Sunday 24 August 2014

Eksplorasi Total E&P di Blok Mentawai Indonesia Akan Selesai Pada Awal September

Blok Mentawai
Potensi minyak dan gas bumi untuk blok Bengkulu I Mentawai di lepas pantai Bengkulu terus dieskplor. Para ahli mengestimasi bahwa, potensi blok yang dikelola oleh perusahaan asal Perancis, Total E&P Indonesie Mentawai B.V, itu akan diketahui dalam dua pekan ke depan.

“Kami sudah melakukan pengeboran sejak minggu kedua bulan Juli lalu. Saat ini kedalaman sumur rendang 1X tersebut baru sedalam 1.300 meter dan itu akan dibor lagi hingga 500 sampai 600 meter,” ujar President and General Manager Total E&P Indonesia Mentawai Hardy Pramono

"Eksplorasi pada sumur rendang-1 pada blok mentawai ini akan kami teliti dahulu hasilnya, jika dinilai baik maka akan kami lanjutkan eksplorasi tahap 2 hingga 4 untuk mengukur luasan dan estimasi cadangan yang terkandung dalam kawasan eksplorasi. Dari hasil eksplorasi kita di seluruh belahan dunia, peluangnya itu 10 sampai 15 persen saja yang berhasil. Begitu juga untuk eksplorasi yang kita lakukan saat ini, namun peluangnya tetap ada,” tambahnya.

Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah juga mengharapkan agar usaha yang telah dilakukan oleh Total akan berhasil. Selain bisa memberi manfaat untuk Bengkulu, juga mengingat biaya operasional yang telah dikeluarkan oleh Total cukup besar.

“Biayanya yang mereka keluarkan untuk eksplorasi ini satu harinya menghabiskan Rp1 miliar. Dana itu murni dari mereka. Bukan main dana tersebut, sementara eksplorasi ini belum tentu membuahkan hasil," imbuh Junaidi.

Sementara itu, Kepala SKK Migas Johanes Widjonarko mengatakan bahwa eksplorasi laut dalam di Samudra Hindia merupakan yang kedua dilakukan setelah eksplorasi di Selat Makasar.

"Untuk eksplorasi ini, kita lihat resikonya sangat tinggi, apalagi wilayah yang dibor sangat rawan terhadap bencana alam gempa bawah laut. Tapi kita yakin dengan kemampuan Total E&P yang memiliki standarisasi keamanan tinggi, semuanya bisa diatasi," tutur Widjonarko.



Apabila hasil eksplorasi ini berhasil menemukan kandungan minyak atau gas, berarti akan menjadi pionir membuka kawasan atau ladang minyak dan gas baru di wilayah dengan risiko bencana tinggi. Secara ekonomis, upaya menemukan cadangan minyak dan gas di kawasan baru akan berpengaruh pada peningkatan ekonomi negara secara makro.



Apabila kandungan yang ditemukan adalah minyak, maka bisa dilakukan eksploitasi dalam waktu tiga tahun ke depan. Namun apabila kandungan yang ditemukan adalah gas alam, maka waktu rencana eksploitasi akan relatif lebih lama, bisa saja lima ataupun enam tahun ke depan. 



Wednesday 20 August 2014

Ganti BBM dengan BBG!

Bahan Bakar Gas
Isu soal pencabutan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) semakin memanas. Banyak yang sudah menagih jawaban ke Presiden Terpilih Jokowi padahal beliau belum lagi dilantik. Sebenarnya untuk mengurangi beban BBM, ada jalan lain selain subsidi yang membengkak.

Apabila pemerintah mau serius melakukan konversi BBM ke Bahan Bakar Gas (BBG), maka subsidi BBM yang nilainya mencapai Rp 200 triliun akan lebih bisa teratasi. Harga BBG jauh lebih murah dari BBM, namun yang disayangkan adalah jumlah SPBG masih langka.

SPBG masih jarang karena investasinya lebih mahal ketimbang membuka SPBU. Mungkin apabila SPBG menjamur, pengurangan subsidi BBM akhirnya bisa dilakukan, karena masyarakat punya pilihan bahan bakar selain bensin yang mahal dan memberatkan beban negara pula.

"Membangun SPBG investasi mahal, balik modalnya lama. Mendirikan SPBG lebih mahal dari SPBU. Semua peralatan SPBG lebih mahal. Contohnya Nozzle di SPBG Rp 25 juta/unit, kalau SPBU nozzle hanya Rp 5 juta/unit. Belum lagi beli mesin (engine) gas harganya Rp 4,5 miliar, belum lagi kompresor, storage tabung, pipa itu sangat mahal," jelas Site Manager SPBG Petross PT Petross Gas Adin Nurhadi.

