Sunday 14 December 2014

Permasalahan Seputar RFID Pertamina

Perangkat RFID Pertamina
Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menyatakan bahwa mereka telah memberi instruksi terhadap pemenang tender penyaluran Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi untuk menyiapkan sistem monitoring melalui sistem teknologi informasi. Bagi yang terpilih menjadi penyalur BBM bersubsidi, PT Pertamina (Persero) sejak awal sudah berencana untuk mengimplementasikan sistem tersebut karena sebelumnya pernah menyiapkan program sistem monitoring pengendalian (SMP) BBM bersubsidi dengan menggunakan perangkat teknologi, Radio Frequency Identification (RFId).

Dirut Pertamina, Dwi Soetjipto telah mengatakab bahwa evaluasi akan dilakukan terhadap program SMP BBM subsidi yang pernah berjalan pada program direksi periode sebelumnya. Apabila efektif, pemasangan perangkat teknologi RFId akan diimplementasikan lagi.

"Ya kami lihat nanti kalau efektif kami lanjutkan. Apa yang harus kami lakukan ya dikerjakan," tukas Dwi.

Ia ogah disuruh berandai-andai apakah program tersebut bisa berjalan kembali atau tidak. Namun, pihaknya akan fokus untuk meminimalisir kebocoran dari penyaluran BBM bersubsidi.

Sebelumnya, Tim Reformasi Tata Kelola Migas atau tim Antimafia Migas menemukan fakta menarik dibalik kegagalan implementasi program tersebut.

Anggota Tim Antimafia Migas Djoko Siswanto mengungkapkan bahwa kegagalan penerapan RFID dan pembelian BBM non tunai tersebut disebabkan oleh intervensi sejumlah pihak yang sengaja menghambat kelancaran program tersebut.

"Ini juga karena praktik mafia migas. Kalau program non tunai dan RFID jalan, mereka sudah tidak bisa macam-macam lagi dengan data riil penyaluran BBM ke masyarakat yang selama ini dimainkan," keluh Djoko.

Ternyata dalam praktiknya para mafia sengaja menghalangi pemasangan alat pencatat di nozzle dispenser Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang akan merekam besaran BBM yang dibeli masyarakat. Dengan tidak tercatatnya angka penjualan, maka otomatis para mafia bisa menjual BBM ke pihak-pihak yang tidak berhak menerima BBM bersubsidi.

Djoko menduga bahwa praktik penyimpangan tersebut banyak terjadi di SPBU miliki Pertamina. Bahkan dari sekitar 5 ribu unit SPBU, dia mengatakan program RFID hanya terpasang di kawasan Kalimantan dan DKI Jakarta yang hanya tak lebih dari 100 SPBU.

"SPBU Pertamina dikasih berapa pun akan habis dan kurang. Tapi kita tidak pernah tahu itu BBM dijual kemana," katanya.

Sebelumnya juga, tender proyek RFID telah dimenangkan oleh PT Industri Telekomunikasi Indonesia (Inti) pada 2013 silam. Dari tender yang dimenangkan, Inti wajib memasang 100 juta unit RFID yang akan dipasang di tangki kendaraan. Sebagai timbal baliknya, Inti akan mendapat fee sebesar Rp 18 per liter dari setiap penjualan BBM yang dilego SPBU.

Sementara itu, apabila mengacu kepada Undang-Undang Nomor 6 tahun 2013 tentang Pengendalian BBM Bersubsidi, Pertamina diharuskan melakukan pengendalian dengan menggunakan teknologi IT secara tertutup.


Sayang sekali ya, padahal idealnya program tersebut bagus dan baik adanya. Namun yang namanya mafia migas memang ada di mana-mana khususnya pada tubuh Pertamina. Pertamina memang butuh membenahi diri dulu sebelum mampu menjadi perusahaan migas kelas dunia.

No comments:

Post a Comment