Thursday 27 March 2014

BBM Bersubsidi -- Dibalik Saling Sindir Antara Hatta Rajasa dan Jero Wacik Soal Program RFID



Mandeknya program pengendalian BBM Bersubsidi melalui pemasangan Radio Frequency Identification (RFID) ini mempertontonkan kepada publik atas tidak efektifnya program pemerintah, khususnya Kementerian ESDM. Terkadang program pemerintah bagus di atas kertas, tapi tidak atau sulit dilakukan.


Isu bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi tampaknya selalu menjadi isu menarik dan seperti sebuah cerita yang tak pernah berakhir. Sejak era Orba, hingga saat ini, BBM bersubsidi masih terus diberikan dan dianggarkan oleh pemerintah. Entah mengapa, upaya pemerintah, termasuk upaya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama 10 tahun terakhir untuk mengurangi atau mengendalikan BBM bersubsidi tampaknya hanya lip service saja. Pemerintah tahu dan DPR juga tahu angka subsidi BBM sangat tinggi dan sangat membebani APBN, tapi atas nama “kepentingan rakyat” subsidi BBM terus dipelihara. 

Persoalannya, subsidi BBM tidak mencapai sasaran. Justru yang menikmati subsidi BBM adalah masyarakat perkotaan, pemilik mobil pribadi. Mayoritas masyarakat tidak menikmati subsidi BBM tersebut. Lalu mengapa subsidi BBM tetap dipertahankan? Tidak mungkin pemerintah mempertahankan bila tidak mendapatkan keuntungan dari subsidi. Tentu ada pihak-pihak tertentu yang menanggung untung dari langgengnya subsidi BBM. 

Dalam beberapa tahun terakhir, angka subsidi bertengger di level tinggi. Berdasarkan data yang ada, Banggar (Badan Anggaran) DPR menetapkan RAPBN 2014 sebesar Rp1,842.45 triliun. Subsidi BBM dan LPG ditetapkan sebesarn Rp210,9 triliun atau 11,4% dari total belanja pemerintah.

Melihat besarnya subsidi, maka pemerintah menelurkan program pengendalian penggunaan BBM bersubsidi melalui Radio Frequency Identification (RFID). Program ini sebenarnya sudah dirancang dan mulai dikampanyekan pemerintah dan Pertamina sejak 2012 lalu. Tahun 2013, sudah mulai diujicoba oleh Pertamina di SPBU. Namun, program ini rupanya tidak berjalan lancar seperti yang direncanakan. 

Cukup banyak pengamat dan masyarakat yang mempertanyakan program pengendalian melalui RFID ini. Secara teknis, memasang puluhan juta RFDI di setiap kendaraan tentu bukan pekerjaan yang mudah. Pemerintah melalui Kementerian ESDM menjelaskan bahwa RFDI ini berfungsi memonitor dan mengendalikan penggunaan BBM agar lebih tepat sasaran, meningkatkan akuntabilitas penyediaan dan distribusi BBM dan data strategis konsumsi bbm.

Pemerintah juga telah membuat peraturan sebagai landasan hukum untuk membangun System Monitoring dan Pengendalian BBM, yaitu melalui peraturan Menteri ESDM, No 1, 2013 tentang pengendalian penggunaan BBM. Kementerian ESDM menargetkan 1 Juni 2014 SMP BBM RFID sudah diimplementasikan di seluruh Indonesia. BPH Migas juga telah mengeluarkan peraturan (Peraturan Nomor 6, Tahun 2013 tentang penggunaan sistem teknologi informasi dalam penyaluran BBM.

Akhir tahun lalu, pemerintah dan Pertamina mulai memasang RFID di SPBU-SPBU di Jakarta sebagai uji coba. Namun, pemasangan di SPBU-SPBU itu memancing persoalan baru, yaitu kemacetan. Banyak kendaraan antre untuk memasang RFID. Anehnya, banyak mobil-mobil mewah antri. Lalu bila semua mobil dipasang RFID, lalu apa bedanya dengan kondisi sekarang dimana semua mobil boleh atau tidak dibatasi membeli BBM bersubsidi? 

Ditengah hiruk-pikuk pemasangan RFID tersebut, wakil gubernur DKI Ahok, melontarkan ide yang membuat merah Menteri ESDM dan petinggi Pertamina, yakni mau menghapus BBM bersubsidi di Jakarta. Alasannya, orang-orang Jakarta yang memiliki mobil tidak membutuhkan BBM bersubsidi. Bila masyarakat bisa membeli mobil pribadi, maka warga tersebut pun tentu bisa membeli BBM yang tidak disubsidi. Nah, bila rencana penghapusan subsidi BBM di Jakarta direalisasikan, berarti program pemasangan RFID itu pun bakal tidak berguna dan mubazir untuk wilayah Jakarta. 

