Pertamina
dan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) sedang terlibat perang dingin. PGN, yang
menguasai 80 persen distribusi dan transmisi gas di Indonesia, yang juga
menjadi bisnis inti PGN sedang diincar oleh Pertamina, melalui anak usahanya PT
Pertagas. Pertamina berencana menggabungkan Pertagas, yang juga terlibat di
bisnis distribusi gas bumi, dengan PGN.
Yang
resah tidak saja direksi dan manajemen PGN, tapi juga pemegang saham publik
PGN. Saham PGN telah anjlok lebih dari 6 persen bulan ini ke level Rp4,800
akhir Jumat lalu (Nov 22) dari posisi Rp5,100 per akhir Oktober. Rencana
menggabungkan Pertagas dengan PGN tampaknya membuat investor publik resah
sehingga mereka melepas saham PGN.
Lagi-lagi
Pertamina mendapat ‘dukungan’ Menteri BUMN Dahlan Iskan, yang belakangan gencar
diberitakan di berbagai media memiliki kepentingan bisnis dengan Pertamina.
Hingga kini Dahlan Iskan belum menanggapi tuduhan tersebut. Dahlan Iskan
mengatakan pemerintah sedang mempertimbangkan anak perusahaan Pertamina,
Pertagas, untuk mengakuisisi PGN.
Apakah
semudah itu? Tidak. Banyak pertimbangan yang harus dilakukan termasuk
kepentingan pemilik saham publik PGN, serta kepentingan bisnis PGN dan tentu
saja kepentingan konsumen sebagai pembeli akhir gas bumi. Beberapa pengamat
mengatakan bila akuisisi terlaksana, langkah tersebut hanya menguntungkan
Pertamina, tapi merugikan PGN dan publik atau konsumen. PGN yang sumber utama pendapatannya dari
distribusi dan transmisi gas tentu akan sangat dirugikan bila diakuisisi
perusahaan kecil Pertagas, walaupun induk perusahaan Pertagas merupakan
perusahaan besar.
Harus
diakui, rencana merger atau lebih tepat akuisisi PGN oleh Pertagas akan menjadi
dilema bagi pemerintah. Sebagai pemilik kedua perusahaan tersebut, pemerintah
harus berdiri seimbang di antara keduanya. Pemerintah harus mempertimbangkan
kepentingan kedua perusahaan dan kelanjutan bisnis mereka.
Dimata
pemegang saham publik, rencana masuknya Pertamina justru membuat mereka
khawatir. Menurunnya harga saham PGN mengindikasikan bahwa investor bereaksi
negatif terhadap rencana Pertamina. Boleh jadi ada kekhawatiran perbedaan
praktik ‘governance’ pada kedua perusahaan itu yang dapat menyebabkan
kontra-produktif. Sudah menjadi rahasia umum, Pertamina sebagai perusahaan 100
persen milik pemerintah dikontrol penuh oleh pemegang saham, jadi Pertamina
tidak punya kewajiban untuk membuka semua transaksi yang ada ke publik.
Sementara PGN, karena sebagian sahamnya telah dimiliki publik, maka corporate
governance telah diterapkan secara ketat.
Sudah
bukan rahasia lagi kalau selama ini perusahaan migas Pertamina menjadi ‘cash
cow’ bagi pemegang kekuasaan pemerintahan dan elit politik tertentu. Faktor
intervensi ini, oleh sebagian pengamat, telah menghambat laju pertumbuhan
Pertamina, dibanding kompetitornya Petronas, perusahaan migas milik negara
Malaysia.
Rencana
akuisisi ini muncul ditengah maraknya perdebatan dan desakan berbagai pihak,
termasuk para trader gas dan Pertamina, untuk menerapkan open access bagi
seluruh pipa-pipa transmisi dan distribusi milik PGN. Bagi PGN jaringan pipa
gas ibarat konsesi jalan tol. Konsumen harus membayar fee untuk melewati pipa
gas miliknya. Dan bila open access diberlakukan, ibarat jalan umum, maka hilang
pula sumber bisnisnya.
Di
satu sisi, bila open access diberlakukan dan Pertagas jadi mengakuisisi PGN,
yang tentu tidak mudah, akan membuat Pertamina menguasai bisnis migas dari
hulu, distribusi, hingga hilir. Para broker dan trader gas bumi pun dapat
menggunakan jaringan pipa gas PGN untuk mendistribusikan gas milik mereka
dengan leluasa, tidak seperti sekarang harus bernegosiasi dengan PGN sebagai
pemilik dan pengelola jaringan pipa gas.
Beberapa
jaringan pipa Pertagas dan PGN memang bersentuhan di beberapa titik, termasuk
jaringan pipa keduanya di Jawa Timur dan Jawa Barat. Pertamina harus minta
permisi dulu ke PGN dan membayar sejumlah fee untuk menggunakan jaringan pipa
milik PGN.
PGN tampaknya menentang rencana Pertagas walaupun tidak dilakukan secara terang-terangan. Berbagai pemberitaan di media menunjukkan bahwa PGN keberatan dengan rencana Pertagas dan Pertamina. Hal ini bisa dimaklumi, PGN telah melakukan investasi besar-besaran dalam beberapa tahun terakhir sekitar Rp40 triliun untuk membangun jaringan transmisi distribusi gas bumi. Jaringan ini merupakan salah satu alasan dan nilai jual PGN ketika dijual ke publik dan listing di Bursa Efek Indonesia.
PGN
tentu sudah punya roadmap sendiri dan rencana investasi untuk membangun
jaringan distribusi dan transmisi gas bumi di tanah air. Tentu PGN tak ingin
rencana tersebut menjadi terhenti dan mandek bila bergabung dengan perusahaan besar Pertamina. Apakah PGN menentang karena
khawatir kehilangan jabatan? Boleh jadi juga. Bagaimana kelanjutan ‘perang’
antara Pertamina dan PGN bakal menarik, apalagi kepentingan politik mulai turut
bermain. (*)
No comments:
Post a Comment