Perangkat RFID Pertamina |
Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH
Migas) menyatakan bahwa mereka telah memberi instruksi terhadap pemenang tender
penyaluran Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi untuk menyiapkan sistem monitoring
melalui sistem teknologi informasi. Bagi yang terpilih menjadi penyalur BBM
bersubsidi, PT Pertamina (Persero) sejak awal sudah berencana untuk
mengimplementasikan sistem tersebut karena sebelumnya pernah menyiapkan program
sistem monitoring pengendalian (SMP) BBM bersubsidi dengan menggunakan perangkat
teknologi, Radio Frequency Identification (RFId).
Dirut Pertamina, Dwi Soetjipto telah mengatakab bahwa
evaluasi akan dilakukan terhadap program SMP BBM subsidi yang pernah berjalan
pada program direksi periode sebelumnya. Apabila efektif, pemasangan perangkat
teknologi RFId akan diimplementasikan lagi.
"Ya kami lihat nanti kalau efektif kami lanjutkan. Apa
yang harus kami lakukan ya dikerjakan," tukas Dwi.
Ia ogah disuruh berandai-andai apakah program tersebut bisa
berjalan kembali atau tidak. Namun, pihaknya akan fokus untuk meminimalisir
kebocoran dari penyaluran BBM bersubsidi.
Sebelumnya, Tim Reformasi Tata Kelola Migas atau tim
Antimafia Migas menemukan fakta menarik dibalik kegagalan implementasi program
tersebut.
Anggota Tim Antimafia Migas Djoko Siswanto mengungkapkan
bahwa kegagalan penerapan RFID dan pembelian BBM non tunai tersebut disebabkan
oleh intervensi sejumlah pihak yang sengaja menghambat kelancaran program
tersebut.
"Ini juga karena praktik mafia migas. Kalau program non
tunai dan RFID jalan, mereka sudah tidak bisa macam-macam lagi dengan data riil
penyaluran BBM ke masyarakat yang selama ini dimainkan," keluh Djoko.
Ternyata dalam praktiknya para mafia sengaja menghalangi
pemasangan alat pencatat di nozzle dispenser Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum
(SPBU) yang akan merekam besaran BBM yang dibeli masyarakat. Dengan tidak
tercatatnya angka penjualan, maka otomatis para mafia bisa menjual BBM ke
pihak-pihak yang tidak berhak menerima BBM bersubsidi.
Djoko menduga bahwa praktik penyimpangan tersebut banyak
terjadi di SPBU miliki Pertamina. Bahkan dari sekitar 5 ribu unit SPBU, dia
mengatakan program RFID hanya terpasang di kawasan Kalimantan dan DKI Jakarta
yang hanya tak lebih dari 100 SPBU.
"SPBU Pertamina dikasih berapa pun akan habis dan
kurang. Tapi kita tidak pernah tahu itu BBM dijual kemana," katanya.
Sebelumnya juga, tender proyek RFID telah dimenangkan oleh
PT Industri Telekomunikasi Indonesia (Inti) pada 2013 silam. Dari tender yang
dimenangkan, Inti wajib memasang 100 juta unit RFID yang akan dipasang di
tangki kendaraan. Sebagai timbal baliknya, Inti akan mendapat fee sebesar Rp 18
per liter dari setiap penjualan BBM yang dilego SPBU.
Sementara itu, apabila mengacu kepada Undang-Undang Nomor 6
tahun 2013 tentang Pengendalian BBM Bersubsidi, Pertamina diharuskan melakukan
pengendalian dengan menggunakan teknologi IT secara tertutup.
Sayang sekali ya, padahal idealnya program tersebut bagus
dan baik adanya. Namun yang namanya mafia migas memang ada di mana-mana
khususnya pada tubuh Pertamina. Pertamina memang butuh membenahi diri dulu
sebelum mampu menjadi perusahaan migas kelas dunia.
No comments:
Post a Comment