Pemerintah baru hasil Pemilihan
Umum 2014 ini memiliki tantangan berat untuk memenuhi kebutuhan energi bangsa
Indonesia. Saat ini mayoritas kebutuhan energi masih bersumber pada minyak dan
gas bumi. Persoalannya, cadangan minyak kita tinggal 3,7 miliar barel atau
setara 10-12 produksi. Artinya, tanpa penemuan baru, produksi minyak akan habis
12 tahun lagi, setelah itu Indonesia akan full
impor minyak. Saat ini Indonesia harus mengimpor separuh dari kebutuhan minyak
Indonesia yakni 1,4-1,5 juta barel per hari, karena produksi minyak dalam
negeri hanya sekitar 800,000-an bph.
Pertanyaan besar yang harus
dijawab dan harus dilakukan oleh pemerintah baru nanti adalah bagaimana
meningkatkan produksi minyak dan gas bumi. Saat ini, produksi minyak menurun
sementara produksi gas stagnan, namun, tanpa penemuan baru, cadangan gas bumi
juga akan habis dalam 2 dekade mendatang.
Cadangan
gas bumi saat ini adalah sebesar 152,89 triliun standar kaki kubik (standard cubic feet/tsfc).
Dari jumlah itu, 104,71 tscf merupakan cadangan terbukti dan 48,18 tscf
merupakan cadangan potensial.
Lalu bagaimana solusinya? Pemerintah perlu melakukan diversifikasi sumber energi. Itu yang dilakukan oleh pemerintah sekarang
dengan mendiversifikasi sumber energi ke energi baru dan terbarukan.
Persoalannya, energi mixed yang ditargetkan, masih belum berjalan sesuai
target. Proyek-proyek energi terbarukan seperti panas bumi, biofuel, biomass,
dan sejenisnya belum berjalan sesuai rencana. Maka, langkah pertama yang dilakukan
adalah melanjutkan dan mengefektifkan diversifikasi sumber energi.
Langkah kedua, adalah mencari
cadangan minyak dan gas bumi baru melalui investasi eksplorasi. Langkah ini
juga berarti memastikan produksi migas dari blok-blok migas yang ada
dipertahankan dan bila perlu dilanjutkan.Jangan sampai produksi blok-blok migas yang ada, misalnya, terganggu akibat pergantian operator.
Dalam konteks ini, pemerintah
perlu mendorong perusahaan migas BUMN Pertamina untuk meningkatkan investasi
eksplorasi mencari cadangan baru, serta mengembangkan blok-blok migas yang
masih idle, termasuk Blok East Natuna. Bila blok-blok migas milik Pertamina
dikembangkan dan berproduksi maka akan ada tambahan produksi migas. Apalagi,
misalnya, Pertamina menemukan cadangan migas baru, maka itu akan menjadi nilai
plus bagi Pertamina serta masyarakat Indonesia.
Disamping Pertamina,
perusahaan-perusahaan migas yang telah beroperasi puluhan tahun di Indonesia
dan telah mengetahui dan memahami kondisi beroperasi di Indonesia, perlu
didorong untuk meningkatkan investasi baik untuk meningkatkan produksi dari
lapangan migas yang ada maupun melakukan investasi eksplorasi mencari cadangan
migas baru. Lebih mudah mendorong pebisnis migas yang telah ada dan beroperasi di Indonesia untuk meningkatkan investasi, ketimbang menarik pemain/investor baru yang asing dengan iklim dan kondisi usaha di Indonesia.
Untuk itu, Pertamina perlu berada di garis
terdepan untuk melakukan eksplorasi Migas. Dalam konteks ini, menyedihkan bila Pertamina hanya menunggu blok-blok migas tua yang kontraknya
bakal habis. Dari sisi biaya saja, tidak efisien bila Pertamina hanya mengganti
sopir/operator di blok-blok migas yang kontraknya bakal habis, dan melanjutkan
produksi. Hal ini tak membawa manfaat lebih bagi pemerintah, karena toh
produksi minyak dan gas bumi tetap dan bahkan bisa turun. Dari sisi biaya,
juga tidak efisien bila Pertamina menggelontorkan dana investasi besar-besaran hanya
untuk mengembangkan blok-blok tua, yang return on investment-nya sudah menurun.
Maka, dalam konteks ini,
Pemerintah perlu mendorong Pertamina untuk fokus pada mengembangkan blok-blok
migas miliknya, serta meningkatkan investasi eksplorasi, tidak menunggu atau
merebut blok-blok tua, yang bakal habis kontraknya. Salah satu blok yang
diincar Pertamina adalah Blok Mahakam, yang kontraknya akan habis tahun 2017. Dari
sisi pemerintah, lebih menguntungkan dan bermanfaat bila operatorship blok
tersebut dipertahankan. Kalaupun ada pemain baru yang masuk, BUMN atau
swasta, maka perlu memastikan produksi tetap berlanjut.
Karena itu, opsi yang paling ideal dan paling kecil risikonya, adalah joint operation atau melibatkan operator lama dan pemain baru. Bila opsi ini diambil, maka perlu ada masa transisi, sehingga pada fase tertentu Pertamina atau operator baru dapat mengambil kendali sebagai operator. Yang paling penting, secara operasional Blok Mahakam ini tidak terganggu.
Pertamina harus didorong untuk
fokus meningkatkan produksi migas nasional, bukan “merebut makanan sisa,” dalam
hal ini blok-blok migas tua. Apalagi misalnya, blok migas tersebut membutuhkan
investasi besar setiap tahun dan memerlukan teknologi tinggi yang mahal untuk
mengangkat migas dari perut bumi. Pertamina perlu melakukan analisa cost and benefit, apakah efisien bila mengambil alih blok-blok migas tua. Apakah lebih menguntungkan mengembangkan blok-blok migas baru, yang masih memiliki masa produksi yang lama, dan dari sisi biaya lebih efisien.
Disamping itu, pemerintah perlu
mempertimbangkan berbagai aspek teknis maupun non-teknis sebelum memutuskan
apakah operatorship sebuah blok migas, seperti Blok Mahakam, diperpanjang,
tidak diperpanjang atau opsi win-win
solution, atau melibatkan operator lama dan pemain baru. Dalam koneks ini, pemerintah harus melepaskan diri dari tekanan-tekanan politik dari vested interest, termasuk meneri sekalipun yang punya kepentingan dan ambisi politik.
Kita perhatikan,
Pertamina terlalu konservatif dalam melakukan investasi. Pertamina ibarat siput
yang lamban bergerak, tidak seperti Petronas atau perusahaan migas nasional di
negara-negara tetangga yang lincah bergerak melakukan investasi eksplorasi
mencari cadangan migas baru, tidak hanya dalam negeri, tapi juga di luar
negeri.
Untuk mendorong aktivitas
eksplorasi mencari cadangan migas, maka pemerintah baru nanti perlu mengatasi
berbagai persoalan yang menghambat investasi di sektor migas, termasuk birokrasi
dan perizinan yang rumit, serta menciptakan kepastian hukum. Sehingga investor
migas mendapat kenyamanan dan kepastian dalam berusaha. (*)
No comments:
Post a Comment