung Ciremai yang dimenangkan oleh anak perusahaan Chevron. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan Konservasi Energi (EBTKE) memastikan bahwa pengembangan proyek panas bumi yang terjadi saat ini tidak ada yang merusak lingkungan.
Apa pesan dari kasus energi
panas bumi Ciremai? Pertama, bahwa masih ada salah persepsi di masyarakat
terkait energi panas bumi. Energi panas bumi termasuk energi yang ramah
lingkungan, jauh lebih clean dibanding dengan energi fosil. Karena itu, diperlukan
sosialisasi lebih baik lagi kepada masyarakat. Kedua, Indonesia perlu mendorong
pengembangan energi panas bumi lagi, karena saat ini pemanfaatanya belum sampai
5%. Termasuk mengundang investor lokal dan asing. Kehadiran investor sangat
dibutuhkan.
Ketiga, pemerintah perlu
mendukung pengembangan energi panas bumi dengan mengeluarkan dan membuat
peraturan yang kondusif. Bila ada tumpang tindih, segera diatasi, jangan
didiamkan saja seperti yang terjadi selama ini sehingga pelaku usaha menjadi
bingung. Keempat, pemerintah perlu berada di belakang pelaku usaha untuk
memberikan jaminan dan rasa aman berusaha. Bila tak didukung pemerintah, maka
investor akan ragu-ragu mengembangkan energi panas bumi. Sama seperti sektor
migas yang membutuhkan iklim investasi yang positif, demikian juga di sektor
energi panas bumi.
Kepastian usaha itu penting
sekali. Di industri minyak dan gas bumi, misalnya, pelaku usaha membutuhkan
kepastian usaha dari pemerintah. Ada beberapa faktor yang dapat menciptakan
ketidakpastian usaha, antara lain, tumpang tindih peraturan, izin yang banyak,
birokrasi yang rumit, serta ketidakpastian akan nasib kontrak migas yang akan
segera berakhir. Seperti kita ketahui, beberap blok migas akan berakhir kontraknya
dalam beberapa tahun kedepan, termasuk Blok Mahakam. Kontrak blok Mahakam akan
selesai semester pertama 2017. Saat ini, operator blok tersebut berada dalam
ketidakpastian, apakah operatorship diperpanjang atau tidak, atau ada skema
baru. Ketidakpastian keputusan
pemerintah, juga akhirnya mempengaruhi rencana investasi mereka saat
ini. (*)
Oleh Rachmat Dharmawan
Peneliti di Sebuah Lembaga Swasta & Penulis Lepas
Jakarta, 6 Maret 2014
Oleh Rachmat Dharmawan
Peneliti di Sebuah Lembaga Swasta & Penulis Lepas
Jakarta, 6 Maret 2014
No comments:
Post a Comment