Wednesday 23 October 2013

Indonesia Terus Dorong Pemanfaatan Energi Nuklir Saat Negara Lain Mundur


Reaktor Nuklir Fukushia hancur dihantam gempa & tsunami

Indonesia terus melanjutkan usahanya untuk memanfaat energi nuklir walaupun ditentang oleh berbagai kelompok masyarakat. Langkah pemerintah Indonesia ini berlawanan dengan rencana berbagai negara di dunia untuk membatalkan dan mengurangi pemanfaatan energi nuklir, menyusul tragedi Fukushima Daiichi dua tahun lalu. Indikasi kearah pemanfaatan energi nuklir terlihat dari berbagai peraturan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah dalam beberapa tahun terakhir serta sosialisasi yang terus dilakukan untuk meyakinkan masyarakat atas diperlukannya pemanfaatan energi nuklir di Indonesia.

Salah satu indikasi ke arah itu adalah diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 61, 2013 tenang Pengolahan Limbah Radioaktif, yang ditandatangi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 12 September 2013 lalu. Peraturan tersebut mengatur lebih komprehensif tentang Limbah Radioaktif yang berasal dari pemanfaatan tenaga nuklir yang berpotensi membahayakan keselamatan, keamanan dan kesehatan pekerja, masyarakat dan lingkungan hidup.

Yang dimaksudkan dengan Pengelolaan Limbah Radioaktif dalam Peraturan Pemerintah ini adalah “pengumpulan, pengelompokan, pengelolaan, pengangkutan, penyimpanan dan/atau pembuangan Limbah Radioaktif.”

Limbah Radioaktif tingkat rendah dan tingkat sedang berupa zat radioaktif terbungkus yang tidak digunakan, zat radioaktif terbuka yang tidak digunakan, atau bahan dan peralatan terkontaminasi dan/atau teraktivitasi yang tidak digunakan. Sementara Limbah Radioaktif tingkat tinggi berupa “bahan bakar nuklir bekas.”

Lokasi Reaktor nuklir Fukushima Daiichi sebelum bencana
Berdasarkan Peraturan Pemerintah itu, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) ditugaskan sebagai pelaksana pengelolaan Limbah Radioaktif, mencakup Limbah Radioaktif tingkat rendah; sedang; dan tingkat tinggi.

PP tersebut mewajibkan BATAN untuk memiliki izin untuk melakukan Pengelolaan Limbah Radioaktif dengan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perizinan pemanfaatan sumber radiasi pengion.

Sesuai dengan PP ini, Penghasil Limbah Radioaktif melakukan pengelolaan limbah radioaktif yang berasal dari, pertama, Pemanfaatan sumber radiasi pengion; dan kedua, pemanfaatan bahan nuklir, pembangunan, pengoperasian, dan/atau dekomisioning instalasi nuklir. Adapun BATAN melaksanakan Pengelolaan Limbah Radioaktif yang berasal dari Penghasil Limbah Radioaktif yang diserahkan ke lembaga itu.

“Dalam melaksanakan Pengelolaan Limbah Radioaktif, BATAN dapat bekerjasama atau menunjuk badan usaha milik negara, koperasi, dan/atau badan swasta,” demikian bunyi Pasal 6 Ayat (1) PP No. 61/2013 itu.

Tahun lalu (2012), pemerintah menerbitkan PP No. 54, Tahun 2012 tentang Keselamatan dan Keamanan Instalasi Nuklir. Peraturan tersebut bahkan secara gamblang mengatur mengenai Instalasi Nuklir walaupun Indonesia sendiri belum memiliki pembangkit listrik tenaga nuklir. PP No 54, 2012 tersebut merupakan salah satu peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Berdasarkan PP No 54, 2012 ini, pemerintah menunjuk Badan Pengawwas Tenaga Nuklir atau BAPETEN. Selanjutnya, pada pasal 2, ayat (1) dinyatakan, “Untuk mewujudkan keselamtan dan keamanan instalasi nuklir, setiap badan hukum yang akan melaksanakan pembangunan, pengeoperasian dan dekomisioning wajib memiliki izin dari Kepala BAPETEN,”

 “Syarat-syarat dan tata cara perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan pemerintah tersendiri,” demikian bunyi pasal 2 ayat (2). “Keselamatan instalasi nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk melindungi pekerja, masyarkat dan lingkungan hidup, yang dilakukan melalui upaya pertahanan yang efektif terhadap timbulnya bahaya radiasi di instalasi nuklir.”  (pasal 2, ayat 3).

