Reaktor Nuklir Fukushia hancur dihantam gempa & tsunami |
Indonesia terus melanjutkan usahanya
untuk memanfaat energi nuklir walaupun ditentang oleh berbagai kelompok
masyarakat. Langkah pemerintah Indonesia ini berlawanan dengan rencana berbagai
negara di dunia untuk membatalkan dan mengurangi pemanfaatan energi nuklir,
menyusul tragedi Fukushima Daiichi dua tahun lalu. Indikasi kearah pemanfaatan
energi nuklir terlihat dari berbagai peraturan yang telah dikeluarkan oleh
pemerintah dalam beberapa tahun terakhir serta sosialisasi yang terus dilakukan
untuk meyakinkan masyarakat atas diperlukannya pemanfaatan energi nuklir di
Indonesia.
Salah satu indikasi ke arah itu
adalah diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 61, 2013 tenang Pengolahan
Limbah Radioaktif, yang ditandatangi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
pada 12 September 2013 lalu. Peraturan tersebut mengatur lebih komprehensif
tentang Limbah Radioaktif yang berasal dari pemanfaatan tenaga nuklir yang
berpotensi membahayakan keselamatan, keamanan dan kesehatan pekerja, masyarakat
dan lingkungan hidup.
Yang dimaksudkan dengan Pengelolaan
Limbah Radioaktif dalam Peraturan Pemerintah ini adalah “pengumpulan,
pengelompokan, pengelolaan, pengangkutan, penyimpanan dan/atau pembuangan
Limbah Radioaktif.”
Limbah Radioaktif tingkat rendah dan
tingkat sedang berupa zat radioaktif terbungkus yang tidak digunakan, zat
radioaktif terbuka yang tidak digunakan, atau bahan dan peralatan
terkontaminasi dan/atau teraktivitasi yang tidak digunakan. Sementara Limbah
Radioaktif tingkat tinggi berupa “bahan bakar nuklir bekas.”
Lokasi Reaktor nuklir Fukushima Daiichi sebelum bencana |
Berdasarkan Peraturan Pemerintah
itu, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) ditugaskan sebagai pelaksana
pengelolaan Limbah Radioaktif, mencakup Limbah Radioaktif tingkat rendah; sedang;
dan tingkat tinggi.
PP tersebut mewajibkan BATAN untuk memiliki
izin untuk melakukan Pengelolaan Limbah Radioaktif dengan mengacu pada ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai perizinan pemanfaatan sumber radiasi
pengion.
Sesuai dengan PP ini, Penghasil
Limbah Radioaktif melakukan pengelolaan limbah radioaktif yang berasal dari,
pertama, Pemanfaatan sumber radiasi pengion; dan kedua, pemanfaatan bahan
nuklir, pembangunan, pengoperasian, dan/atau dekomisioning instalasi nuklir.
Adapun BATAN melaksanakan Pengelolaan Limbah Radioaktif yang berasal dari
Penghasil Limbah Radioaktif yang diserahkan ke lembaga itu.
“Dalam melaksanakan Pengelolaan
Limbah Radioaktif, BATAN dapat bekerjasama atau menunjuk badan usaha milik
negara, koperasi, dan/atau badan swasta,” demikian bunyi Pasal 6 Ayat (1) PP No.
61/2013 itu.
Tahun lalu (2012), pemerintah
menerbitkan PP No. 54, Tahun 2012 tentang Keselamatan dan Keamanan Instalasi
Nuklir. Peraturan tersebut bahkan secara gamblang mengatur mengenai Instalasi
Nuklir walaupun Indonesia sendiri belum memiliki pembangkit listrik tenaga
nuklir. PP No 54, 2012 tersebut merupakan salah satu peraturan pelaksana
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Berdasarkan PP No
54, 2012 ini, pemerintah menunjuk Badan Pengawwas Tenaga Nuklir atau BAPETEN.
Selanjutnya, pada pasal 2, ayat (1) dinyatakan, “Untuk mewujudkan keselamtan
dan keamanan instalasi nuklir, setiap badan hukum yang akan melaksanakan
pembangunan, pengeoperasian dan dekomisioning wajib memiliki izin dari Kepala
BAPETEN,”
“Syarat-syarat dan tata cara perizinan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan pemerintah
tersendiri,” demikian bunyi pasal 2 ayat (2). “Keselamatan instalasi nuklir
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk melindungi pekerja,
masyarkat dan lingkungan hidup, yang dilakukan melalui upaya pertahanan yang
efektif terhadap timbulnya bahaya radiasi di instalasi nuklir.” (pasal 2, ayat 3).
