Monday 30 September 2013

Pajak Eksplorasi Migas Hambat Investasi



Fasilitas produksi BP Tangguh
Salah satu cara untuk mendorong kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi di Indonesia adalah dengan memberikan insentif fiskal. Namun, yang terjadi saat ini adalah dis-insentif fiskal berupa pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dalam kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi (Migas).

Pengenaan pajak pada kegiatan eksplorasi migas dinilai pelaku industri migas menjadi salah satu biang keladi rendahnya tingkat investasi pada kegiatan eksplorasi atau pencarian ladang minyak dan gas bumi di Indonesia. 


Presiden Indonesia Petroleum Association (IPA) Lukman Mahfoedz dalam keterangan tertulisnnya mengatakan pengenaan pajak tersebut dinilai tidak sejalan dengan keinginan pemerintah menggiatkan aktivitas ekplorasi di Tanah Air. Karena itu, ia meminta pemeirntah untuk meninjau kembali PBB di kegiatan eksplorasi. Tujuan penghapusannya adalah untuk meningkatkan iklim investasi dan situasi yang kondusif serta untuk mendorong pengusaha hulu migas agar lebih aktif lagi, terutama ekplorasi di lepas pantai dan frontier area.


Logikanya sebetulny sederhana. Kegiatan eksplorasi adalah kegiatan pencarian minyak dan gas bumi. Kegiatan eksplorasi bisa berhasil menemukan cadangan minyak dan gas yang cukup untuk diproduksi, tapi bisa juga gagal menemukan cadangan minyak dan gas. Bagi pelaku industri, kegiatan eksplorasi dipandang sebagai investasi, bila berhasil menemukan akan menghasilkan return yang tinggi. Namun, bila gagal menemukan cadangan migas, maka investasi tersebut dinilai gagal.

Pengalaman pelaku industri migas saat ini, dalam kegiatan eksplorasi migas, tingkat keberhasilannya adalah sekitar 10-20 percent. Artinya kemungkinan gagal lebih besar kemungkinan “berhasil” menemukan cadangan minyak. Pada tahun 2011, misalnya, perusahaan-perusahan migas eksplorasi mencatat sekitar US$800 juga dianggap investasi yang hilang karena tidak menemukan cadangan migas.

Kegiatan eksplorasi migas memang seharusnya dianggap sebagai investasi, karena itu wajar bila pelaku industri migas meminta pemerintah untuk menghapus pengenaan pajak dan bumi (PBB) pada kegiatan eksplorasi migas. Saat ini merupakan momen tepat untuk menghapus pajak PBB pada kegiatan eksplorasi migas.

Perhitungan dan pengenaan PBB tersebut berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 79/2010. Berdasarkan peraturan itu, perusahaan-perusahaan migas diwajibkan untuk membayar PBB dengan memperhitungkan seluruh luas wilyah kerja lepas pantai walaupun belum dimanfaatkan seluruhnya. Itu memberatkan mengingat ukuran dan besaran blok eksplorasi mencapai ribuan kilometer persegi.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP), lanjut Lukman, akhir Juni 2013 lalu mengeluarkan tagihan PBB untuk tahun 2012 dan 2013 mencapai total sebesar Rp2,6 triliun kepada 15 perusahaan hulu migas yang mengoperasikan 20 blok eksplorasi lepas pantai. Besaran PBB berkisar antara Rp40 miliar hingga Rp190 miliar per blok. Jumlah ini bahkan melebihi anggaran kegiatan ekplorasi di blok itu sendiri. “Sulit bagi pengusaha migas membayar PBB tersebut, padahal eksplorasi belum tentu berhasil. Kemudian, kalaupun berhasil, area yang dimanfaatkan juga hanya sebagian kecil dari wilayah tersebut,” jelasnya. 

Pada konteks ini kita mendukung langkah IPA untuk menyurati Direktor General Perpajakan (Dirjen Pajak) untuk menghapus pengenaan PBB pada perusahaan ekplorasi minyak dan gas bumi.

Kementerian ESDM tampaknya mendukung langkah IPA untuk meminta pemerintah untuk merevisi penetapan Pajak Bumi dan Bagungan dalam kegiaan eksplorasi. Dukungan tersebut tercermin pada pernyataan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Susilo Siswo Utomo Jumat lalgu.    

Publik, khususnya pelaku industri migas, tentu berharap agar permintaan penghapusan PBB eksplorasi migas dihapuskan saja. Pemerintah memang akan rugi dalam jangka pendek karena kehilangan sumber pajak tapi akan mendapat manfaat berkali lipat dalam jangka menengah panjang.  Beberapa perusahaan migas baik yang besar maupun kecil sedang giat-giatnya melakukan eksplorasi migas. Perusahaan-perusahaan minyak besar yang sudah besar seperti Total E&P Indonesie, BP, Chevron tentu akan terdorong untuk meningkatkan kegiatan eksplorasi. Perusahaan-perusahaan yang sedang naik daun seperti Niko Resources, yang saat ini fokus di laut dalam, tentu juga akan meningkatkan investasi mereka. 

Tugas pemerintah adalah menciptakan iklim investasi yang positif sehingga investor, baik lokal maupun asing terdorong untuk meningkatkan investasi pada kegiatan eksplorasi. (*)
 


No comments:

Post a Comment