Monday 4 August 2014

Kini Perusahaan Tambang Harus Membangun Smelter di Indonesia

smelter
Akhir bulan lalu, pemerintah mengeluarkan aturan baru seputar bea keluar (BK) untuk hasil tambang. Apabila suatu perusahaan berkomitmen membangun fasilitas pemurnian (smelter) maka BK yang dikenakan bisa semakin berkurang. "BK bukan merupakan target penerimaan negara. BK itu adalah alat untuk memaksa si penambang untuk membangun smelter, membuat proses hilirisasi. Tujuannya adalah untuk memaksa membangun smelter, bukan penerimaan negara," tutur Chairul Tanjung, Menteri Perekonomian Indonesia.

Untuk pembangunan smelter 0-7,5% ditambah jaminan kesungguhan akan dikenakan tarif 7,5%. Kemudian pembangunan smelter 7,5-30% dikenakan tarif BK 5%. Lalu untuk pembangunan smelter di atas 30%, tarif BK sudah terhitung 0%. Bagi perusahaan yang tidak membangun smelter, akan dikenakan tarif BK lama. Besarannya adalah 20-60% selama tiga tahun ke depan. "Satu dia harus bayar uang jaminan kesungguhan, kalo enggak salah, salah satu perusahaan itu sudah bayar USD115 juta, berarti Rp1,3 triliun ditaruh uangnya dijaminan kesungguhan," terang Menteri Keuangan Chatib Basri.

"Nah ditetapkanlah setelah dibuat perhitungan itu angkanya 7,5 persen. Kalau si perusahaan taruh uang investasinya 7,5 persen dia dapet bayar bea keluarnya 7,5 persen. Kemudian kalau dia invest lagi sampai 30 persen, dia turun jadi 5 persen. Nah point of now returnnya adalah 30 persen, jadi kalau perusahaan sudah taruh uangnya 30 persen itu nggak mungkin dia berhenti. Karena nilai investasinya sekitar 23-25 triliun. Sekitar segitu untuk smelter itu. Jadi kalau 30 persen itu kan sekitar Rp8 triliun, nggak mungkinlah orang bangun Rp8 triliun trus dia diem aja," jelasnya.

Lebih lanjut lagi Chatib menjelaskan bahwa pemerintah akan melakukan review terhadap perusahaan yang telah berkomitmen ingin bangun smelter di Indonesia setiap enam bulan sekali. "Yang penting bea keluar akan menurun sesuai progres smelter. Kalau dia enggak bangun, ESDM enggak akan kasih rekomendasi ekspor Kalau dia nggak nambah investasinya tetap 7,5 persen, itu bea keluarnya nggak bisa turun. Kalau dia nambah, bea keluarnya itu turun," ungkapnya.

Di sisi lain, dari pihak penambang Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Sulsel, Amirullah Abbas mengungkapkan bahwa keringanan ekspor bahan mentah diharapkan hanya untuk satu tahun ke depan dengan catatan menaikkan pajak bagi pengusaha. "Jika biasanya pengusaha membayar pajak ‎pertambangan 20 persen, kami usul naik 30 persen, jadi tetap ada kewajiban yang harus dipenuhi pengusaha sesuai kadar bahan yang diekspor," pungkas Amirullah.

Menurut Amirullah, para pengusaha tambang merugi hingga 6 miliar USD karena terhentinya operasi tambang sejak pemberlakuan larangan ekspor mentah per Januari lalu.


Apakah kebijakan pengharusan pembangunan smelter benar akan menguntungkan Indonesia? Atau jangan-jangan malah membuat banyak perusahaan tambang hengkang dari Indonesia? Kita berharap saja bahwa pemerintah akan berlapang hati untuk mengevaluasi kebijakannya apabila ternyata peraturan tersebut lebih banyak dampak negatifnya daripada positifnya.

No comments:

Post a Comment