smelter |
Akhir bulan lalu, pemerintah mengeluarkan aturan baru
seputar bea keluar (BK) untuk hasil tambang. Apabila suatu perusahaan
berkomitmen membangun fasilitas pemurnian (smelter) maka BK yang dikenakan bisa
semakin berkurang. "BK bukan merupakan target penerimaan negara. BK itu
adalah alat untuk memaksa si penambang untuk membangun smelter, membuat proses
hilirisasi. Tujuannya adalah untuk memaksa membangun smelter, bukan penerimaan
negara," tutur Chairul Tanjung, Menteri Perekonomian Indonesia.
Untuk pembangunan smelter 0-7,5% ditambah jaminan
kesungguhan akan dikenakan tarif 7,5%. Kemudian pembangunan smelter 7,5-30%
dikenakan tarif BK 5%. Lalu untuk pembangunan smelter di atas 30%, tarif BK
sudah terhitung 0%. Bagi perusahaan yang tidak membangun smelter, akan
dikenakan tarif BK lama. Besarannya adalah 20-60% selama tiga tahun ke depan. "Satu
dia harus bayar uang jaminan kesungguhan, kalo enggak salah, salah satu
perusahaan itu sudah bayar USD115 juta, berarti Rp1,3 triliun ditaruh uangnya
dijaminan kesungguhan," terang Menteri Keuangan Chatib Basri.
"Nah ditetapkanlah setelah dibuat perhitungan itu
angkanya 7,5 persen. Kalau si perusahaan taruh uang investasinya 7,5 persen dia
dapet bayar bea keluarnya 7,5 persen. Kemudian kalau dia invest lagi sampai 30
persen, dia turun jadi 5 persen. Nah point of now returnnya adalah 30 persen,
jadi kalau perusahaan sudah taruh uangnya 30 persen itu nggak mungkin dia
berhenti. Karena nilai investasinya sekitar 23-25 triliun. Sekitar segitu untuk
smelter itu. Jadi kalau 30 persen itu kan sekitar Rp8 triliun, nggak mungkinlah
orang bangun Rp8 triliun trus dia diem aja," jelasnya.
Lebih lanjut lagi Chatib menjelaskan bahwa pemerintah akan
melakukan review terhadap perusahaan yang telah berkomitmen ingin bangun
smelter di Indonesia setiap enam bulan sekali. "Yang penting bea keluar
akan menurun sesuai progres smelter. Kalau dia enggak bangun, ESDM enggak akan
kasih rekomendasi ekspor Kalau dia nggak nambah investasinya tetap 7,5 persen,
itu bea keluarnya nggak bisa turun. Kalau dia nambah, bea keluarnya itu
turun," ungkapnya.
Di sisi lain, dari pihak penambang Ketua Perhimpunan Ahli
Pertambangan Indonesia (Perhapi) Sulsel, Amirullah Abbas mengungkapkan bahwa
keringanan ekspor bahan mentah diharapkan hanya untuk satu tahun ke depan
dengan catatan menaikkan pajak bagi pengusaha. "Jika biasanya pengusaha
membayar pajak pertambangan 20 persen, kami usul naik 30 persen, jadi tetap
ada kewajiban yang harus dipenuhi pengusaha sesuai kadar bahan yang
diekspor," pungkas Amirullah.
Menurut Amirullah, para pengusaha tambang merugi hingga 6
miliar USD karena terhentinya operasi tambang sejak pemberlakuan larangan
ekspor mentah per Januari lalu.
Apakah kebijakan pengharusan pembangunan smelter benar akan
menguntungkan Indonesia? Atau jangan-jangan malah membuat banyak perusahaan
tambang hengkang dari Indonesia? Kita berharap saja bahwa pemerintah akan
berlapang hati untuk mengevaluasi kebijakannya apabila ternyata peraturan
tersebut lebih banyak dampak negatifnya daripada positifnya.
No comments:
Post a Comment