Jokowi |
Meskipun produksi minyak nasional menurun terus, tetapi
sebenarnya pemerintah tetap dapat meningkatkan pendapatan sektor minyak dan gas
bumi (migas) nasional, khususnya dalam 5 tahun terakhir.
Hingga sekarang ini pendapatan sektor migas masih menjadi
tulang punggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari tahun ke
tahun. Dalam setahun saja, penerimaan migas Indonesia mencapai lebih dari Rp
300 triliun, atau Rp 1 triliun per hari.
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas
Bumi (SKK Migas) mencatat bahwa pendapatan Migas dalam 5 tahun terakhir terus meningkat
setiap tahunnya.
Tahun Pendapatan Migas Bagian Negara Kontraktor Cost
Recovery
2009 US$ 19,9 m US$ 5,6 m US$ 10,1 m US$ 35,7 m
2010 US$ 26,4 m US$ 7,6 m US$ 11,7 m US$ 45,8 m
2011 US$ 35,7 m US$ 9,6 m US$ 15,3 m US$ 60,7 m
2012 US$ 35 m US$ 10,4 m US$ 15,5 m US$ 61,1 m
2013 US$ 31,3 m US$ 9,5 m US$ 15,7 m US$ 56,6 m
Sedangkan untuk tahun ini, pemerintah menargetkan penerimaan
migas akan mencapai US$ 29,7 miliar, dengan cost recovery US$ 15 miliar.
Realisasi penerimaan migas sampai semester I-2014 sejauh ini sudah mencapai US$
17,6 miliar, atau sudah mencapai 59%.
Namun yang perlu dijadikan catatan adalah meningkatnya
penerimaan migas dalam 5 tahun terakhir ini yang disebabkan karena terus
naiknya harga minyak, yang saat ini diestimasi mencapai US$ 105 per barel.
Tantangan utama bagi pemerintahan baru Presiden Joko Widodo
(Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) adalah, alokasi penerimaan negara dari sektor
migas yang juga dihabiskan untuk subsidi BBM yang pada 2015 jumlahnya akan
mencapai Rp 276 triliun.
Padahal untuk memproduksi minyak dan gas bumi tidaklah
murah, terlebih lagi berdasarkan statistik 2011-2014 biaya operasi hulu minyak
gas bumi selalu meningkat.
Misalnya saja pada 2011 biaya produksi migas mulai dari
eksporasi, produksi perencanaan, dan administrasi mencapai US$ 15,22 miliar. Lalu
pada 2012 mencapai US$ 15,51 miliar, di 2013 mencapai 15,92 miliar, dan di 2014
selama semester I sudah mencapai US$ 9,32 miliar.
Tantangan utama yang telah disebutkan tadi disebabkan karena
biaya produksi minyak dan gas bumi mahal, namun pemerintah hanya menjual ke
rakyat dalam bentuk BBM dengan harga Rp 6.500 per liter, sementara harga
keekonomian dari BBM mencapai lebih dari Rp 12.000 per liter. Padahal menurut
survey, penerima BBM subsidi ini adalah orang yang mampu, dan tidak layak
disubsidi.
Permasalahan besar lainnya yang akan dihadapai Jokowi adalah
perihal bocornya pendapatan negara dari sektor migas. Potensi pendapatan negara
dari migas dan mineral dan batubara (minerba) tiap tahunnya lepas atau 'bocor' hingga
Rp 180 triliun.
"Masih banyak potensi pendapatan negara yang loss
(hilang), khususnya di sektor Migas dan Minerba, yang angkanya mencapai Rp 180
triliun/tahun," terang mantan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan Ali Masykur
Musa.
Ali mengungkapkan bahwa ada beberapa hal yang jadi penyebab
'bocornya' pendapatan negara tersebut, di antaranya yakni seperti penegakan
hukum yang kurang dan lemahnya regulasi tentang Sumber Daya Alam.
"Apalagi setiap tahun kita mengaudit ekspor minyak dan
batu bara, ada perbedaan data antara tiga lembaga, yakni di Bea Cukai,
Kementerian ESDM, dan Perdagangan Internasional. Dokumen ekspornya
berbeda-beda, belum lagi banyak yang tidak bayar royalti," pungkasnya.
Jokowi boleh berpesta dengan rakyat hari ini, namun sudah
banyak sekali peer yang menanti untuk diselesaikan oleh Jokowi. Migas memang
butuh perhatian khusus karena merupakan sektor yang paling strategis. Keputusan
menyangkut masa depan migas tidak boleh sembarang diputus, namun harus
diperhitungkan dengan matang benar.
No comments:
Post a Comment