Menteri Jero Wacik kala itu pun bimbang dan ragu. Di satu sisi Jero Wacik  sepakat bila ada pengendalian/pengurangan konsumsi BBM subsidi di Jakarta yang pada ujungnya nanti mengurangi beban terhadap APBN. Namun, di satu sisi, bila program RFID yang sudah disiapkan jauh-jauh hari itu tidak terlaksana, maka ini juga akan membuat malu kementeriannya dan pemerintah. Dana yang dikeluarkan untuk membuat RFID itu pun jadi mubazir. Padahal Pertamina dan PT INTI telah bekerjasama untuk memproduksi RFID. 

Lalu apa yang terjadi kemudian? Dalam beberapa bulan terakhir, kita tak mendengar lagi kabar adanya pemasangan RFID di mobil-mobil pribadi di SPBU-SPBU Pertamina. Apa yang terjadi? Apakah program tersebut telah dihentikan? Atau sedang dievaluasi? Publik tidak mendengar lagi, hingga beberapa hari lalu muncul pernyataan berupa sindiran dari Menko Perekonomian Hatta Rajasa.

Menteri Perokonomian Hatta Rajasa mengatakan, program pengendalian BBM bersubsidi jalan di tempat. Padahal saat ini pemerintah harus fokus agar konsumsi BBM bersubsidi tidak boleh melebihi kuota 48 juta kiloliter (kl) yang telah ditentukan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Menurut Hatta, karena besarnya impor BBM akan mengancam stabilitas ekonomi nasional karena tingginya konsumsi berhubungan dengan anggaran subsidi sehingga mengancam kesehatan fiskal.“Mana itu RFID, ngomong doang capek kita, mana itu pengendalian,” keluh Hatta.

Hatta tidak secara langsung mengkritik Menteri ESDM Jero Wacik, koleganya di kabinet. Namun, pernyataan Hatta tersebut jelas arahnya kemana dan kepada siapa. Pihak yang “kena tembak”, yakni Menteri ESDM Jero Wacik langsung angkat suara dan membela diri.

Jero Wacik membela diri dengan mengatakan bahwa pengendalian subsidi BBM dengan cara memasang RFID merupakan langkah yang sulit yang dilakukan oleh pemerintah. Namun demikian Kementerian ESDM bersama Badan Pengatur Hilir minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) terus memonitor program ini hingga tuntas.

“RFID ini kan masangnya ribet sampai sekarang masih dalam tingkat pemasangan. Jadi ini bukan omdo (omong doang, red) ya, tapi memang belum sukses,” kata dia. Apapun alasan Menteri Jero Wacik, yang jelas program pengendalian konsumsi BBM subsidi ini hingga saat ini seperti jalan ditempat. Suara-suara pesimisme bahwa program ini bakal ‘Gatot’ alias gagal total pun mulai muncul. Tujuan pemasangan RFID itu memang secara teknis akan membantu pemerintah memantau berapa konsumsi BBM konsumen. Tapi, itu baru sebatas mencatat data. Lalu apa yang akan dilakukan pemerintah? Apakah pemerintah membatasi konsumen tersebut untuk membeli BBM bersubsidi? Apa dan bagaimana pemerintah mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi melalui pemasangan RFID ini pun masih kabur. 

Kegagalan program RFID ini mempertontonkan kepada publik bahwa cukup banyak program pemerintah, khususnya Kementerian ESDM yang tidak efektif. Ini juga mencerminkan fakta bahwa terkadang program pemerintah bagus di atas kertas, tapi tidak atau sulit dilakukan. Kegagalan program RFID ini hanya merupakan salah satu contoh tidak efektifnya program-program pemerintah, khususnya Kementerian ESDM. Selama dua periode pemerintahan SBY, sulit melihat kesuksesan di sektor energi. Yang terjadi kemandekan dan kemunduran. Lihat saja produksi minyak yang terus turun, investasi migas juga tidak jalan, alias stagnan. Belum lagi kalau kita bicara crash program 10,000 MW tahap I dan tahap II. Crash program tahap II yang mengandalkan pengembangan panas bumi dan hydropower tidak jalan. 

Banyak keputusan juga yang menggantung sehingga menambah ketidakpastian, khususnya di sektor minyak dan gas bumi. Keputusan terkait blok-blok migas yang kontraknya berakhir, termasuk Blok Mahakam, masih digantung sehingga membuat rencana investasi pengembangan blok tersebut sementara ditahan (hold) sehingga dapat berdampak pada pengurangan produksi. Padahal Indonesia saat ini membutuhkan banyak minyak dan gas bumi. Penurunan produksi migas, khususnya gas bumi, akan berdampak pada pengurangan pendapatan pemerintah dan pembengkakan belanja untuk mengimpor. (*)

No comments:

Post a Comment