Harga converter kit yang mahal menjadi salah satu faktor utama rendahnya pemilik kendaraan yang menggunakan bahan bakar gas (BBG). Adin mengatakan bahwa converter kit yang dijual di pasar otomotif Jakarta terbagi menjadi 4 tipe yaitu I, II, III dan IV. Semakin tinggi tipe maka tabung yang dijual semakin mahal. "Harga tipe I dan II Rp 15 juta/tabung. Tipe III atau IV Rp 20 juta/tabung. Kalau tipe III dan IV ini lebih ringan karena bahannya dari alumunium dan serat fiber. Kalau I dan II murni besi jadi berat," paparnya.

Semakin berat tabung, maka semakin kecil tekanan yang dihasilkan. Sebaliknya, semakin tinggi tekanan yang dihasilkan maka kinerja mesin penggerak kendaraan semakin baik. "Converter kit tipe III dan IV tekanan tinggi sanggup rata-rata sampai 250 bar saat dia bekerja. Kalau tipe I dan II hanya 200 bar. Converter kit di Jakarta banyak dijual di daerah Mampang, Jakarta Selatan," paparnya.

Harga converter tergantung pada kapasitas isi gas yang bisa dimuat. Rata-rata setiap tabung untuk mobil pribadi hanya mempunyai kapitas isi 10 liter. Sedangkan bajaj hanya 5 liter dan bus TransJakarta 20 liter.

Gas memang menjadi alternatif yang paling ramah lingkungan hingga menuju ke energi yang benar-benar terbarukan. Gas juga menjadi pilihan yang ramah lingkungan. Apalagi dengan krisis energi yang akan segera dialami oleh Indonesia, gas bisa menjadi solusi bagi Indonesia.


Thursday 14 August 2014

Krisis Energi Indonesia Akan Melanda Jawa dan Bali

kebutuhan energi
Jawa dan Bali, pusat perekonomian Indonesia, sedang menuju ke krisis energi lebih awal dari yang sudah diprediksi sebelumnya karena suplai energi dari beberapa pembangkit tenaga listrik utama terhambat meskipun kebutuhan energi dari perindustrian justru meningkat.

Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengeluarkan peringatan bahwa penurunan cadangan energi untuk kawasan Jawa-Bali akan mencapai tingkat yang meresahkan pada tahun 2016, lebih awal dari prediksi sebelumnya yaitu setelah tahun 2018.

Direktur PLN Nasri Sebayang mengatakan bahwa margin cadangan sekarang berada pada sekitar 27 persen, yang mana lebih rendah dari tingkat ideal yakni 30 persen. “Hati-hati lho, 2016 Jawa-Bali sudah mulai krisis listrik. Jadi bukan 2018, tapi mulainya 2016. Kita harus punya program untuk menjaga agar tidak kekurangan margin, dengan membangun PLTGU, agar tidak terjadi krisis yang gawat,” tandasnya.

Selain itu, margin space yang dimiliki Pulau Jawa-Bali sekitar 25 persen dari total kebutuhan tampaknya tidak memiliki andil yang cukup untuk mengatasi hal tersebut. Sebab, volume pemakaian di kedua pulau itu sangat tinggi, berbeda dengan wilayah lain. Oleh karena itu, dia juga menyebutkan bahwa PLN harus memiliki program-program, seperti pembangunan PLTG.

Salah satu faktor akan terjadinya krisis energi tersebut juga adalah karena Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 2 x 1.000 megawatt (MW) di Batang, Jawa Tengah sudah dipastikan tidak akan selesai tepat waktu, yakni pada 2018-2019.

"Rapat dengan Menko Perekonomian diputuskan akan dicari lahan lain untuk membangun PLTU dengan kapasitas yang sama untuk mengantikan PLTU Batang. Jika tidak ada upaya pembangunan pembangkit tambahan untuk menutupi kapasitas PLTU Batang yang molor, maka Jawa akan krisis listrik" pungkas Direktur Jenderal (Dirjen) Ketenagalistrikan Kementerian ESDM,  Jarman.