Pada tahun-tahun sebelumnya,
pemerintah juga sudah mengeluarkan berbagai peraturan, diantaranya PP No. 26
Tahun 2002 tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif, PP No. 27 Tahun
2002 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif, PP No. 43 Tahun 2006 tentang
Perizinan Reaktor Nuklir, PP No. 33 Tahun 2007 tentang Keselamatan Radiasi
Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif, PP No. 29 Tahun 2008 tentang Perizinan
Sumber Radiasi Pengion dan Bahan Nuklir, PP No.46 Tahun 2009 tentang Batas
Pertanggungjawaban Kerugian Nuklir. (sumber:
Republika 8 Desember 2012).
Peraturan ini (PP No 61, tahun 2013
maupun PP No 54, tahun 2012) memang tidak berarti Indonesia akan membangun
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dalam waktu dekat, namun tentu saja memberikan
kerangka hukum bagi negara untuk melakukan itu.
Beberapa elemen masyarakat, termasuk
organisasi Muslim terbesar Nahdlatul Ulama (NU), telah menolak pengembangan
energi nuklir menyusul rencana pemerintah membangun PLTN di Muria serta
Belitung. Ulama-ulama di Jepara, Jawa Tengah bahkan menyatakan rencana
pengembangan 1,000 MW PLTN di Muria, Jepara, Jawa Tengah sebagai sesuatu yang ‘haram’ (forbidden).
Indonesia memang seharusnya mempertimbangkan
secara serius untuk membatalkan rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga
nuklir karena Indonesia berada di kawasan cincin api (Ring of Fire) dengan
tingkat frekuensi ancaman gempa yang tinggi yang disebabkan oleh letusan gunung
api maupun akibat pergeseran lempeng bumi (gempa tektonik). Bila Indonesia
membangun PLTN, bisa saja Indonesia mengalami apa yang terjadi di Fukushima,
Jepang dan tentu akan menciptakan penderitaan berkepanjangan bagi penduduk
Indonesia yang berjumlah 240 juta jiwa ini.
Beberapa negara sedang berusaha
mengurangi pemanfaatan energi nuklir seperti Jepang, Korea Selatan, dan
beberapa negara Eropa dan Amerika Utara. Malaysia juga sedang mempertimbangkan
untuk membatalkan pengembangan energi nuklir. Sebuah ironi bila Indonesia
justru melangkah maju untuk merealisasikan pemanfaatan energi nuklir.
Simulasi pelumpuhan serangan teroris di Batan |
Peraturan tersebut diterbitkan saat
Indonesia sedang berjuang untuk menciptakan keamanan energi (energy security). Seperti yang
diberitakan oleh berbagai media, beberapa wilayah mengalami pemadaman seperti
Sumatera Utara, beberapa tempat di Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Pemadaman
listrik dan krisis energi bisa saja menjadi ancaman nyata dalam beberapa tahun
kedepan dan dapat menghambat laju perekonomian Indonesia.
Pertanyaan bagi Indonesia adalah
dengan melihat dan mempertimbangkan berbagai risiko diatas, terutama ancaman
gempa dan bahaya bagi lingkungan dan manusia, apakah mendesak bagi Indonesia
untuk memanfaatkan energi nuklir? Ataukah Indonesia mengembangkan energi fosil
dan non-fosil (energi baru dan terbarukan) seperti panas bumi, hydropower,
bio-fuel, dll? Jawabannya, fokus pada pengembangan energi fosil (minyak dan gas
bumi) dan non-fosil (baru dan terbarukan).
Indonesia bersyukur dianugerahi
berbagai sumber energi yang masih bisa dikembangkan lebih lanjut. Untuk gas
bumi, misalnya, potensi cadangan masih ada, hanya tinggal pemerintah mendorong
investasi untuk eksplorasi agar cadangan meningkat. Cadangan minyak dan gas
yang meningkat, disamping mendiversifikasi energi ke energi baru dan
terbarukan, jelas akan menjamin keamanan energi bagi anak-cucu kita dimasa
datang. Bukan mengembangkan energi nuklir, yang ancaman bahayanya jauh lebih
besar dibanding manfaatnya. (*)
Oleh Rachmat Dharmawan, peneliti di sebuah lembaga riset energi, eksekutif di sebuah perusahaan migas
Oleh Rachmat Dharmawan, peneliti di sebuah lembaga riset energi, eksekutif di sebuah perusahaan migas
No comments:
Post a Comment