Pada tahun-tahun sebelumnya, pemerintah juga sudah mengeluarkan berbagai peraturan, diantaranya PP No. 26 Tahun 2002 tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif, PP No. 27 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif, PP No. 43 Tahun 2006 tentang Perizinan Reaktor Nuklir, PP No. 33 Tahun 2007 tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif, PP No. 29 Tahun 2008 tentang Perizinan Sumber Radiasi Pengion dan Bahan Nuklir, PP No.46 Tahun 2009 tentang Batas Pertanggungjawaban Kerugian Nuklir. (sumber: Republika 8 Desember 2012).

Peraturan ini (PP No 61, tahun 2013 maupun PP No 54, tahun 2012) memang tidak berarti Indonesia akan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dalam waktu dekat, namun tentu saja memberikan kerangka hukum bagi negara untuk melakukan itu.

Beberapa elemen masyarakat, termasuk organisasi Muslim terbesar Nahdlatul Ulama (NU), telah menolak pengembangan energi nuklir menyusul rencana pemerintah membangun PLTN di Muria serta Belitung. Ulama-ulama di Jepara, Jawa Tengah bahkan menyatakan rencana pengembangan 1,000 MW PLTN di Muria, Jepara, Jawa Tengah sebagai sesuatu yang ‘haram’ (forbidden).

Indonesia memang seharusnya mempertimbangkan secara serius untuk membatalkan rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir karena Indonesia berada di kawasan cincin api (Ring of Fire) dengan tingkat frekuensi ancaman gempa yang tinggi yang disebabkan oleh letusan gunung api maupun akibat pergeseran lempeng bumi (gempa tektonik). Bila Indonesia membangun PLTN, bisa saja Indonesia mengalami apa yang terjadi di Fukushima, Jepang dan tentu akan menciptakan penderitaan berkepanjangan bagi penduduk Indonesia yang berjumlah 240 juta jiwa ini.

Beberapa negara sedang berusaha mengurangi pemanfaatan energi nuklir seperti Jepang, Korea Selatan, dan beberapa negara Eropa dan Amerika Utara. Malaysia juga sedang mempertimbangkan untuk membatalkan pengembangan energi nuklir. Sebuah ironi bila Indonesia justru melangkah maju untuk merealisasikan pemanfaatan energi nuklir.

Simulasi pelumpuhan serangan teroris di Batan
Peraturan tersebut diterbitkan saat Indonesia sedang berjuang untuk menciptakan keamanan energi (energy security). Seperti yang diberitakan oleh berbagai media, beberapa wilayah mengalami pemadaman seperti Sumatera Utara, beberapa tempat di Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Pemadaman listrik dan krisis energi bisa saja menjadi ancaman nyata dalam beberapa tahun kedepan dan dapat menghambat laju perekonomian Indonesia.

Pertanyaan bagi Indonesia adalah dengan melihat dan mempertimbangkan berbagai risiko diatas, terutama ancaman gempa dan bahaya bagi lingkungan dan manusia, apakah mendesak bagi Indonesia untuk memanfaatkan energi nuklir? Ataukah Indonesia mengembangkan energi fosil dan non-fosil (energi baru dan terbarukan) seperti panas bumi, hydropower, bio-fuel, dll? Jawabannya, fokus pada pengembangan energi fosil (minyak dan gas bumi) dan non-fosil (baru dan terbarukan).

Indonesia bersyukur dianugerahi berbagai sumber energi yang masih bisa dikembangkan lebih lanjut. Untuk gas bumi, misalnya, potensi cadangan masih ada, hanya tinggal pemerintah mendorong investasi untuk eksplorasi agar cadangan meningkat. Cadangan minyak dan gas yang meningkat, disamping mendiversifikasi energi ke energi baru dan terbarukan, jelas akan menjamin keamanan energi bagi anak-cucu kita dimasa datang. Bukan mengembangkan energi nuklir, yang ancaman bahayanya jauh lebih besar dibanding manfaatnya. (*)

Oleh Rachmat Dharmawan, peneliti di sebuah lembaga riset energi, eksekutif di sebuah perusahaan migas

No comments:

Post a Comment