Lebih jauh lagi, Direktur Perencanaan dan Afiliasi PT PLN (Persero) Murtaqi Syamsuddin mengatakan bahwa kebutuhan listrik Jawa-Bali pada 2018 mencapai 32.346 MW, sementara pada 2018 kapasitas terpasang pembangkit PLN dan IPP mencapai 30.261 MW. Tentunya apabila PLTU Batang tidak masuk kapasitas terpasang pembangkit listrik di Jawa-Bali hanya 28.261 MW sementara kebutuhannya khususnya pada beban puncak pada 2018 mencapai 32.346 MW.


Jawa yang mengalami krisis energi akan mendapat perhatian penuh, padahal kita sering lupa bahwa di luar Jawa, krisis energi sudah menjadi hal yang lumrah dan biasa. Seharusnya pemerintah juga memberikan perhatian lebih ke pasokan energi di seluruh pelosok Indonesia.

Monday 4 August 2014

Kini Perusahaan Tambang Harus Membangun Smelter di Indonesia

smelter
Akhir bulan lalu, pemerintah mengeluarkan aturan baru seputar bea keluar (BK) untuk hasil tambang. Apabila suatu perusahaan berkomitmen membangun fasilitas pemurnian (smelter) maka BK yang dikenakan bisa semakin berkurang. "BK bukan merupakan target penerimaan negara. BK itu adalah alat untuk memaksa si penambang untuk membangun smelter, membuat proses hilirisasi. Tujuannya adalah untuk memaksa membangun smelter, bukan penerimaan negara," tutur Chairul Tanjung, Menteri Perekonomian Indonesia.

Untuk pembangunan smelter 0-7,5% ditambah jaminan kesungguhan akan dikenakan tarif 7,5%. Kemudian pembangunan smelter 7,5-30% dikenakan tarif BK 5%. Lalu untuk pembangunan smelter di atas 30%, tarif BK sudah terhitung 0%. Bagi perusahaan yang tidak membangun smelter, akan dikenakan tarif BK lama. Besarannya adalah 20-60% selama tiga tahun ke depan. "Satu dia harus bayar uang jaminan kesungguhan, kalo enggak salah, salah satu perusahaan itu sudah bayar USD115 juta, berarti Rp1,3 triliun ditaruh uangnya dijaminan kesungguhan," terang Menteri Keuangan Chatib Basri.

"Nah ditetapkanlah setelah dibuat perhitungan itu angkanya 7,5 persen. Kalau si perusahaan taruh uang investasinya 7,5 persen dia dapet bayar bea keluarnya 7,5 persen. Kemudian kalau dia invest lagi sampai 30 persen, dia turun jadi 5 persen. Nah point of now returnnya adalah 30 persen, jadi kalau perusahaan sudah taruh uangnya 30 persen itu nggak mungkin dia berhenti. Karena nilai investasinya sekitar 23-25 triliun. Sekitar segitu untuk smelter itu. Jadi kalau 30 persen itu kan sekitar Rp8 triliun, nggak mungkinlah orang bangun Rp8 triliun trus dia diem aja," jelasnya.

Lebih lanjut lagi Chatib menjelaskan bahwa pemerintah akan melakukan review terhadap perusahaan yang telah berkomitmen ingin bangun smelter di Indonesia setiap enam bulan sekali. "Yang penting bea keluar akan menurun sesuai progres smelter. Kalau dia enggak bangun, ESDM enggak akan kasih rekomendasi ekspor Kalau dia nggak nambah investasinya tetap 7,5 persen, itu bea keluarnya nggak bisa turun. Kalau dia nambah, bea keluarnya itu turun," ungkapnya.

Di sisi lain, dari pihak penambang Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Sulsel, Amirullah Abbas mengungkapkan bahwa keringanan ekspor bahan mentah diharapkan hanya untuk satu tahun ke depan dengan catatan menaikkan pajak bagi pengusaha. "Jika biasanya pengusaha membayar pajak ‎pertambangan 20 persen, kami usul naik 30 persen, jadi tetap ada kewajiban yang harus dipenuhi pengusaha sesuai kadar bahan yang diekspor," pungkas Amirullah.

Menurut Amirullah, para pengusaha tambang merugi hingga 6 miliar USD karena terhentinya operasi tambang sejak pemberlakuan larangan ekspor mentah per Januari lalu.


Apakah kebijakan pengharusan pembangunan smelter benar akan menguntungkan Indonesia? Atau jangan-jangan malah membuat banyak perusahaan tambang hengkang dari Indonesia? Kita berharap saja bahwa pemerintah akan berlapang hati untuk mengevaluasi kebijakannya apabila ternyata peraturan tersebut lebih banyak dampak negatifnya daripada positifnya.