Tuesday 21 January 2014

Banjir dan Subsidi BBM, Akar Masalah ada di Hulu!


Banjir dan air tergenang melanda Jakarta
Ada dua isu utama yang seringkali muncul di ranah publik belakangan ini. Pertama tentu saja banjir yang melanda berbagai wilayah di Tanah Air, termasuk ibukota Republik ini, Jakarta. Banjir telah mengganggu aktivitas warga Jakarta, merendam sawah di sentra produksi padi Karawang, Jawa Barat dan merusak berbagai infrastruktur publik. Di Jakarta, kegiatan belajar-mengajar di ratusan sekolah terganggu. Distribusi barang dan jasa juga terganggu sehingga dapat berdampak pada terbatasnya pasokan barang. Banjir membuat sebagian besar warga Jakarta mengurungkan niatnya untuk bepergian, kecuali memang terpaksa. Berbagai upaya dilakukan, yang penting sampai di tempat tujuan.

Banjir bandang di Manado
Urusan banjir di Jakarta memang kompleks. Banjir yang terjadi di awal tahun ini memang bukan terjadi kali ini saja. Tahun lalu, banjir juga terjadi di hampir separuh dari wilayah Jakarta dan bahkan jauh lebih buruk. Banjir besar, juga terjadi beberapa tahun sebelumnya. 

Banjir tidak hanya terjadi di Jakarta tapi juga di kota-kota lain di Indonesia, misalnya Manado, Sulawesi Utara. Di Manado, banjir terjadi tiba-tiba dengan skala yang masif, atau lebih tepatnya banjir bandang. Beberapa tahun lalu, kota Padang di Sumatera Barat juga sempat luluh-lantak akibat banjir bandang, menyapu rumah-rumah dan fasilitas umum.

Penyebab utama banjir di Jakarta dan kota-kota lain di Nusantara sebenarnya ada di hulu. Banjir di Jakarta misalnya, beberapa pengamat mengatakan 40% disebabkan oleh volume air sungai Ciliwung dan Cisadane yang meluncur deras dari kawasan Puncak Bogor. Penyebab lain adalah kurangnya daerah resapan karena sebagian besar kawasan resapan air di Jakarta telah beralih fungsi menjadi gedung-gedung dan mall atau rumah hunian. Disamping itu, ada faktor tambahan lainnya, seperti ulah warga yang membuang sampah di sungai-sungai sehingga mempercepat proses sedimentasi. Sungai menjadi dangkal, sehingga akibatnya air meluber, menenggelamkan wilayah sisi kiri dan kanan sungai.

Maka, tepat bila Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) hari Senin kemarin (21 Januari) bertemu dengan Walikota Bogor dan Gubernur Jawa Barat bertemu di Katulampa Bogor untuk membahas dan mencari solusi untuk mengurangi banjir di Jakarta dan sekitarnya. Salah satu solusi dari hasil pertemuan itu adalah membuat Situ atau danau buatan di daerah Ciawi untuk menampung luapan air sungai. Sehingga, kiriman luapan air yang besar dari Puncak dan Bogor dapat berkurang.

Yang jelas curah hujan yang besar tidak bisa dicegah manusia. Yang bisa dilakukan adalah mengurangi dampak dari curah hujan yang besar tersebut.

Tentu langkah membuat danau atau situ di Ciawi dan Bogor, harus dikombinasi dengan upaya-upaya lain seperti memindahkan warga dari bantaran sungai, membuat waduk-waduk buatan, membuat sumur resapan. Upaya tersebut tentu tidak akan menghilangkan terjadinya banjir di Jakarta karena kota ini terletak di daerah rawa-rawa (delta) yang telah berubah menjadi kota metropolitan. Sebagian wilayah Jakarta seperti Kelapa Gading bahkan sebagiannya berada di bawah permukaan laut. Sehingga, air sungai atau air hujan sulit mengalir ke laut, bila pada saat yang sama terjadi rob atau air pasang. 

