Wednesday 9 October 2013

Nasionalisasi Migas dan Ketahanan Energi Indonesia

Untuk memajukan industri minyak dan gas bumi (Migas), Indonesia tidak perlu melakukan nasionalisasi industri migas. Yang dibutuhkan adalah bergandengan tangan dan sharing risk dalam memajukan industri migas nasional agar ketahanan energi (energy security) tercapai. Gerakan anti-asing atau nasionalisasi dapat menjadi bumerang dan akan merugikan Indonesia sendiri.

==============

Isu ketahanan energi tidak pernah pudar. Pasalnya, energi sangat vital bagi rumah tangga, industri dan perekonomian dalam skala luas. Energi dibutuhkan dalam rumah tangga dalam bentuk energi listrik dan bentuk lainnya. Industri memerlukan energi untuk menggerakan roda usaha. Kita tidak bisa membayangkan bila tidak ada energi, bisa-bisa ekonomi lumpuh dan mengalami shutdown. Karena itu penting untuk menjaga kesinambungan ketersedian energi, baik dalam bentuk minyak, gas bumi atau listrik atau bentuk derivatifnya.

Indonesia beruntung karena tersedia berbagai jenis sumber daya energi yang dapat dimanfaatkan, mulai dari minyak, gas bumi, listri, panas bumi maupun berbagai bentuk energi baru dan terbarukan.  Tidak banyak negara di dunia yang memiliki sumber daya energi selengkap Indonesia. Namun harus diakui, ketersediaan energi terbatas khususnya sumber energi fosil, seperti minyak bumi. Cadangan minyak Indonesia terus menurun yang berujung pada penurunan produksi. Produksi gas bumi stabil tapi berpotensi menurun dimasa mendatang.

Agar produksi minyak bumi tidak turun drastis dan gas bumi tidak menurun diperlukan investasi. Investasi diperlukan untuk meningkatkan produksi dari cadangan yang ada. Investasi juga dibutuhkan untuk meningkatkan cadangan minyak dan gas bumi. Investasi diperlukan untuk menjamin ketersediaan berbagai bentuk jenis sumber energi yang dibutuhkan oleh bangsa ini saat ini maupun dimasa mendatang.

Investasi diperlukan untuk memenuhi kebutuhan energi bagi anak cucu kita. Energi yang dikonsumsi saat ini merupakan hasil investasi dan kerja keras para pendahulu. Maka sewajarnya generasi sekarang berinvestasi untuk eksplorasi untuk memenuhi kebutuhan energi dimasa mendatang.
 
Pertanyaannya, darimana datangnya investasi. Investasi bisa datang dari perusahaan atau investor dari dalam negeri tapi juga dari luar negeri atau perusahaan-perusahaan multi nasional. Tapi mengapa tidak banyak perusahaan nasional yang berani berinvestasi untuk mencari cadangan minyak dan gas bumi? Tidak banyak perusahaan nasional gas yang masuk ke industri migas, untuk mencari minyak dan gas bumi. Jumlah perusahaan migas nasional masih dalam proses perkembangan. Kita sejauh ini hanya mengenal Pertamina, Medco Energi, Energi Mega Persada dan beberapa perusahaan lainnya. Karena itu, kita tidak bisa mengandalkan perusahaan dalam negeri untuk berinvestasi. Indonesia juga membutuhkan investasi asing dan perusahaan migas multinasional untuk berinvestasi di sektor migas, khususnya eksplorasi.

Ada banyak alasan mengapa perusahaan nasional migas tidak banyak. Salah satu alasan adalah industri migas membutuhkan capital yang besar dan teknologi yang tinggi. Disamping itu, tingkat risiko investasi di sektor migas, khususnya untuk eksplorasi tergolong tinggi, karena tingkat kesuksesan menemukan cadangan hanya berkisar 10-20 persen. Lebih sering kita mendengar perusahaan migas tidak menemukan apa-apa atau dryhole. Artinya, uang terbuang begitu saja. Hanya perusahaan migas besar yang mampu menyerap risko kerugian tersebut. 

Karena itu, secara realitas Indonesia masih membutuhkan kehadiran perusahaan multinasional (MNC) migas di Indonesia. Pemerintah, seperti yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Bali dalam forum APEC awal minggu ini menyatakan komtimen Indonesia untuk membuka pintu bagi investasi asing. Indonesia membutuhkan Rp10.000 triliun investasi dalam beberapa tahun mendatang, baik untuk infrastruktur maupun di industri-industri lainnya.

