Thursday 19 June 2014

Mengapa Rencana Pembangunan Kilang Minyak Selalu Kandas?

Kilang Balongan
Isu BBM subsidi tampaknya terus menjadi perhatian publik. Kedua pasangan calon presiden dan calon wakil Presiden, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla, juga mengangkat isu ini. Isu BBM bersubsidi tak akan pernah pudar sepanjang pemerintah terus mempertahankan anggaran subsidi BBM yang besar, yang nilainya ratusan triliun setiap tahun.
 
Pertanyaannya, mengapa pemerintah terus mempertahankan BBM bersubsidi? Alasannya, bila dijual ke konsumen sesuai harga pasar, harganya akan tinggi, sehingga sulit dijangkau oleh rakyat kebanyakan. Saat ini pemerintah melalui Pertamina mengimpor BBM dari Singapura, sebagai hub perdagangan minyak bumi di Asia. Petral, yang menjadi agen impor minyak milik Pertamina, mengatur impor minyak. Tender pun dilakukan di Singapura. 

Indonesia mengimpor minyak dan produk minyak yang tidak bisa diproses (refined) di dalam negeri oleh kilang-kilang milik Pertamina. Hanya separuh minyak di proses di kilang-kilang Pertamina, selebihnya diimpor. Oleh karena itu, harganya menjadi tinggi. Padahal, bila seluruh produk minyak diproses di kilang dalam negeri harganya bisa lebih murah.

Selama ini, publik bertanya-tanya kenapa pemerintah tidak segera membangun kilang minyak baru? Ada kesan, ada pihak-pihak tertentu yang menghambat pengembangan kilang dalam negeri, karena bila ada kilang baru, ada pihak tertentu (importir) yang dirugikan. Benarkah? Publik tidak tahu dengan pasti. 

Yang jelas, publik ingin harga BBM murah dan subsidi berkurang dan ini bisa dilakukan bila ada pembangunan kilang baru dan pada saat yang sama produksi minyak dalam negeri meningkat. Sehingga, Indonesia tidak bergantung pada impor.

Seperti yang kita ketahui, pembangunan kilang terakhir di Indonesia adalah Kilang Balongan sejak 1990-an lalu. Setelah itu tidak ada lagi pembangunan kilang di Indonesia. Pertamina dan pemerintah telah membahas rencana membangun kilang baru, namun hingga saat ini belum terealiasi dengan alasan bermacam-macam seperti margin yang tipis, kurangnya minat investor, dll.


Kapasitas kilang Indonesia saat ini mencapai  1,2 juta barel per hari. Sedangkan produksi minyak Indonesia yang dapat diolah di kilang dalam negeri hanya sekitar 649.000  barel per hari. Angka ini masih jauh di bawah konsumsi bahan bakar domestik yang mencapai kisaran 1,5 juta barel per hari per hari.


Memiliki kilang minyak yang cukup dibutuhkan untuk mendukung program ketahanan dan kemandirian energi. Sektor ini harus diperhatikan secaraserius oleh kedua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) RI. Sektor energi merupakan pilar pembangunan perekonomian nasional maupun ekonomi kerakyatan yang saat ini digembar-gemborkan dan mendapat perhatian penuh dari para kontestan pemimpin negeri.


Menurut Pusat Studi Kebijakan PUblik (PUSKEPI) pembangunan kilang jangan dilihat dari nilai keekonomian atau keuntungan bagi investor saja , namun harus di utamakan sebagai upaya untuk ketahanan energi Indonesia, sekaligus hal yang bisa meningkatkan martabat bangsa serta menjadi kebanggaan rakyat Indonesia bahwa bangsa ini pada dasarnya tidak perlu sangat bergantung dengan negara tetangganya atau dunia luar lainnya. 

Adanya pertambahan kilang di negeri ini juga mampu menekan "larinya" devisa keluar negeri. Dan tentu saja adanya pembangunan kilang baru tentu berdampak langsung terhadap pengurangan pengangguran.

Masyarakat Indonesia pantas  "iri" dengan Singapura yang tidak memiliki sumur minyak, namun memiliki kilang-kilang besar yang besar. Bahkan bangsa Indonesia harus membeli minyak dari kilang Singapura dan terus-menerus bergantung kepada "pasokan" BBM dari negeri jiran itu. Ini memang menyedihkan.

Pemerintah baru-baru ini mengatkan akan membangun kilang baru di Bontang, Kalimantan Timur yang saat ini masih dalam proses. Kita berharap agar segera direalisasikan dan tidak ditunda-tunda lagi oleh kendala teknis.

Beberapa perusahaan swasta juga sudah mengatakan niatnya untuk membangun kilang minyak, seperti NIORDC dari Iran, Kuwait Petroleum Company, Saudi Aramco dan lainnya, namun kandas karena masalah politik. Sementara kerjasama dengan Kuwait dan Saudi Aramco terganjal masalah insentif terkait rencana membangun kilang dengan kapasitas masing-masing 300.000 barel per hari di Jawa Barat dan Jawa Timur. Pemerintah perlu mencari terbosan untuk secepatnya merealisasikan proyek-proyek kilang baru tersebut.

Disamping itu, di sisi hulu, perlu digalakkan lagi investasi untuk explorasi mencari cadangan migas baru. Tanpa penemuan cadangan baru, cadangan yang ada saat ini sebesar 3,7 miliar barel minyak akan habis dalam 12 tahun. Kita berharap siapapun yang menjadi Presiden kelak akan secara serius memperhatikan masalah ketahanan energi tersebut.

No comments:

Post a Comment