Maka last resort adalah menghadapi kenyataan yang ada, membuat kanal-kanal sehingga saat terjadi banjir, kanal-kanal tersebut dapat diaktifkan menjadi jalur transportasi. Warga dapat bepergian dengan menggunakan speedboat atau perahu. 

Jokowi juga mengungkapkan bahwa pembuatan waduk di Ciawi, Bogor dan Depok dapat mengurangi banjir di Jakarta sebesar 40%. Artinya, akar persoalan banjir di Jakarta ada di hulu. Karena itu, upaya mengatasi banjir di Jakarta, tidak cukup hanya membuat situ-situ, merevitalisasi sungai-sungai yang melintasi ibu kota, dan membersihkan drainase, tidak membuat sampah sembarangan, tapi juga mengontrol dan membendung air yang meluap dari Puncak dan Bogor. 

Subsidi BBM & Eksplorasi

Seperti akar dari masalah banjir ada di hulu, demikian juga masalah subsidi BBM yang tinggi. Seperti kita ketahui Indonesia menghabiskan dana ratusan triliun rupiah setiap tahun hanya untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM). Bisa dibayangkan bila dana subsidi tersebut dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur serta fasilitas dan prasarana publik seperti rumah sakit, puskesmas, sekolah, membuat waduk atau danau, dan sarana dan prasarana umum lainnya.

Tahun 2013 saja, pemerintah menggelontorkan dana subsidi BBM sebesar Rp250 triliun, Rp40 triliun lebih besar dari perkiraan awal yakni Rp210 triliun. Dari jumlah itu, Rp40 triliun dialokasikan untuk subsidi LPG. Bayangkan bila dana Rp240 triliun tersebut digunakan untuk membangun infrastruktur dan fasilitas publik, masyarakat Indonesia akan menikmati hasilnya. Pemberian subsidi bersifat konsumtif, sementara pembangunan infrastruktur dan fasilitas publik bersifat jangka panjang. 

Seperti banjir, akar perseoalannya ada di hulu, yakni produksi minyak bumi Indonesia yang terus menurun. Indonesia mengkonsumsi BBM 1,5 juta barel per hari, sementara produksi nasional hanya sekitar 830,000 barel per hari. Ada gap yang besar. Karena itu, langkah utama untuk mengatasi subsidi BBM adalah meningkatkan produksi minyak di industri hulu migas, serta melakukan diversifikasi energi. 

Kita tak persoalkan apakah yang memproduksi minyak dan gas adalah perusahaan nasional atau internasional. Yang terpenting adalah memproduksi minyak dan gas bumi di dalam negeri, sehingga ketergantungan pada impor dapat berkurang. Untuk itu, pemerintah perlu lebih giat lagi mendorong investor migas untuk meningkatkan produksi migas serta meningkatkan aktivitas eksplorasi!!!. Melihat kenyataan, eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi kian sulit, maka kehadiran investor atau perusahaan migas dunia (oil majors) masih akan tetap dibutuhkan Indonesia. 

Sebagian blok migas yang ada saat ini ada di wilayah timur Indonesia, daerah frontier, lepas pantai dan laut dalam. Pengembangan blok-blok migas kedepan menuntut penerapan teknologi tinggi serta investasi besar. Mengandalkan Pertamina dan perusahaan migas swasta nasional tentu tidak cukup. Kolaborasi perusahaan migas nasional dan IOC merupakan solusi yang tepat. 

Kolaborasi tersebut dapat dilakukan terutama untuk mengembangkan blok-blok migas yang rumit, seperti East Natuna, Blok Masela dan pengambangan lanjutan Blok Mahakam. Kolaborasi atau joint-operating dapat mengoptimalkan tingkat produksi sebuah blok migas serta mengurangi risiko (sharing risk). Dalam konteks ini, pengelolaan Blok Mahakam pasca 2017, misalnya, dapat dilakukan melola joint-operating scheme -- melibatkan operator lama (Total E&P Indonesia dan mitranya Inpex) serta perusahaan migas nasional Pertamina. (*)

No comments:

Post a Comment