Untuk mendorong investasi di sektor migas, pemerintah perlu membereskan berbagai hambatan birokrasi, khususnya perizinan. Pemerintah sendiri sudah berkomitmen untuk memangkas berbagai persyaratan agar perizinan lebih efisien dan cepat. Berbagai hambatan non-teknis lainya masih perlu dihilangkan.

Di tengah upaya pemerintah mengundang investasi, muncul upaya sekelompok elemen masyarakat untuk menasionalisasi industri migas. Tidak begitu jelas apa yang dimaksudkan dengan nasionalisasi migas. Bentuknya seperti apa juga tidak dijelaskan. Lebih kepada upaya untuk mencari simpati publik, yang dibutuhkan jelang Pemilihan Umum 2014. Isu nasionalisasi memang dapat menjual. Tapi lebih sering gerakan nasionalisasi ini dimotori oleh politisi-politisi yang tentu memiliki kepentingan tersendiri.

Kemurnian gerakan nasionalisasi industri migas juga baru-baru ini menghadapi pukulan berat karena salah satu tokoh dibalik itu, Akil Mochtar, Ketua Mahkamah Konstitusi, terlibat skandal korupsi. Akil Mochtar bersama Mahfud MD adalah dua hakim agung MK yang tergolong sangat getol meng-almarhumkan BPMIGAS. Pembubaran BPMIGAS, bagi sebagian pengamat, dianggap sebagai kecelakaan sejarah karena proses pengadilan atau judicial review tampak seperti disetting. 

Para saksi yang bersaksi juga sudah disetting untuk mendukung pembubaran. Pembubaran BPMIGAS merupakan salah satu langkah awal menasionalisasi industri migas. Bisa saja saat itu, ratusan perusahaan migas menggugat pemerintah Indonesia karena kontrak yang telah dibuat selama 10 tahun antara perusahaan migas MNC dan Indonesia menjadi tidak berlaku. Ancaman kevakuman sempat mengguncang industri migas. Namun, gugatan masif ke pemeritnah terhindarkan setelah pemerintah membentuk SKK MIGAS. Kontrak migas tetap tetap berlaku. 

Sebagai negara demokrasi, perbedaan pendapat boleh-boleh saja. Namun, hukum harus menjadi pegangan bersama. Tanpa adanya kepatuhan pada hukum, industri migas bisa kaos. Karena itu, pemerintah tetap dituntut untuk menjaga kepentingan yang lebih besar, yakni kepentingan negara dan bangsa di atas kepentingan kelompok. Gerakan nasionalisasi yang sporadis bisa jadi disponsori oleh pihak-pihak tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Pemerintah tetap harus menjaga kepentingan bangsa dan negara harus menjadi pegangan utama.

Ketahanan energi dan investasi adalah ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Agar Indonesia memiliki ketahanan energi, Indonesia membutuhkan investasi untuk mengembangkan berbagai sumber energi, seperti minyak, gas bumi, panas bumi, dan energi baru dan terbarukan. Kehadiran perusahaan-perusahaan migas multinasional dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan industri migas.

Karena itu, kita menyambut baik rencana beberapa perusahaan migas besar seperti Inpex untuk mengembangkan blok Masela di laut Arafura. Rencana BP untuk mengembangkan dan membangun train 3 di BPTangguh perlu didukung. Rencana Total E&P Indonesie untuk berinvestasi US$7,3 miliar di Blok Mahakam, bila pemerintah, mempertahankan kehadiran Total E&P Indonesie dan Inpex di Blok Mahakam juga perlu didukung. Pada saat yang sama, perusahaan migas nasional perlu didukung agar terus berkembang.

Untuk memajukan industri migas, Indonesia tidak perlu menasionalisasi industri migas. Yang dibutuhkan adalah bergandengan tangan dan sharing risk dalam memajukan industri migas nasional. Gerakan anti-asing atau nasionalisasi dapat menjadi bumerang dan akan merugikan Indonesia sendiri.  Indonesia dapat mencontohi negara-negara Asia Timur seperti Jepang, Korea Selatan maupun China. Industri negara-negara itu maju cukup pesat dalam dekade terakhir. Mereka tidak anti-asing, tapi mereka justru berguru sehingga suatu saat malah melebihi guru-nya. Itu juga yang dilakukan oleh Petronas Malaysia. Indonesia, khususnya, Pertamina perlu bergerak lebih agresif lagi untuk maju, tidak berlindung dibawah ketiak pemerintah. Pemerintah dan berbagai elit politik juga harus membiarkan Pertamina bergerak lincah, tidak dipasung oleh kepentingan kelompoknya. (*)

No comments:

Post a Comment